Bab 9.

"Oek oek oek!" Tengah malam yang sunyi itu dipecahkan oleh suara bayi. 

"Perempuan, Jah." Setelah dibersihkan dan dipakaikan baju dan kain gedong, Bidan memberikan bayi mungil perempuan itu kepada Tijah.

"Terima kasih Bu Bidan," Tijah menerima bayinya dan kemudian memeluknya. Mendekatkan bayi itu ke dadanya.

Karena tidak ada keluhan baik ibu dan bayinya semua sehat, maka pagi harinya Tijah langsung diijinkan boleh pulang ke rumah.

Simbok, saudara, para pegawai dan para tetangga menyambut Tijah dan bayinya dengan sukacita dan penuh keheranan. Karena kemarin mereka tidak melihat tanda-tanda Tijah akan melahirkan.

"Ya Allah Nduk Jah, gangsar, lancar olehmu lahiran? Syukur alhamdulillah," banyak orang yang mengucapkan demikian.

Simbok langsung menyuruh orang-orang memasak untuk acara brokohan. 

Brokohan itu acara selamatan sebagai wujud syukur kepada Tuhan dan menyambut kelahiran bayi dengan harapan bisa mendapatkan keberkahan.  

Tijah meminta tolong pada Aji, untuk memanggilkan Budiono supaya datang melihat anaknya yang sudah lahir, dan kewajiban Bapak yang harus mensucikan batur bayi atau ari-ari.

Aji pun berangkat sesuai permintaan adik iparnya itu.

Setelah Aji sampai di rumah Budiono, yang kebetulan Budiono juga ada di rumah karena masih pagi.

"Dek Bud, istrimu sudah melahirkan tadi malam. Itu batur bayi juga belum di suceni (disucikan), datanglah ke sana. Saat ini orang-orang juga sedang menyiapkan acara brokohan." 

"Iya Kang. Aku ke sana nanti." 

"Jangan nanti nanti, Dek! Ayo berangkat bersamaku sekarang!" Desak Aji.

"Iya Kang, nanti aku menyusul." Jawab Budiono dengan ogah-ogahan. Ia tidak ingin datang. Hatinya tidak tergerak untuk menemui istri dan melihat bayi itu.

"Kok sepertinya kamu nggak semangat mau datang? Apa yang membuatmu enggan untuk datang Dek?!" Tanya Aji.

"Dia bukan anakku." Jawab Budiono cepat.

"Apa!! Yang bener saja kamu kalau ngomong!! Ngomong jangan sembarang njeplak saja mulutmu itu!!! Tak plester baru tahu rasa kamu!" 

Aji yang biasa terkenal pendiam, yang kalau bicara tidak banyak kata, dan lemah lembut dalam perangai maupun tutur kata, baru kali ini bicara panjang kali lebar dan dengan bentakan pula.

Membuat Budiono terperanjat kaget.

"Ya sudah! Terserah padamu saja! Yang penting aku sudah menyampaikan amanah padamu, Dek! Jangan sampai menyesal kamu di kemudian hari! Kalau begitu aku pamit dulu."

"Wong edan!" Gumam Aji sambil beranjak.

Belum hilang rasa kagetnya Budiono, Aji langsung beranjak pergi. 

Dalam hati ia begitu kesal pada Budi yang menurutnya tidak memiliki hati. Hatinya keras. Sekeras batu kali Brantas.

Di jalan sambil menaiki sepeda, Aji tanpa diminta menitikkan air mata. Membayangkan bayi tanpa dosa itu yang memiliki Bapak yang tidak peduli dengan kehadirannya.

"Kamu jadi anakku saja Nduk!" Tekat Aji sambil mempercepat laju sepedanya.

Setelah sampai rumah, ia tak langsung menemui Tijah. Aji langsung menuju kamar mandi untuk bersuci, kemudian mengambil batur bayi dan mensucikan. 

"Lho, Kang Mas?" Tijah kaget melihat Aji mengambil tempat batur bayi dan masih bercampur dengan kain- kain kena darah melahirkan tadi. 

"Biar aku yang mensucikan. Suamimu belum bisa datang hari ini!" Ucap Aji tanpa menoleh pada Tijah dan berlalu keluar.

"Sebegitunya sikapmu pada anakmu, Mas! Anakmu tidak salah! Aku juga tidak pernah serong! Pikiran macam apa yang merasuki dirimu itu!" Gumam Tijah seorang diri. Ia sedang duduk di dalam kamar sambil memangku bayi perempuan.

"Nak, jangan berkecil hati ya, sayang. Masih banyak orang-orang yang menyayangimu kok. Mereka semua peduli dan bahagia menyambutmu. Kamu harus bahagia bersama ibu, ya!"

Si bayi yang tidur dalam pangkuan ibunya itu tersenyum. Seolah ia mendengar, tahu dan memahami ucapan ibunya.

Tijah mengelus-elus pipi anak bayinya itu. Pipi yang sangat bening, halus, lembut dan licin. Selicin kaca bening.

"Nduk Jah, makan dulu!" Simbok datang ke kamar dan mendekati Tijah sambil membawa piring berisi nasi.

Di belakang Simbok ada Mimin yang membawakan gelas berisi air minum hangat.

"Ia, Mbok, terima kasih." Setelah melahirkan, Tijah belum memiliki selera untuk makan. Tenggorokannya sulit untuk menelan. Tidak tahu kenapa. Mungkin karena ia merasa sangat lega dan bahagia.

"Ini, sebelum makan minum dulu barang satu tegukan!" Mimin menyodorkan gelas air hangat.

Tijah menerimanya dan meminumnya perlahan. Meresapi rasa hangat air yang menjalar ke kerongkongannya.

"Makan yang banyak nutrisi supaya asi  lancar!" Simbok menyodorkan piring pada Tijah setelah si bayi beralih ke pelukan Mimin.

"Mbok, ambil saja ayam yang besar-besar di kandang untuk dipotong." Ucap Tijah pada Simbok yang beralih menangani urusan Tijah. Toh Simbok kan tinggal main perintah saja sesuai mandat dari Tijah.

Tijah memelihara ayam kampung yang dibuatkan kandang dibelakang rumah. 

"Iya, Nduk." Sahut Simbok. Kemudian Simbok keluar. 

Tidak lama Simbok masuk ke kamar lagi.

"Jah, di depan banyak tamu! Selesai makan temui sana dulu." Dawuh Simbok.

"Iya, Mbok."

Para tetangga Tijah datang dengan membawa berbagai macam barang, datang untuk jagong bayi. 

Rumah Tijah menjadi ramai penuh suka cita dengan orang datang silih berganti jagong bayi. Bahkan ada yang datang melekan (jaga malam untuk jagong bayi) di setiap malam.

***

Hari berganti hari. Budiono belum memunculkan diri. Sang bayi pun tidak rewel sama sekali.

Tiba hari kelima, saat akan mandi pagi, Simbok membuka baju bayi melihat pusar sang bayi lepas.

"Nduk Jah, anakmu sudah pupak puser. Disepasari kapan?" 

"Hari ini saja, Mbok. Supaya nggak kepikiran lagi."

Selesai memandikan si bayi, Simbok memanggil orang-orang dan juga sebagian tetangga dekat untuk membantu memasak dan menyiapkan acara sepasaran bayi

(Acara selamat setelah bayi umur lima hari yang bertujuan memohon keselamatan bagi si bayi).

Karena bahan sudah banyak tersedia, dan sebagian mengambil dari toko Tijah, maka tidak terlalu repot untuk belanja. Orang-orang yang rewang langsung mengerjakan sesuai dawuh dari Simbok.

Pukul empat sore Budiono datang membawa serta ketiga anaknya. Ketiga anaknya langsung menyerbu masuk ke kamar, ingin melihat adik yang baru lahir.

Tijah tersenyum dan sangat bahagia melihat anak-anaknya datang.

"Bu, sini adik bayi aku peluk!" Pinta anak perempuan pertamanya pada Tijah yaitu Ayu.

Usia Ayu dua belas tahun, ia sangat menyukai kehadiran adik bayi itu. 

"Dengan siapa kalian datang?" Tanya Tijah pada anaknya.

"Bapak, Bu. Bapak ada di luar bicara sama Nyai dan Pak Dhe Aji." Jawab Ayu.

"Jaga adikmu sebentar, ya. Ibu menemui Bapak dulu." Pesan Tijah pada Ayu.

Tijah keluar mencari Budiono. Saat berjalan sampai di luar dekat pintu utama, Tijah melihat  Budiono duduk di teras bersama Aji dan beberapa pria yang lain.

Bertepatan dengan itu, Budiono pun menoleh ke arah pintu. Ia pun melihat Tijah. Wanita yang dinikahinya empat belas tahun yang lalu.

 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!