"Oke, dah dah!" Esti melambaikan tangan pada kedua temannya, yaitu Menik dan Adi.
Selisih satu rumah dari rumah Esti, di situ rumah Adi.
"Baru pulang kamu, Di?" Tegur Kakak laki-laki Adi yang saat itu berada di teras.
Kakak laki-laki Adi itu yang mengajar mengaji di Masjid. Dia itu yang bernama Ustadz Zaki.
"Iya." Jawab Adi sambil terus ngeloyor saja masuk ke dalam rumah.
"Mari Ustadz," sapa Menik pada kakaknya Adi.
"Iya Mbak Menik." Jawab Ustadz Zaki.
Selanjutnya Menik berjalan sendiri menuju rumah. Rumah Menik, selisih satu rumah setelah rumah Adi.
***
Bapak yang sejak tadi pikirannya tertuju pada Menik yang ke sekolah tidak sarapan, menjadikan pikiran Bapak tidak tenang.
Maka di saat jam pulang sekolah Menik, Bapak duduk menunggu di teras depan, dengan sesekali melihat ke arah kiri. Yaitu arah munculnya Menik pulang dari sekolah.
Ketika Bapak sudah melihat Menik berjalan sampai di depan rumah Adi, Bapak langsung memanggil Ayu.
"Yu! Ayu! Sini dulu kamu!" Bapak memanggil sambil melambaikan tangannya juga.
"Cepat siapkan makan untuk adikmu! Lihat tuh dia jalan sampai di sana!" Ucap Bapak.
Ayu tanpa membantah ucapan Bapak, langsung menuju dapur, melihat menu di atas meja makan yang ia masak tadi.
"Lho! Telur dadarnya habis. Kok tinggal sayur?!" Gumam Ayu seorang diri.
Gun dan Miftah sudah pulang sekolah lebih dulu. Kemungkinan telurnya sudah dimakan dan dihabiskan mereka.
Ayu kembali ke depan ingin menemui Bapak dan ingin mengatakan menu yang masih ada. Tapi di sana sudah ada Menik yang baru saja menginjakkan kakinya ke teras.
"Assalamualaikum Bapak," salam Menik sambil terus berjalan sedikit berlari-lari kecil menghampiri Bapak yang sedang duduk di bangku panjang di teras.
"Alaikum salam." Sahut Bapak.
Menik menyalami tangan Bapak dan menciumnya dengan takzim.
"Menik sudah lapar?" Tanya Bapak berbasa-basi.
Bapak tentu saja tahu jika sejak pagi sampai siang bahkan siangnya sudah lewat tengah hari begini belum makan, kan pasti lapar.
Tapi Menik seolah tidak pernah merasa lapar. Ia akan ingat makan jika diingatkan orang lain untuk makan. Atau ketika ia melihat orang lain sedang makan, Menik baru kepingin makan.
Tadi saja saat di sekolah, ia kepingin makan roti karena melihat ada temannya yang makan roti di depannya. Makanya ia berlari ke kantin untuk membeli roti dan langsung memakannya.
"Menik nggak lapar, Pak." Ucap Menik sambil tersenyum manis pada Bapak.
Menik jadi teringat dengan rotinya yang sisa satu di dalam tas tadi.
"Kamu beli makan di sekolah?" Tanya Bapak penuh selidik setelah mendengar jawaban Menik yang katanya tidak lapar.
Dulu, jaman kecilnya Ayu dan Gun, mereka sering pergi ke pekarangan milik orang untuk mencari buah-buahan yang jatuh untuk dimakan, Juga suka makan di rumah temannya. Memang saat itu ekonomi Bapak sedang pas-pasan. Pada masa lalu Bapak itu, banyak orang yang meremehkannya, menghinanya di depan mata, beberapa orang mengatakan Bapak itu orang miskin dan nggak bisa makan dengan layak. Orang pun memandangnya hanya sebelah mata, dan mencibir.
Tapi, setelah Ibu, Miftah dan Menik mau diboyong Bapak, kehidupan Bapak perlahan berubah menjadi lebih baik. Bapak membuat dan akhirnya memiliki banyak usaha.
Bapak yang awalnya tidak mau mengakui Menik sebagai bibit benihnya, kini secara perlahan Bapak mulai terbuka pikirannya dan menyadari kesalahannya, walaupun, terkadang, masih ada keraguan yang tersirat di dalam hati untuk mengakuinya.
Mulutnya berkata tidak. Tapi di dalam hatinya yang suci tidak dapat menampik jika Menik sungguh anaknya. Dari segi fisik, Menik banyak kemiripannya dengan Bapak. Dari segi watak, demikian juga.
Orang-orang yang tahu cerita tentang hal ini, akan mengatakan supaya Bapak harus bisa sadar diri.
"Enggak."
"Makan di rumah temanmu?" Tanya Bapak lagi.
"Enggak. Oh ya, Pak. Tadi di sekolah Menik beli roti. Heeeheee…." Menik kemudian membuka tasnya dan mencari roti yang dibelinya tadi.
Bapak memperhatikan Menik.
"Ini dia rotinya!" Ucap Menik dengan girang sambil menunjukkan roti pada Bapak.
Bapak ikut tersenyum melihat Menik yang begitu bahagia hanya karena sebungkus roti.
"Tadi Menik beli dua, terus yang satu sudah Menik makan. Ini buat Bapak." Menik menyerahkan roti pada pangkuan Bapak.
"Kenapa yang satu sudah Menik makan?" Tanya Bapak.
Terkadang, Bapak itu suka memberi pertanyaan untuk jebakan.
Menik bingung dan menjadi cemberut mendengar pertanyaan Bapak. Dia kira Bapak tidak akan cukup jika hanya makan satu roti saja.
Wajah Bapak pun saat bertanya datar-datar saja. Padahal dalam hati Bapak mengagumi sikap gadis kecil di depannya itu yang ternyata mau berbagi tanpa diminta.
"Besok Menik belikan lagi buat Bapak, ya," ucap Menik seolah mencoba membujuk dan menenangkan Bapak.
Bapak menangkupkan kedua telapak tangannya pada kedua pipi Menik. Bapak menatap dalam wajah mungil itu.
"Lihat muka Bapak!" Titah Bapak.
Menik yang tadinya menunduk, jadi sekarang menengadah melihat wajah Bapak.
"Dengar baik-baik kata-kata Bapak!" Menik mengangguk sambil terus melihat wajah Bapak.
"Anak Bapak ini siapa namanya?"
"Menik."
"Bukan!"
"Oh, eh, em…!" Menik bingung, gugup juga. Masak Bapak lupa dengan nama dirinya yang sebagai anaknya, yang setiap hari sering dipanggilnya.
"Sekali lagi, Bapak tanya! Anak Bapak ini siapa namanya?"
"Sekar Arum." Jawab Menik lirih, takut salah dan tidak sesuai kemauan Bapak.
Bapak tersenyum.
"Pinter! Sekar Arum, sekarang Bapak bicara, dengarkan baik-baik, diingat dan jangan dilupakan! Ngerti?" Ucap Bapak serius.
"Ngerti."
"Jangan suka bermain di tempat orang! Teman-temanmu saja yang diajak main ke sini! Jangan suka meminta pada siapapun, terutama orang yang tidak dikenal! Tapi kalau diberi, ya terima saja, terima pakai tangan kanan, dan jangan lupa bilang terima kasih. Ngerti?"
"Iya Menik ngerti, Pak."
"Kok menik?!"
"Eh! Sekar Arum." Sahut Menik dengan cepat meralat dengan nama aslinya.
Dan sejak itu, Bapak tidak lagi memanggilnya Menik. Tapi Bapak memanggil dengan nama aslinya, yaitu Sekar Arum.
Sekar Arum adalah harapan orang tua, supaya anaknya menjadi bunga yang harum, bukan hanya harum dari baunya dan namanya saja, tapi juga harum dari segi tingkah laku, tutur kata, dan pemikirannya.
"Bagus!"
Bapak sering mewanti-wanti seperti itu. Karena Beliau tidak ingin kejadian masa lalu terulang lagi. Beliau tidak ingin anak-anaknya dihina orang lain. Biarlah masa lalu sebagai pelajaran dan kenangan buat Bapak, yang sekarang dan nanti bisa jadi cerita saja.
"Ya sudah, ayo sekarang ganti baju, terus makan!" Ucap Bapak sambil mengusap-usap kepala Menik. Kemudian mereka masuk ke dalam rumah bersama.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments