Bab 14.

***

"Assalamualaikum wa rahmatullahi wa barakatuh," salam Pak Ustadz yang berdiri di depan kelas. Mengawali pertemuannya dengan para muridnya.

"Wa alaikumusalam wa rohmatullahi wa barokatuh," jawab anak-anak yang berada di kelas 1b. Yaitu kelasnya Menik, Esti, Hani dan yang lainnya.

"Sekarang kita belajar bacaan sholat ya, untuk besok semua membawa alat sholat, atau kalau perempuan membawa rukuh atau mukena. Karena besok kita akan belajar gerakan sholatnya." Ustadz di depan kelas memberi penjelasan. 

Yang jadi Ustadz itu adalah tetangga juga dengan Menik, Esti, Hani dan yang lainnya. Beliau adalah pria dewasa yang biasa dipanggil Bang Iwan,  yang usianya beberapa tahun lebih tua dari pada Mas Gun. 

Bang Iwan dan Mas Gun adalah teman bermain di lingkungan rumah. Tapi mereka berbeda sekolah. Mas Gun sekolah di SMP Negeri, sedang Bang Iwan sekolah di Madrasah Aliyah setingkat sama dengan SMA.

Jadi untuk mengaji dan ilmu agama, Bang Iwan lebih mumpuni.

Menik dan Esti disekolahkan di Sekolah Dasar di kampungnya, sedang Hani disekolahkan di Madrasah Ibtidaiyah setara dengan SD juga, tapi lebih rinci dalam ilmu agama. Meski berbeda sekolah pada pagi hari tapi  mereka selalu mengaji dan bermain bersama. Bahkan terkadang Hani kalau ada tugas dari sekolah, ia juga ikut belajar kelompok di rumah Menik.

"Nah! Dihafal ya untuk bacaan sholatnya! Mulai dari Takbiratul ikhrom, Allahu akbar. Kedua tangan diangkat kedua ibu jari …." Bang Iwan mengucapkan lafadz bacaan sholat  sambil memberi keterangan untuk gerakan-gerakannya.

"Ustadz, nggak enak kayaknya kalau cuma menjelaskan gerakannya saja tapi nggak dipraktekkan!" Protes Mbak Sud. Murid yang paling besar di kelas itu. Mbak Sud sudah kelas empat sekolah dasar.

Karena ustadznya terbatas, dan pelajaran yang diajarkan sama, maka muridnya digabung jadi satu kelas, yaitu di kelas Menik.

"Makanya, besok kalian semua membawa perlengkapan sholat. Kita latihan sholat di masjid. Untuk sekarang, hafalkan semua bacaan-bacaan sholat. Oke?" Bang Iwan menjawab protes Mbak Sud dengan sangat sabar. Begitu pun dengan tersenyum pula.

Menik langsung membuka catatannya dan mulai menghafal satu per satu, mulai dari niat-niat sholat, takbiratul ikhram sampai salam.

Sementara suasana kelas semakin ramai. Mereka teman-teman Menik sibuk membicarakan mukena yang mana milik mereka yang akan dibawa besok.

Tapi, Menik tidak peduli dengan itu. Sampai pada bacaan tahiyat akhir, Menik cumboh alias bingung saat sampai pada bacaan setelah dua kalimah syahadat. Yaitu bacaan sholawat.

"Allahumma sholli ala sayyidina Muhammad, wa ala ali sayyidina Muhammad, kama sholaita ala sayyidina Ibrahim, wa ala ali sayyidina Ibrahim. Wa barik ala sayyidina Muhammad wa ala ali sayyidina Muhammad, kama baarokta ala sayyidina Ibrahim, wa ala ali sayyidina Ibrahim,"

Tapi Menik sering cumboh dan keliru pada "Kama Sholaita" kadang ketukar dengan "kama barokta". Menik sering kebalik-balik di situ.

"Ada yang sulit?" Tiba-tiba Ustadz Iwan mendekati Menik yang sedang serius membenarkan hafalannya pada tahiyat akhir.

Menurut Menik Ustadz Iwan tiba-tiba mendatanginya, padahal Ustadz Iwan yang duduk di meja guru di depan sana mengamati Menik sudah sejak tadi.

"Eh, em i--ini Ustadz. Di tahiyat akhir kok suka salah-salah sih," Adu Menik.

"Yang di bagian mana?" Tanya Ustadz Iwan dengan sabar dan telaten.

"Coba kamu hafalan dan saya menyimak!" Pinta Ustadz Iwan yang sedang berdiri di samping meja Menik.

Ustadz Iwan memang cocok juga kalau jadi guru TK atau SD. Meskipun laki-laki, beliau orangnya Sabar, telaten, tutur katanya sopan dan murah senyum lagi.

Ustadz Iwan bisa melihat, bahwa Menik memiliki bakat. Menik anaknya rajin, dan rasa ingin tahunya tinggi. Selain itu Menik juga mudah paham dan mengerti bila ada penjelasan dari guru atau Ustadz.

Menik adalah murid kelas dua Sekolah Dasar.

"Nah, jadi, yang didahulukan kama sholaita, baru setelah itu menyusul yang ke dua kama barokta," Ucap Ustadz Iwan memberitahu dimana letak kesulitan yang Menik alami.

Menik manggut-manggut sambil terus memperhatikan bukunya.

Ustadz Iwan kembali berjalan ke mejanya yang di depan.

"Bagaimana? Kalian semua sudah hafal?" Tanya Ustadz Iwan berdiri di depan kelas sambil melihat seisi ruangan dengan mengedarkan pandangan.

"Sudaaaah!" Jawab teman-teman Menik dengan serentak.

"Bagus. Ayo sekarang kita melafalkan bacaan tahiyat akhir bersama-sama!" Ucap Ustadz Iwan.

"Attahiyatul mubarakatus sholawatut thoyyiba dulillah …," anak kelas 1 b serentak membunyikan lafadz tahiyat. 

Tapi saat sampai pada lafadz

"Assalamu alaika" pun akan ada yang cumboh alias keliru dengan "Assalamu alaina".

"Tuh kan, ada yang keliru masih. Assalamu alaika lebih dahulu ya, ayo ulangi!" Ustadz Iwan mengiringi bacaan murid-muridnya dengan mengetuk-ngetukkan penggaris kayu ke papan tulis.

"Oke, sekarang silahkan istirahat! Dan ingat! Ingat ya! Selama istirahat, kalian tidak boleh keluar dari area Masjid. Apalagi sampai keluar ke jalan raya. Tidak boleh, ya! Tidak boleh ke jalan raya!" Ustadz Iwan memperingatkan muridnya dengan sungguh-sungguh.

Karena, kalau terjadi sesuatu dan selama masih pada jam mengaji, tentu saja masih menjadi tanggung jawab wajib para ustadz. Karena anak-anak yang mengaji adalah amanah yang dititipkan oleh orang tua padanya.

Mbak Sud dan Hani juga Esti masih di dalam kelas, mereka sedang menghafal bacaan sholat. 

Sedang Menik keluar dari kelas. Ia duduk di lantai emperan kelas sambil melihat teman-temannya yang sedang berlari kejar-kejaran di halaman masjid.

"Menik, ayo beli jajan!" Ajak Hani yang berjalan bersama Esti berjalan mendekati Menik.

"Iya," jawab Menik sambil bangkit dari duduknya.

Mereka bertiga berjalan beriringan menuju warung yang ada di sebelah kiri masjid.

Setelah mendapat kue atau jajanan yang dibeli, mereka kembali dan duduk di teras kelas.

Di sana ada tiga kelas yang dipakai untuk mengaji sore, yang letaknya di depan sebelah kiri masjid, menghadap ke halaman masjid.

Sementara istirahat, para Ustadz duduk di serambi masjid untuk mengawasi para santrinya.

Dua puluh menit pun berlalu. Waktu istirahat telah usai.

"Eh Pak Ustadz sudah berjalan ke sini! Ayo masuk! Masuk!" Kata Mbak Sud mengomando, membuat anak-anak yang mendengar menoleh mencari Ustadz yang berjalan mendekati kelas.

Menik, Esti, Hani dan yang lain berlarian masuk ke kelas dan duduk di kursinya masing-masing.

Ustadz sudah berdiri di depan kelas. Ini bukan Ustadz Iwan, tapi Ustadz yang satunya lagi, yaitu Ustadz Zaki.

Ustadz Zaki yaitu Ustadz yang mengajarkan tentang membaca dan menulis arab, juga singiran.

"Sekarang kita menulis pegon!" Kemudian Ustadz Zaki menuliskan contoh di papan tulis.

"Huruf vokal A kita menulisnya dengan "alif". Sedang vokal i ditulis dengan huruf hijaiyah "ya" dan huruf vokal u ditulis dengan "wawu".

Contoh, sapu. Ditulis; Sin, alif, fa, wawu.

Kalian paham?" Ustadz Zaki bertanya pada muridnya.

"Paham." Teriak Menik dan sebagian yang lain.

"Baik. Sekarang tugas kalian menulis sepuluh macam nama buah-buahan dengan huruf pegon! Silahkan kerjakan!" Ustadz Zaki kemudian duduk di kursinya.

Para santrinya sibuk mengerjakan tugas.

"Sepuluh macam, apa saja ya?"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!