Bab 2.

Tijah yang sudah selesai melayani para pembeli di kiosnya, ia melongokkan kepala keluar kios guna melihat anaknya si Menik bocah balita kecil mungil yang menggemaskan itu.

"Lho, kenapa anakku itu?" Tanya Tijah seorang diri. Kemudian ia segera keluar mendatangi Menik.

Mendengar suara tanya Tijah, pedagang cenil alias sejenis kue basah itu menoleh ke arah Menik yang berdiri di dekat penjual buah.

"Ya ampun Mbak Yu, anakmu. Apa maksudnya minta buah to itu?!" Ucap penjual kue basah yang melihat gestur Menik.

"Empe. Empe." Menik tidak putus asa. Ia terus ucap begitu dengan terus menengadahkan kedua telapak tangannya ke dekat penjual buah.

"Nduk, kenapa sayang?" Tanya Tijah setelah mendekati putrinya dan memeluknya.

"Ibu, empe! Empe, ibu!" Rajuk Menik kepada ibunya dengan sangat menggemaskan sambil menunjuk buah langsat.

"Apa, Nduk? Ya ampun Nduk. Haahaahaaa…!" Tijah tertawa karena baru mendengar bahasa baru dari mulut mungil si kecilnya. 

"Empe itu minta to Nduk? Haaa Haaa Haaa…!" Ucap penjual buah. Kemudian suara tawa keras bersahutan di muka kios Tijah, karena kelucuan yang diperankan Menik.

"Kamu  mau langsat? Ini?" Tanya Tijah pada anaknya dengan sayang sambil menunjuk buah langsat.

Menik menganggukkan kepala berulang kali sambil memeluk leher  Sang Ibu Tijah.

"Ya ampun Mbak Yu, anaknya Mbah Yu Tijah minta dari tadi lho itu nggak kamu kasih! Kok kebangetan kamu itu Mbak Yu!" Ucap pedagang kue basah geregetan dengan sikap si penjual buah yang cuek bebek itu.

Penjual buah kaget dan menghentikan aktivitasnya. Ia mendongak melihat penjual kue basah, Tijah dan Menik ada di dekatnya.

"Eh, mbak Yu Tijah, Nduk, maaf, maaf. Aku nggak ngerti maksude ucapan anakmu itu tadi apa?" Kata penjual buah yang menjadi merasa bersalah.

"Kalau nggak ngerti ucapane, kan yo ngerti sama gestur tubuhe to Mbak Yu, Mbak Yu! Kamu itu jadi orang kok tegaan banget!" Ucap penjual kue basah masih dengan sewotnya.

Monik semakin mendekatkan dirinya pada ibu.

"Sudah. Sudah, nggak papa Mbak Yu." Tijah menenangkan penjual kue basah yang emosi dengan penjual buah yang membiarkan Menik.

"Mbak Yu, aku beli langsatnya ya, sekilo saja." Ucap Tijah menuruti kemauan Menik.

Setelah mendapat langsat yang dibeli, Tijah membawa anaknya masuk ke kios.

***

Setelah pukul sembilan, pasar mulai sepi. Karena pasar memang hanya pasar pagi.

"Mbak Yu, ini ku tambahi buat anakmu Menik." Penjual buah masuk ke kios Tijah membawa kantong kresek berisi buah langsat dicampur jeruk diberikan pada Tijah yang tengah mengupaskan buah langsat untuk Menik.

"Lho Mbak Yu, dijual saja dulu, siapa tahu masih ada yang beli," 

"Sudah siang Mbak Yu Jah. Aku mau pulang. Besok lagi jualan."

"Terima kasih lho mbak Yu," Tijah tidak menolak pemberian orang lain.

"Seharusnya aku to yang terima kasih, sudah kamu bolehin numpang di emperanmu,"

"Halah ngomong apa to Mbak Yu, kita itu sama-sama mencari rezeki." Tijah dan pedagang buah saling melempar senyum.

Pedagang kue basah pun menghampiri Tijah dengan kue cenil dan kicak beberapa bungkus diberikan pada Tijah.

"Buat anakmu, Mbak Yu." 

"Terima kasih lho Mbak Yu," ucap Tijah.

Ia merasa bersyukur orang-orang baik kepadanya.

Motto: "Jika kita berbuat baik pada orang lain, maka orang lainpun akan berbuat baik pada kita."

Kakaknya Menik bernama Miftah, anak laki-laki usia lima tahun lebih tua dari Menik.

Ia sekolah di Sekolah Dasar yang tidak jauh dari pasar.

Makanya setelah pasar sudah mulai sepi pembeli dan para pedagang satu per satu mulai meninggalkan pasar, Tijah masih berada di kiosnya, ia mulai menata untuk menyimpan barang dagangannya, dan sebagian dibawa pulang untuk dijual di rumahnya. Karena di depan rumah Tijah mempunyai toko juga yang akan dibuka setelah pulang dari pasar.

"Belum pulang Mbak Yu?" Tanya pemilik kios sebelah kios Tijah.

"Ini persiapan mau pulang, sambil nunggu anakku pulang sekolah."

"Ow. Jam berapa pulangnya sekolah?"

"Nggak lama lagi Mbak Yu. Paling ini sudah jalan pulang,"  Tijah memberitahu.

Anak SD kelas satu pulang kan lebih pagi. Antara pukul sembilan atau sepuluh pagi.

"Te! Te! Te puang! Te puang!" Teriak Menik kecil dengan riang menyambut kedatangan kakak lelakinya yang berjalan mendekatinya.

Suara cadelnya Menik balita ingin menyebut kata "mase" menjadi "Te".

"Te puang!" Maksud Menik "Mase pulang!"

Tapi orang-orang yang dekat dengan Menik selalu mengerti apa maksud ucapan Menik, terutama Tijah dan Miftah. Tapi pada awal-awalnya mereka bingung juga apa yang Menik maksud.

Miftah berjalan kaki dengan pakaian putih merah dan mencangklong tas sekolah bergambar ultramen di punggungnya.

"Mase sudah pulang, Nduk." Ucap Tijah.

Miftah tersenyum melihat Menik girang menyambutnya pulang sekolah.

Lalu mendekati Menik dan  berjongkok di depan Menik, terus merangkum kedua pipi Menik dan menciumnya dengan gemes. Menik pun meletakkan kedua tangannya di bahu Miftah. Minta digendong kakaknya.

Tijah menutup pintu kios dan menggemboknya.

"Menik gendong ibu, ya. Mase biar membantu ibu membawa loyang."

"Le, Miftah, bantu ibu membawa loyang yang isi rempah-rempah ini ya le," Tijah memilihkan loyang yang tidak berat dan tidak banyak isi untuk dibawa Miftah anak lelakinya yang usia sekitar tujuh tahun.

"Iya, Bu."

Miftah dan Menik saling melepaskan pelukannya.

"Mas mau membantu ibu, Dek." ucap Miftah pada adiknya.

"Ayo, Nduk. Digendong ibu." Tijah menyelempangkan kain jarik panjang di bahunya untuk menggendong Menik balita usia satu setengah tahun.

Tijah menggendong Menik dan menjinjing tas anyaman ukuran besar yang berbahan dari plastik. Ia  berjalan di belakang Miftah.

Miftah menyunggi loyang berbahan plastik di atas kepalanya. Badan Miftah yang gendut berjalan inal-inul di depan ibunya. Menggemaskan buat yang melihatnya.

Kedua anak kecil Tijah itu memang sangat menggemaskan. 

***

Tijah tinggal di rumahnya sendiri yang dibangunnya sendiri di atas tanah milik kedua orang tuanya. Ia membangun rumah tepat di samping kanan rumah ibunya yang sudah janda. Selain merawat dan membesarkan kedua anak yang bersamanya, Tijah juga merawat ibunya yang sudah tua dan mulai pikun.

Orang yang tidak kenal Tijah, melihat Tijah bagaikan janda beranak dua. Karena ia tinggal terpisah dengan suaminya. 

Budiono suami Tijah seorang petani di desanya. Ibunya Budiono juga sudah tua renta dan lumpuh. Jadi sudah tidak bisa apa-apa tanpa bantuan orang lain, terutama anaknya. Budiono sangat menyayangi ibunya. Ia yang mengurus dan merawat ibunya.

Anak pertama, kedua dan ketiga Budiono dan Tijah, tinggal bersama Budiono. Mereka sudah besar jadi tidak terlalu menggantungkan diri pada ibunya. Mereka mulai mandiri. Disaat libur sekolah, sesekali mereka datang berkunjung ke rumah Tijah. 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!