Tijah mulai menarik pintu depan toko.
"Jah! Jah tunggu!" Teriak seorang wanita setengah baya tetangga Tijah sambil berlari dengan mengangkat sebagian kain roknya, supaya bisa berlari lebih cepat tanpa hambatan kain roknya.
Tijah menghentikan gerakan tangannya dan menoleh pada wanita itu.
"Ada apa, Bik?" Tanya Tijah.
"Jangan tutup dulu! Aku mau belanja!" Ucap wanita itu setelah berada sudah lebih dekat dengan toko Tijah.
"Oh! Ehm!" Tijah menoleh ke arah Budi, seolah meminta ijin untuk melayani wanita ini dulu, baru akan menutup tokonya.
"Huhff!" Budiono tanpa menjawab, tapi ia menghela dan mengeluarkan napas dengan kasar. Membuat Tijah jadi tidak enak hati. Tapi Tijah tetap harus melayani pembelinya dengan baik dan ramah.
"Jah, aku belanja untuk masak besok pagi lho Jah. Buat sarapan anak-anak sebelum berangkat sekolah."
"Iya Bik."
Kemudian wanita itu menyebutkan apa-apa saja yang dibelinya. Beras, garam, minyak goreng, telur, serta berbagai macam bumbu dapur.
Tijah melayani dengan baik.
Tiga puluh menit kemudian toko tutup.
Tijah bersama Budiono masuk ke rumah Nyai. Saat itu Tijah masih tinggal serumah dengan Nyai, ia belum membangun rumahnya sendiri.
"Jah, malam ini anakmu biar tidur sama Simbok saja!" Ucap Nyai.
"Iya, Mbok." Sahut Tijah. Kemudian ia menyusul Budiono yang sudah masuk ke kamar Tijah lebih dulu.
Sejak beberapa hari yang lalu, Tijah mengalami morning sickness. Setiap pagi mual dan muntah.
Kemudian dua hari yang lalu ia pergi memeriksakan diri ke bidan desa, dan dinyatakan positif hamil. Usia kandungannya berjalan sekitar dua bulan.
Budiono menatap Tijah dengan wajah sumringah senang. Tapi kali ini ia melihat ada sesuatu yang tampak berbeda dengan Tijah. Apa itu? Budiono bisa merasakan perubahan itu, tapi ia tidak tahu untuk mengucapkannya.
Wajah Tijah tampak berseri dan lebih bercahaya. Sungguh aura wajahnya berbeda dari biasanya. Walau badannya sedikit lebih kurusan dari sebelumnya.
Tijah berjalan menunduk mendekati Budiono yang duduk di tepi ranjang tempat tidur.
"Mas," ucap Tijah dengan terus menunduk.
"Hem." Sahut Budiono sok jual mahal.
Untuk memulai hubungan memang terasa canggung karena tidak sering bertemu. Tapi pelan-pelan suasana akan menjadi hangat dan tidak ada kecanggungan antara satu sama lain.
"Aku ---,"
"Kamu kenapa?"
Pertanyaan Budi menghentikan ucapan Tijah. Membuat kalimat Tijah menggantung.
"A-- aku ---,"
"Sakit?" Tanya Budi lagi dengan memotong ucapan Tijah yang sedang gugup itu.
Tijah langsung mengangkat wajahnya memberanikan diri menatap langsung pada wajah sang suami. Ingin melihat reaksi bahagia Budi nanti saat mengetahui ia hamil.
"Nggak. Aku nggak sakit! Tapi hamil." Ucap Tijah dengan tersenyum bahagia menatap Budiono.
Budiono yang sejak tadi menggenggam tangan Tijah, sejak Tijah datang dan duduk disebelahnya tadi. Mendengar Tijah mengatakan hamil, Budiono langsung melepaskan genggaman tangannya dari tangan Tijah.
Wajahnya dingin dan menyeramkan.
"Hamil! Kamu hamil? Dengan siapa kamu hamil?!" Tanya Budi dengan kasar tanpa perasaan sedikitpun. Ia sama sekali tidak peduli dengan perasaan wanita yang telah rela hidup susah bersamanya selama ini.
Selama hampir satu bulan terakhir Budiono memang tidak datang mengunjungi Tijah, karena sibuk dengan pekerjaannya yang harus lembur setiap malam untuk mengairi sawah dengan air yang harus bergantian dengan sesama pemilik sawah lainnya. Ia juga sibuk dengan ibunya yang harus kontrol ke rumah sakit yang memakan waktu lama karena harus antri.
Tijah sungguh sangat kaget dengan respon suaminya itu yang tanpa ia sangka sebelumnya.
Suaminya menolak kehamilannya. Tijah tersinggung dengan ucapan Budi yang seolah menyudutkannya, ia dikira telah berhubungan badan dengan selain diri suaminya.
"Kamu kira aku ini perempuan apa, hem?!" Setelah bertanya begitu, Tijah menggigit bibir bawahnya untuk menahan rasa kecewa dan sakit hatinya.
"Mana aku tahu! Dan itu anak siapa?! Kamu yang lebih tahu!" Budiono kemudian berdiri hendak meninggalkan Tijah.
Dengan air mata tertahan, Tijah langsung memegang tangan Budiono yang sudah berdiri itu.
"Budiono!" Tanpa menyebut Mas, atau kang Mas, sebagai rasa hormat, saking kesalnya diri dikatai seolah berselingkuh dan main dengan pria selain suaminya, Tijah memanggil saja langsung nama Budiono.
Budiono yang hendak berjalan keluar kamar, menghentikan langkahnya tepat di depan Tijah. Ingin mendengar alasan apa yang akan diucapkan Tijah.
"Apa menurutmu perempuan yang menjajakan tubuhnya begitu?! Aku tahu, di matamu aku ini hanya perempuan bodoh! Tapi aku selalu menjunjung tinggi etika!!
Aku berani bersumpah disaksikan langit bumi! Ini anakmu! Ini darah dagingmu! Amit-amit jabang bayi!" Tijah memegang perutnya kemudian memukul pelan sebanyak tiga kali.
"Budiono! Kamu suamiku! Saksikan ucapanku dan juga disaksikan langit dan bumi! Bahwa diperutku ini adalah anakmu Budiono! Dan dia akan lahir selamat didunia ini! Dengarkan dan saksikan!Jika ini bukan anakmu, bayi ini tidak akan bisa masuk dan tidak akan bisa keluar dari rahimku!"
Selesai mengucapkan itu Tijah melepaskan pegangan tangannya dari lengan Budiono. Kemudian menunduk sambil memejamkan mata. Dan mengalirlah air matanya yang sudah sejak tadi ditahannya untuk tidak keluar.
Mendengar ucapan Tijah, Budiono gemetar. Hati dan perasaannya ciut. Mungkinkah ia telah salah berucap tentang istrinya? Dan calon bayi itu?
Karena gengsi, Budiono terus melangkahkan kaki keluar dari kamar itu. Ia menuju ke teras, dan duduk di bangku kayu sambil merokok. Berharap Tijah akan menyusulnya keluar dan akan membujuknya untuk mengakui bayi yang dikandungnya.
Hampir satu jam Budiono duduk di teras. Ternyata menunggu Tijah untuk keluar untuk menemuinya hanyalah harapan semu saja.
Sementara Tijah yang di dalam kamar langsung mematikan lampu kamar sepeninggalnya Budiono. Setelah lelah duduk sambil menangis, Tijah berpindah posisi dengan membaringkan dirinya di tempat tidur sambil terus menangis. Menangis tanpa suara.
Hatinya serasa diiris mengingat ucapan Budiono yang masih sangat jelas terngiang di pikiran dan telinga. Ucapan yang amat sangat menyakitkan. Ucapan yang mampu membuat luka di dalam hatinya.
***
Hampir dua jam diluar, Budiono sekarang berdiri dan berjalan masuk kembali ke kamar.
"Krieet!" Budiono dengan pelan mendorong pintu kamar, tapi tetap mengeluarkan suara juga.
Tijah mendengar suara pintu kamarnya itu dan juga suara langkah kaki Budiono yang mendekatinya. Tijah pura-pura tidur dan berusaha bernapas dengan teratur supaya benar-benar dikira sudah tidur sungguhan.
"Ternyata sudah tidur." Gumam Budiono, kecewa. Dilihatnya Tijah tidur miring dipinggir ranjang tempat tidur tanpa kain selimut yang menutupi tubuhnya.
Budiono mencari kain selimut, yang ternyata dilipat dan disimpan Tijah di bawah kakinya.
Budiono menyelimuti tubuh Tijah dengan kain itu, dan ditariknya ke atas sampai batas dada. Kemudian duduk di pinggiran ranjang.
Diperhatikannya wajah Tijah yang sembab karena menangis.
Budiono mendekatkan wajahnya ke wajah Tijah, mencium kening Tijah, kemudian mengusap pipi dengan lembut.
Dari lubuk hatinya ada rasa sayang, Budiono tidak tega membuat wanita tercintanya menangis, tersakiti olehnya. Tapi ia juga tidak mau dibohongi oleh wanitanya.
"Aku pergi dulu!" Ucapnya pelan pada Tijah yang tidur. Kemudian Budiono beranjak meninggalkan Tijah dan keluar dari rumah itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments