Tijah keluar mencari Budiono. Saat berjalan sampai di luar dekat pintu utama, Tijah melihat Budiono duduk di teras bersama Aji dan beberapa pria yang lain.
Bertepatan dengan itu, Budiono pun menoleh ke arah pintu. Ia pun melihat Tijah. Wanita yang dinikahinya empat belas tahun yang lalu.
"Cantik!" Gumam Budiono dalam hati melihat Tijah sang istri terus menerus tanpa sengaja.
Tak dipungkiri, Tijah memang cantik. Waktu gadis, Ia merupakan salah satu kembang desa di kampungnya. Apa lagi sekarang dengan usianya yang lebih matang dan pandai merawat diri dan perekonomian yang ia miliki lebih dari cukup walaupun suaminya tidak memberi nafkah padanya.
Dan apalagi sekarang, setelah melahirkan tubuh Tijah tampak lebih segar dan agak lebih gemuk dari sebelumnya. Bagian dada dan pantat tampak lebih berisi dan menonjol.
Jika Tijah mau, ia bisa saja menuntut pisah dengan suaminya, dengan alasan istri tanpa nafkah dari suami, bisa juga istri yang ditelantarkan suami.
Tapi ia mesti berpikir berulang kali. Kini hidupnya bukan hanya untuk dirinya sendiri. Ia telah memiliki lima orang anak. Anak-anak yang juga memiliki perasaan. Jika orang tua berpisah, tentu anak-anaknya yang akan menjadi korban.
Tijah tidak ingin anak-anaknya tidak bahagia. Apapun ia upayakan demi kebahagian anak-anaknya.
Ia bisa merasa bahagia dengan caranya sendiri.
Tidak masuk ke dalam, menyiapkan minum dan makan untuk suami dan anak-anaknya.
"Mbak Ayu, ayo ajak adik-adiknya makan dulu, sama Bapak juga ya," ucap Tijah pada Ayu anak perempuan yang sulung.
"Iya Mbak. Aku sudah lapar lho!" Sahut Gun.
"Aku juga."
"Iya, aku juga lapar."
Anak-anaknya saling bersahutan.
"Sini dedek bayinya ibu yang peluk." Tijah meminta bayunya dari Ayu.
"Kalian makan dulu sana, sudah ibu siapkan! Jangan lupa Bapak juga dibilangi, diajak makan!" Pesan Tijah.
"Iya Bu." Jawab anak-anak serentak, kemudian mereka berhambur keluar dari kamar.
Ayu dan Gun mendekati Budiono dan mengajaknya makan.
Tijah meminta Mimin untuk memeluk bayinya. Ia akan melayani anak-anak dan suaminya di meja makan.
Tijah mengambil nasi untuk anak-anak dan menyuruhnya untuk mengambil lauknya sendiri-sendiri.
Di atas meja terhidang aneka menu. Ada sayuran kacang panjang, tauge, kol yang dicampur dengan dibumbu urapan kelapa mengkal. Kemudian ada ayam goreng dan ada ayam santan bumbu kari dan rempeyek kacang tanah yang ditaruh dalam toples besar.
"Bapak makan sama apa? Sama ini mau?" Tanya Tijah pada Budiono yang duduk di samping kirinya berdiri. Tijah membawa piring yang sudah diisi nasi sambil menunjuk urapan.
Budiono mengiyakan dengan menganggukkan kepala. Ada senyuman tipis yang ditujukan pada Tijah. Namun Tijah pura-pura tidak melihat senyuman itu. Ia terus fokus mengambil sayur dan ayam santan bumbu kari untuk Budiono.
Setelah itu Tijah meletakkan piring nasi itu di hadapan Budiono.
Tijah melihat anaknya satu per satu. Mereka makan begitu lahap.
"Yang mau tambah ambil sendiri-sendiri, ya?" Tijah mendekatkan wadah ayam goreng ke hadapan anak-anaknya supaya saat mengambil mereka tidak kejauhan, karena meja makannya yang besar.
"Ibu nggak makan?" Tanya Gun.
Budiono yang menunduk menikmati makan ikut menoleh ke arah Tijah. Ia tidak menyadari jika Tijah tidak ikut makan.
"Ibu masih kenyang, Nak. Kalian makanlah dengan kenyang!"
Tijah menyiapkan gelas-gelas berisi air minum dan mendekatkan ke masing-masing.
"Oeek… oeek…!"
"Jah, anakmu nangis. Haus sepertinya," teriak Mimin dari arah kamar.
"Ibu tinggal dulu ya! Kalian terus makan saja. Aku tinggal dulu ya, Pak." Pamit Tijah sebelum meninggalkan meja makan.
***
Selesai makan, anak-anak keluar bermain, sebagian ada yang menonton kartun acara di televisi.
Budiono masuk ke kamar Tijah. Tampak Tijah tengah memejamkan mata sambil memeluk bayinya yang sedang menyusu.
Bayi itu ternyata juga ikut tidur di pangkuan ibunya. Bayi perempuan yang wajahnya sangat mirip Budiono. Terutama bagian mata dan bibirnya.
Budiono akan mengangkat bayi itu dari pangkuan Tijah, tapi langsung ia urungkan sebelum menyentuhnya.
Lebih baik ia membangunkan Tijah saja dengan menggoyang bahunya pelan.
"Jah! Dia tidur. Tidurkan saja di kasur!" Mandat Budiono.
"Eh!" Tijah membuka mata mendapati Budiono ada di kamar. Kemudian menunduk melihat bayinya yang sudah tidur dan melepas puting sumber kehidupannya.
Tijah menutup dada besarnya dengan menarik naik bra yang dipakai.
"Dia cantik dan imut. Wajahnya mirip sekali denganmu, Mas," ucap Tijah lembut.
Budiono tidak memungkiri ucapan Tijah. Ia juga tahu bayi perempuan itu sangat mirip dengannya. Tapi ia diam saja. Tidak menanggapi ucapan Tijah.
"Kamu tidak ingin menggendongnya, Mas?" Tijah hendak menyerahkan bayi perempuan itu pada Budiono.
"Dia sedang tidur! Tidurkan di kasur!" Ucap Budiono agak kasar dan sedikit bentakan.
"Dia anakmu, Mas. Anak kita! Kamu suamiku. Aku hanya tidur denganmu saja! Kamu adalah Bapaknya! Dan bayi itu telah lahir dengan selamat dan tidak kekurangan apapun. Lahir dengan sempurna. Seluruh anggota tubuhnya lengkap. Wajahnya pun sangat mirip denganmu!
Aku telah menepati janjiku waktu itu! Ku rasa kamu juga masih ingat kan dengan kata-kataku waktu itu?
Disaksikan langit dan bumi aku bersumpah Bayi ini tidak akan bisa keluar atau masuk ke dalam perutku jika ia bukan anakmu!
Tapi selama dia ada di dalam perutku, dia sama sekali tidak merepotkanku. Aku tidak mengalami mual dan muntah lagi. Aku juga tidak mengidamkan apapun.
Dan sekarang kamu bisa membuktikannya sendiri dia lahir dengan selamat dan sehat!"
Tijah mengakhiri bicaranya. Kemudian bersamaan Budiono mereka menoleh ke arah bayi perempuan yang sedang dibicarakan itu.
Bayi perempuan yang banyak tidur itu tersenyum dalam tidurnya, ketika dilihat Tijah dan Budi bersamaan.
"Pulanglah ke rumah! Anak-anak kita besarkan sama-sama!"
"Maaf aku belum bisa." Tijah menunduk.
Tijah tidak bisa meninggalkan ibunya yang sudah tua seorang diri. Selain itu, mata pencaharian Tijah ada di sini. Sawah, ladang, pekerjaan dan toko Tijah ada di sini. Jika ia pindah ke rumah Budiono, pastinya ia akan merintis dan memulai dari awal lagi, dan itu tidaklah mudah.
Dan ia tidak yakin jika Budiono bisa menjamin mencukupi kebutuhannya dan juga kebutuhan anak-anaknya yang sudah banyak itu.
Tapi Budiono bicara hanya sekedar bicara. Tidak menyadari kondisinya seperti apa. Sedangkan saat ini saja ia sering mengeluh karena pendapatannya hanya mengandalkan hasil dari sawah saja yang akan panen nanti setiap empat bulan sekali.
"Kamu bisa pulang ke sini sewaktu-waktu." Ucap Budiono.
"Dengan anak yang masih bayi?! Haruskah aku mengajaknya perjalanan jauh setiap hari?! Tidak!!! Aku belum bisa pulang ke sana sekarang! Aku akan pulang jika dia sudah mulai besar! Dan kamu menerima dan mengakui dia anakmu!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments