"Aduh! Mbak Ayu, pedas mataku. Aduh! Huuuhuuu…!" Menik kepedasan matanya terkena air bawang merah rupanya. Ia menangis.
"Duh cengeng! Cuma gitu aja nangis!" Omel Mbak Ayu.
"Huaaaa… huuuaaa….! Pedaaas!" Pecah keras tangis Menik.
Menik Sekalian menumpahkan rasa tekanan yang diterimanya dengan menangis. Biar lega!
Bapak yang sudah selesai dengan urusannya, tiba-tiba mendengar suara Menik menangis. Bapak buru-buru ke dapur.
"Ada apa Ayu? Adikmu kenapa? Kamu apain sampai nangis?" Bapak mendekati Menik yang sedang menangis sambil melihat ruangan dapur.
"Halah! Memang cengeng! Mengupas bawang saja nangis!" Teriak Ayu dongkol. Tidak ada sopan-sopannya sama Bapak. Ayu bicara keras sama Bapak seolah bicara dengan teman sebaya sendiri.
Ucapan Bapak seolah menyalahkan dirinya karena membuat Menik sampai menangis.
"Ya sudah. Ayo! Ayo ke kamar mandi. Cuci mukanya!" Bapak membimbing Menik menuju kamar mandi.
Sekalian Menik mandi saja persiapan untuk pergi sekolah.
Bapak kembali ke dapur.
"Adikmu masih kecil. Jangan terlalu kasar kamu!" Bapak mengingatkan Ayu.
"Sini Bapak gendong. Kamu selesaikan memasak!" Bapak mengambil alih anak di gendongan Ayu.
Setelah itu Bapak keluar dari dapur. Karena anak digendongan Bapak tidur, Bapak menidurkannya di box ayunan.
Bapak kembali mengurusi pekerjaannya.
Ayu masih sibuk dengan urusan dapur, masak memasak.
Menik selesai mandi berganti baju dengan seragam sekolah.
"Menik! Nik! Menik!" Esti lengkap dengan seragam sekolah berdiri di halaman depan rumah, berteriak memanggil Menik.
"Siapa kamu?" Tanya Bapak yang melihat Esti.
"Saya Esti, Pakde. Mau ngajak Menik berangkat," jawab Esti dengan takut.
Esti takut melihat Bapak Menik. Bapak Menik yang postur tubuhnya tinggi, besar, tegap, di tambah tampang wajah yang sangar bagi anak-anak yang melihatnya dikira orangnya jahat dan kejam.
"O, tunggu saja! Duduk situ! Dia masih mandi!" Bapak menunjuk sebuah bangku di teras, supaya Esti duduk.
Bapak orangnya disiplin, beliau tidak suka dengan orang yang kurang adab.
Di depan orang tua jangan berdiri nganyer. Lewat di depan orang tua, badannya harus sedikit membungkuk, berucap lemah lembut, berbahasa halus pada orang tua, jangan bicara keras, kasar, atau berteriak pada orang tua. Permisi jika di tempat orang. Jika salim tangan, cium tangan orang yang lebih tua.
Itu semua diajarkan Bapak kepada Menik.
Tidak lama Menik keluar dengan tas pink bergambar barbie yang sudah bertengger di bahunya.
"Hey Esti!" Teriak Menik dengan girang.
Menik sudah lupa kejadian di dapur tadi.
Bagi Menik, hidup itu adalah di sini, saat ini, detik ini, sekarang. Tadi atau kemarin, adalah masa lalu. Masa lalu adalah pengalaman dan pelajaran yang bisa diambil hikmahnya.
Sedangkan waktu nanti atau besok adalah masa yang akan datang. Dan itu belum ada di dalam pikiran Menik.
"Aku menunggumu, Menik!" Sahut Esti dan dibalas senyuman senang oleh Menik.
Tanpa masuk dapur, tanpa sarapan apa pun, Menik mendekati Bapak.
"Pak, Menik berangkat!" Menik menarik tangan Bapak untuk salim.
Bapak kemudian merogoh dompet di saku celananya. Beliau mengambil uang untuk jajan Menik selama di sekolah.
"Terima kasih, Bapak." Ucap Menik dengan senyum bahagia.
"Sana berangkat! Hati-hati! Kalau berjalan dipinggir saja. Jangan ke tengah-tengah jalan!" Pesan Bapak.
"Iya, Pak." Jawab Menik.
"Kamu juga! Dibilangi nggak mau njawab!" Bapak menegur Esti.
"Eh, a -- i -- i -- iya Pakde." Esti menjawab dengan gagap. Ia takut pada Bapaknya Menik.
Mereka berdua keluar dari pekarangan rumah. Berjalan menuju ke sekolah.
Sambil berjalan mereka bercakap-cakap.
"Menik, kamu apa nggak takut sama Bapakmu?" Tanya Esti yang tangannya terasa dingin itu.
Pertanyaan Esti sangat aneh menurut Menik.
Menik akan merasa takut pada Bapak, kalau ia membuat kesalahan dan melanggar nasehat Bapak. Selebihnya ia biasa saja. Bapak baik dan sayang padanya.
"Kenapa takut?"
"Bapakmu suka marah-marah kan? Bapakmu galak kan?"
"Eh! Enggak, deh! Memangnya kamu pernah dimarahi sama Bapakku?" Tanya Menik ingin tahu mengapa Esti merasa takut pada Bapak.
"Itu tadi Bapakmu bicaranya keras!"
"Oh. Ya memang Bapakku kalau bicara ya seperti itu. Tapi tidak marah selama kamu tidak salah. Bapakku baik. Nih aku tadi juga dikasih uang sangu! Kalau Bapakmu bagaimana?"
Menik menjelaskan tentang Bapaknya kepada Esti, supaya Esti tidak berpikiran yang membuatnya takut pada Bapak.
"Iya, ya. Kalau kamu dikasih uang, berarti Bapakmu kan nggak jahat. Kalau Bapakku di rumah suka marah-marah sama Mamaku, sama aku juga. Aku tidak pernah dikasih uang sama Bapak. Kalau aku minta uang ke Bapak, Bapak pasti bilang; sana minta uang ke Mamakmu sana!" Esti mengakhiri ucapannya sambil menoleh pada Menik.
"Emm, begitu ya,"
"Iya."
"Eh. Kita sudah sampai sekolah!" Ucap Menik dengan girang.
Kemudian mereka berdua membaur dengan teman-temannya yang lain, sambil menunggu kelasnya kosong.
Karena kelas mereka dipakai untuk bergantian dengan murid-murid kelas yang lain.
***
"Menik mana, Pak?" Tanya Ayu setelah selesai sarapan. Ia sudah mengambilkan nasi di piring untuk Menik, supaya dingin makanya Ayu mengambilkan nasi lebih dulu untuk Menik. Supaya, saat makan, Menik tidak kepanasan.
"Sudah berangkat." Jawab Bapak.
"Hah! Sudah berangkat? Menik tadi belum sarapan lho Pak!" Ayu memberitahu Bapak.
Bapak yang duduk di kursi teras mendongak melihat Ayu yang berdiri di samping pintu.
"Ceroboh kamu tuh!" Omel Bapak.
"Lha, mana aku tahu kalau Menik sudah berangkat?! Itu sudah aku ambilkan nasi di piring buat dia."
"Ck! Ya sudah bawa sini! Buat sarapan Bapak!" Ucap Bapak memerintah Ayu untuk membawa nasi yang tadinya untuk Menik, biar saja untuk sarapan Bapak.
"Besok lagi jangan kayak gini! Perhatikan betul-betul adikmu!"
Ada rasa sesal dan bersalah pada diri Bapak dan terutama Ayu, membiarkan Menik ke sekolah tanpa sarapan. Eh! Kok sarapan! Ini kan sudah siang, jam sepuluh gaes!
***
Sebelum masuk kelas, Menik berlari ke kantin yang letaknya di belakang kelas.
Kantin tampak sepi. Karena murid-murid masih di dalam kelas. Hanya kelas Menik saja yang masuk siang.
"Bu, saya beli ini!" Menik mengambil dua bungkus roti. Roti yang dibungkus plastik bening ada tulisan "Bakery pak Jenggot"
"Empat ribu." Ucap ibu Lus penjaga kantin.
Menik menyerahkan uang satu lembar lima ribuan yang diberi oleh Bapak tadi.
"Ini kembaliannya." Ibu Lus memberikan uang kembalian seribu rupiah dengan uang koin recehan lima ratusan dua.
Menik duduk di bangku yang disediakan di dalam kantin. Makan roti dapat setengah bungkus, Menik merasa perlu air.
"Ibu Lus, air aqua satu." Menik mengangkat gelasan mineral ke atas untuk menunjukkan pada Ibu Lus.
"Lima ratus."
Menik memberikan uang recehan satu.
Ia kembali duduk menikmati roti satu bungkus dan menghabiskan minumnya.
Roti yang satu bungkus ia masukkan ke dalam tas andalannya.
"Duh! Menik kemana sih?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments