NovelToon NovelToon

Anak Yang Tak Diakui

Bab 1.

"Menik, bangun sayang!" Bisik ibu yang sudah masuk ke kamar Menik dan berjalan mendekati tempat tidur Menik.

Menik yang merasa tidur nyenyaknya terganggu, ia  menggeliat dan membuka mata. Dilihatnya Ibu yang sudah mengenakan pakaian rapi seperti hendak pergi, membuka lemari baju Menik.

Mata Menik langsung terbuka.

 "Ibu, ada apa, Bu?" Tanya Menik dengan suara kecil yang parau khas suara anak kecil bangun tidur. Karena Menik berusia sekitar tiga setengah tahun.

"Ayo bangun! Terus ganti baju! Kamu ikut Ibu!" 

Menik bangun dari tidurnya. Ia duduk di ranjang dengan pikiran bahagia mendengar Ibu akan mengajaknya.

"Beneran, Bu? Menik Ikut ke pasar? Tanya Menik memastikan ucapan Ibunya.

Ibu masih mencari baju untuk ganti Menik tanpa menyalakan lampu kamar.

"Iya. Ayo bangun!" Ibu membimbing Menik berdiri di atas tempat tidur. Lalu melepas baju tidur Menik dan menggantinya dengan baju yang diambilnya dari lemari baju.

"Kamu ganti dengan baju dan celana ini. Ini baju dan celana pemberian dari Mbah Nyai Jaenah, lho!" Ucap Ibu mengenang baju itu sambil memakaikan baju ke badan Menik. 

Baju atasan model baju perempuan, ada renda dan hiasan pita dengan bawahan celana kain panjang. Saat dikenakan Menik, Menik merasa sangat nyaman dan hangat.

Pagi ini berbeda dengan pagi-pagi sebelumnya. Menik yang biasanya bangun setelah matahari sudah muncul dan saat keluar kamar sudah tidak menemukan Ibu di rumah. 

Ibu yang selalu bangun malam sekitar pukul empat, untuk menyiapkan barang dagangan yang dibawanya ke pasar untuk dijual. Dan akan berangkat ke pasar sebelum pukul enam, nanti pulang dari pasar pukul sebelas. Begitu terus setiap hari. 

Sehingga Menik bisa bertemu Ibu pada siang harinya sampai malam sebelum Menik tidur lagi.

Untuk mandi pagi, Bapak yang memandikan Menik. Terus sarapan, Menik sarapan sering dilayani oleh budhe. Terkadang juga Bapak yang membelikan sarapan untuk Menik di warung, jika Bapak ada waktu dan tidak terlalu sibuk dengan pekerjaannya.

Menik kecil sama sekali tidak pernah mengeluh. Ia menjalani hari-harinya dengan happy karena memiliki banyak teman yang seusia dengannya.

Tijah mengajak Menik ke depan rumah menunggu mobil angkutan langganan Tijah biasanya.

Menik tersenyum menoleh pada ibunya. Tijah tidak membawa barang dagangan seperti biasa, ia hanya membawa satu kantong tas yang berisi baju ganti Menik.

Sepuluh menit kemudian mobil yang ditunggu tiba.

"Mbah Nyai, aku bareng ya?" Ucap Tijah saat mobil telah berhenti di depannya. Ternyata yang berhenti bukan mobil langganannya melainkan mobil Mbah Nyai Jaenah.

"Iya, Jah. Kayak sama siapa. Ayo naik! Keburu siang pasarnya bubar!" Ucap Mbah Nyai Jaenah menyuruh Tijah segera naik ke mobil.

"Ayo nak!" Setelah pintu mobil terbuka, Tijah mengangkat Menik dinaikkan ke dalam mobil. Dan Tijah menyusul masuk kemudian.

Di dalam mobil penuh dengan barang dagangan Mbah Nyai. Tapi masih ada tempat untuk duduk Tijah dan Menik.

"Ini anakmu Jah?" Tanya Mbak Nyai setelah mengamati Menik yang duduk anteng di sebelah Tijah sambil memeluk lengan Tijah. Menik tampak imut.

"Iya Mbak Nyai. Ini baju yang dipakai genduk baju yang dikasih sama Mbah Nyai waktu itu loh Mbah." Tijah memberitahu Mbah Nyai supaya senang pemberiannya telah dipakai dan tidak disia-siakan.

"Elah, apa iya? Kok masih bagus padahal sudah lama to Jah?" Mbah Nyai merasa senang pemberiannya bermanfaat.

Menik hanya diam dengan mata berkedip-kedip mendengarkan kedua orang tua itu berbincang.

Beberapa menit kemudian mereka sampai pasar tujuan. Tijah menuju tempat kiosnya berada dan langsung membuka pintu dan papan bedak. Kemudian menata barang dagangannya yang berupa aneka macam sembako.

"Mbak Yu Tijah, bocah kecil ini anakmu?" Tanya beberapa orang sesama pedagang teman Tijah di pasar itu.

"Iya Mbak Yu. Ini Monik anakku." Ucap Tijah memperkenalkan anaknya pada teman-temannya sambil menata barang dagangannya.

"Nduk, duduk sini, Nduk!" Tijah menyuruh Menik duduk di dalam kios, kalau diluar takutnya mengganggu orang yang lewat lalu lalang membawa barang dagangan maupun belanjaan.

"Aku duduk sini, Bu!" Menik tidak mau masuk ke kios. Ia sangat penasaran dengan aktifitas orang-orang pasar yang jarang dilihatnya, sehingga ia tetap berdiri di depan kios dekat dengan pintu kios ibunya.

Tijah tidak memaksa anaknya itu. Tapi ia tetap mengawasi anaknya sambil melayani pembeli yang silih berganti berdatangan membeli padanya.

"Mbak Yu, anakmu kok imut gini to? Hemm gemes aku," Mira teman jualan Tijah mendekati kios Tijah sambil mencubit pipi Menik yang gembil itu saking gemesnya.

Tijah tersenyum mendengar ocehan teman-temannya.

"Ini Menik, Mir. Kamu masih ingat, nggak?" Tijah berusaha mengingatkan pada temannya itu saat kejadian dua tahun yang lalu.

***

Dua tahun lalu

Tijah mengajak Menik kecil ke pasar. Menik yang berusia satu setengah tahun, baru saja bisa jalan dan masih belajar bicara. Ia bisa berjalan dan terkadang masih suka jatuh, Ia bisa bicara tapi masih belum jelas, dan kata-katanya hanya bisa dimengerti oleh orang-orang terdekatnya saja, terutama ibunya.

Di emperan kios Tijah ada beberapa pedagang yang numpang jualan. Mereka memasang tikar karung untuk alas jualan. Ada pedagang buah langsat, jeruk, ada pedagang kue basah semacam kicak, cenil yang dibungkus dengan daun pisang, ada juga pedagang sayuran.

Sementara Tijah melayani banyak pembeli di kiosnya, Menik lepas dari dalam kios. Ia sering keluar ke emperan kios, berjalan mondar mandir di sana dan mengganggu pedagang yang ada di emperan kios Tijah.

"Mbak Yu, aku titip anakku, ya!" Ucap Tijah dari dalam kios dengan suara sedikit keras supaya dapat didengar oleh pedagang di emperan kiosnya.

"Iyo, Jah. Kamu tenang saja. Aman kok anakmu!" Sahut para pedagang itu.

Pedagang -pedagang itu merasa bersyukur dibolehkan numpang jualan di emperan kios Tijah. Sebagai balas budinya mereka ikut membantu menjaga dan mengawasi Menik yang tidak bisa diam itu.

"Empe. Empe." Ucap Menik berdiri didekat penjual buah langsat sambil menengadahkan kedua telapak tangannya.

"Apa Nduk? Sebentar ya Nduk," ucap pedagang buah itu kepada Menik si bocah balita sambil melayani pembeli yang berdiri di depannya.

Menik kemudian diam sambil terus memperhatikan buah langsat yang menurutnya buah itu bentuknya sangat menarik. Buah yang bergerombol dalam tangkai, buah yang berbentuk bulat-bulat berwarna kuning.

Setelah pembeli pergi, Menik kembali berucap,

"Empe. Empe." Sambil menengadahkan kedua telapak tangannya.

Pedagang  itu cuek dengan tingkah polah Menik, karena ia menunduk sibuk menghitung uang yang barusan diperolehnya.

Tijah yang sudah selesai melayani para pembeli di kiosnya, ia melongokkan kepala keluar kios guna melihat anaknya si Menik bocah balita kecil mungil itu yang menggemaskan itu.

Bab 2.

Tijah yang sudah selesai melayani para pembeli di kiosnya, ia melongokkan kepala keluar kios guna melihat anaknya si Menik bocah balita kecil mungil yang menggemaskan itu.

"Lho, kenapa anakku itu?" Tanya Tijah seorang diri. Kemudian ia segera keluar mendatangi Menik.

Mendengar suara tanya Tijah, pedagang cenil alias sejenis kue basah itu menoleh ke arah Menik yang berdiri di dekat penjual buah.

"Ya ampun Mbak Yu, anakmu. Apa maksudnya minta buah to itu?!" Ucap penjual kue basah yang melihat gestur Menik.

"Empe. Empe." Menik tidak putus asa. Ia terus ucap begitu dengan terus menengadahkan kedua telapak tangannya ke dekat penjual buah.

"Nduk, kenapa sayang?" Tanya Tijah setelah mendekati putrinya dan memeluknya.

"Ibu, empe! Empe, ibu!" Rajuk Menik kepada ibunya dengan sangat menggemaskan sambil menunjuk buah langsat.

"Apa, Nduk? Ya ampun Nduk. Haahaahaaa…!" Tijah tertawa karena baru mendengar bahasa baru dari mulut mungil si kecilnya. 

"Empe itu minta to Nduk? Haaa Haaa Haaa…!" Ucap penjual buah. Kemudian suara tawa keras bersahutan di muka kios Tijah, karena kelucuan yang diperankan Menik.

"Kamu  mau langsat? Ini?" Tanya Tijah pada anaknya dengan sayang sambil menunjuk buah langsat.

Menik menganggukkan kepala berulang kali sambil memeluk leher  Sang Ibu Tijah.

"Ya ampun Mbak Yu, anaknya Mbah Yu Tijah minta dari tadi lho itu nggak kamu kasih! Kok kebangetan kamu itu Mbak Yu!" Ucap pedagang kue basah geregetan dengan sikap si penjual buah yang cuek bebek itu.

Penjual buah kaget dan menghentikan aktivitasnya. Ia mendongak melihat penjual kue basah, Tijah dan Menik ada di dekatnya.

"Eh, mbak Yu Tijah, Nduk, maaf, maaf. Aku nggak ngerti maksude ucapan anakmu itu tadi apa?" Kata penjual buah yang menjadi merasa bersalah.

"Kalau nggak ngerti ucapane, kan yo ngerti sama gestur tubuhe to Mbak Yu, Mbak Yu! Kamu itu jadi orang kok tegaan banget!" Ucap penjual kue basah masih dengan sewotnya.

Monik semakin mendekatkan dirinya pada ibu.

"Sudah. Sudah, nggak papa Mbak Yu." Tijah menenangkan penjual kue basah yang emosi dengan penjual buah yang membiarkan Menik.

"Mbak Yu, aku beli langsatnya ya, sekilo saja." Ucap Tijah menuruti kemauan Menik.

Setelah mendapat langsat yang dibeli, Tijah membawa anaknya masuk ke kios.

***

Setelah pukul sembilan, pasar mulai sepi. Karena pasar memang hanya pasar pagi.

"Mbak Yu, ini ku tambahi buat anakmu Menik." Penjual buah masuk ke kios Tijah membawa kantong kresek berisi buah langsat dicampur jeruk diberikan pada Tijah yang tengah mengupaskan buah langsat untuk Menik.

"Lho Mbak Yu, dijual saja dulu, siapa tahu masih ada yang beli," 

"Sudah siang Mbak Yu Jah. Aku mau pulang. Besok lagi jualan."

"Terima kasih lho mbak Yu," Tijah tidak menolak pemberian orang lain.

"Seharusnya aku to yang terima kasih, sudah kamu bolehin numpang di emperanmu,"

"Halah ngomong apa to Mbak Yu, kita itu sama-sama mencari rezeki." Tijah dan pedagang buah saling melempar senyum.

Pedagang kue basah pun menghampiri Tijah dengan kue cenil dan kicak beberapa bungkus diberikan pada Tijah.

"Buat anakmu, Mbak Yu." 

"Terima kasih lho Mbak Yu," ucap Tijah.

Ia merasa bersyukur orang-orang baik kepadanya.

Motto: "Jika kita berbuat baik pada orang lain, maka orang lainpun akan berbuat baik pada kita."

Kakaknya Menik bernama Miftah, anak laki-laki usia lima tahun lebih tua dari Menik.

Ia sekolah di Sekolah Dasar yang tidak jauh dari pasar.

Makanya setelah pasar sudah mulai sepi pembeli dan para pedagang satu per satu mulai meninggalkan pasar, Tijah masih berada di kiosnya, ia mulai menata untuk menyimpan barang dagangannya, dan sebagian dibawa pulang untuk dijual di rumahnya. Karena di depan rumah Tijah mempunyai toko juga yang akan dibuka setelah pulang dari pasar.

"Belum pulang Mbak Yu?" Tanya pemilik kios sebelah kios Tijah.

"Ini persiapan mau pulang, sambil nunggu anakku pulang sekolah."

"Ow. Jam berapa pulangnya sekolah?"

"Nggak lama lagi Mbak Yu. Paling ini sudah jalan pulang,"  Tijah memberitahu.

Anak SD kelas satu pulang kan lebih pagi. Antara pukul sembilan atau sepuluh pagi.

"Te! Te! Te puang! Te puang!" Teriak Menik kecil dengan riang menyambut kedatangan kakak lelakinya yang berjalan mendekatinya.

Suara cadelnya Menik balita ingin menyebut kata "mase" menjadi "Te".

"Te puang!" Maksud Menik "Mase pulang!"

Tapi orang-orang yang dekat dengan Menik selalu mengerti apa maksud ucapan Menik, terutama Tijah dan Miftah. Tapi pada awal-awalnya mereka bingung juga apa yang Menik maksud.

Miftah berjalan kaki dengan pakaian putih merah dan mencangklong tas sekolah bergambar ultramen di punggungnya.

"Mase sudah pulang, Nduk." Ucap Tijah.

Miftah tersenyum melihat Menik girang menyambutnya pulang sekolah.

Lalu mendekati Menik dan  berjongkok di depan Menik, terus merangkum kedua pipi Menik dan menciumnya dengan gemes. Menik pun meletakkan kedua tangannya di bahu Miftah. Minta digendong kakaknya.

Tijah menutup pintu kios dan menggemboknya.

"Menik gendong ibu, ya. Mase biar membantu ibu membawa loyang."

"Le, Miftah, bantu ibu membawa loyang yang isi rempah-rempah ini ya le," Tijah memilihkan loyang yang tidak berat dan tidak banyak isi untuk dibawa Miftah anak lelakinya yang usia sekitar tujuh tahun.

"Iya, Bu."

Miftah dan Menik saling melepaskan pelukannya.

"Mas mau membantu ibu, Dek." ucap Miftah pada adiknya.

"Ayo, Nduk. Digendong ibu." Tijah menyelempangkan kain jarik panjang di bahunya untuk menggendong Menik balita usia satu setengah tahun.

Tijah menggendong Menik dan menjinjing tas anyaman ukuran besar yang berbahan dari plastik. Ia  berjalan di belakang Miftah.

Miftah menyunggi loyang berbahan plastik di atas kepalanya. Badan Miftah yang gendut berjalan inal-inul di depan ibunya. Menggemaskan buat yang melihatnya.

Kedua anak kecil Tijah itu memang sangat menggemaskan. 

***

Tijah tinggal di rumahnya sendiri yang dibangunnya sendiri di atas tanah milik kedua orang tuanya. Ia membangun rumah tepat di samping kanan rumah ibunya yang sudah janda. Selain merawat dan membesarkan kedua anak yang bersamanya, Tijah juga merawat ibunya yang sudah tua dan mulai pikun.

Orang yang tidak kenal Tijah, melihat Tijah bagaikan janda beranak dua. Karena ia tinggal terpisah dengan suaminya. 

Budiono suami Tijah seorang petani di desanya. Ibunya Budiono juga sudah tua renta dan lumpuh. Jadi sudah tidak bisa apa-apa tanpa bantuan orang lain, terutama anaknya. Budiono sangat menyayangi ibunya. Ia yang mengurus dan merawat ibunya.

Anak pertama, kedua dan ketiga Budiono dan Tijah, tinggal bersama Budiono. Mereka sudah besar jadi tidak terlalu menggantungkan diri pada ibunya. Mereka mulai mandiri. Disaat libur sekolah, sesekali mereka datang berkunjung ke rumah Tijah. 

Bab 3.

"Buk, Menik mana?" Tanya Gunawan suatu hari. Karena yang dilihatnya hanya ada Miftah adiknya yang sedang bermain bersama teman sebayanya di halaman rumah yang luas itu.

Gunawan berusia dua tahun lebih tua dari Miftah. Sekarang Gunawan kelas tiga Sekolah Dasar. Pulang sekolah, ia datang dengan tiga temannya. Mereka berboncengan naik sepeda.

Padahal Gunawan sudah mencari keberadaan Menik di dalam rumah dan membuka setiap kamar tapi tidak ada Menik.

Tijah yang sedang sibuk di dapur memasak untuk anak-anaknya itu menjawab.

"Menik dibawa Bu Dhe Mimin ke rumahnya, le. Kamu kangen sama adikmu, ya?"

Setelah menaruh panci kukusan nasi di atas kompor, Tijah membawa baki berisi teh dan disodorkan pada Gunawan dan teman-temannya.

"Ini minum dulu. Setelah itu kamu cari adikmu di rumah Bu Dhe Mimin!"

Gunawan menyeruput teh pemberian ibunya. Diikuti tiga temannya. Kemudian meletakkan gelas di meja.

"Sama ibu ya kesana?" Pinta Gunawan.

"Iya. Kalau kamu sudah hilang rasa lelahnya, kita ke sana." Ucap Tijah untuk melegakan hati putranya itu.

"Sudah buk. Sudah nggak capek aku. Ayo sekarang ke sana." Ajak Gunawan pada ibunya. Ia yang sudah sangat ingin bertemu adik perempuannya itu, sangat tidak sabaran ingin membawa Menik dalam gendongannya.

"Nyi, Nyi!" Tijah memanggil ibunya di rumah sebelah. 

Tijah memanggil ibunya "Nyi" atau "Nyai" untuk membahasakan anak-anaknya ketika memanggil neneknya, yaitu ibunya Tijah.

"Ada apa Nduk?" Jawab Nyai sambil berjalan pelan ke arah pintu dengan menggunakan tongkat untuk menegakkan jalannya.

Gunawan berjalan mengekor di belakang Tijah. Ia juga ingin bertemu neneknya.

Melihat neneknya, Gunawan langsung salim dan mencium tangan wanita renta itu.

"Ini Gunawan to, Nduk? Gunawan anakmu? Kapan kamu datang le, cah bagus?" Sambut Nyai sambil menatap anak lelaki remaja di hadapannya.

"Iya, Nyi. Ini anakku Gunawan," sahut Tijah.

"Iya Nyi, aku Gunawan anaknya ibuk. Baru datang, Nyi." Jawab Gunawan sambil menuntun neneknya berjalan keluar rumah.

"Nyi, ini Gun ngajak jemput adiknya di rumah Mbak Yu Mimin. Aku titip warung ya Nyi?" Pamit Tijah yang tidak ingin berlama-lama anaknya memendam rasa ingin bertemu adik perempuannya.

"Oalah. Iya sana. Cepet pulang lho Nduk! Nanti kalau ada orang beli, simbok nggak bisa melayani,"

"Iya, Nyi."

"Ayo, le!" Tijah mengajak Gunawan lekas pergi ke rumah budhe Mimin, yaitu kakak perempuan Tijah yang rumahnya hanya selisih tiga rumah saja.

Mereka berjalan kaki menuju rumah Mimin.

***

Di rumah Mimin.

Menik puas bermain dengan ketiga anak Mimin yang usianya seumuran dengan Gunawan, ya beda bulannya, tapi nggak jauh-jauh amat.

Menik yang sangat menggemaskan, ia tidak akan pernah lepas dari pelukan satu orang ke orang lainnya.

"Menik!" Panggil Gunawan yang melihat Menik dipeluk oleh salah satu anak perempuan Bude Mimin.

Wanti, anak perempuan Mimin yang menggendong Menik, menoleh ke asal suara.

"Hei, Gunawan!" Teriak Wanti menyambut Gunawan datang. Gunawan masih berjalan memasuki gerbang pagar bambu depan rumah itu.

Gunawan tersenyum pada kakak sepupunya itu.

"Itu Mas mu datang, Nik!" Wanti menurunkan Menik dari gendongannya.

"Te. Te." Teriak Monik memanggil mase pada Gunawan tapi yang terucap oleh Menik justru Te, sambil berlari yang justru tampak lucu dan sangat menggemaskan ke arah Gunawan yang sudah jongkok mensejajarkan tingginya dengan Menik.

"Hem, adik Mas Gun tambah cantik dan imut saja," Gunawan menciumi pipi kanan pipi kiri Menik dengan gemes. Sampai Menik  tertawa terpingkal-pingkal karena geli dalam pelukan Gunawan ketika Gunawan menciumi leher Menik.

"Baru datang kamu, Gun?" Tanya Wanti.

"Iya Mbak." Jawab Gunawan singkat sambil Menik terus bertengger dalam pelukannya.

"Ya udah masuk dulu, Yuk! Bik, ayo masuk sini! Aku buatkan minum dulu!" Wanti mengajak Gunawan dan Tijah untuk masuk ke dalam rumah.

"Nggak usah, Mbak. Aku tadi sudah dibuatkan teh sama ibu, belum kuhabiskan," sahut Gunawan.

"Beneran? Jadi serius nih nggak mau aku bikinin minum? Bik?" Tanya Wanti pada Tijah bibinya.

"Iya Nduk Wanti, Bibik tadi sudah buat teh di rumah soalnya. Ibumu mana?"  Tijah bertanya keberadaan Mimin pada Wanti.

"Itu di dapur lagi masak, Bik. Sama menggoreng ikan asin yang dikasih Bibik kemarin," ucap Wanti.

Tidak lama Mimin dan Aji suaminya Mimin keluar dari dapur.

"Jah, kamu di sini?" Tanya Aji yang melihat Tijah berdiri di halaman rumahnya bersama dengan Gunawan yang jongkok sambil memangku Menik.

"Ini kan Gun to? Gunawan?" Tanya Aji pada Tijah.

"Iya Kang Mas, ini Gunawan anakku," jawab Tijah.

"Lha, masih berapa hari tole, aku nggak lihat kamu, kok ya sudah pangling," ucap Pak Dhe Aji.

"Hehee," Gunawan hanya menanggapi dengan tertawa tipis.

"Kapan kamu datang, le?" Tanya Pak Dhe Aji.

"Barusan Pak Dhe."

"Lha cepat banget besar lho kamu, Gun. Aku jadi pangling," ucap Aji.

"Hehee… iya," jawab Gunawan dengan prengesan dan segan.

"Menik! Kamu ikut siapa Nduk? Kok anteng dipeluk sama Mas Gun. Apa juga kangen kamu sama Mas Gun, hem?" Aji mendekati dan menggoda Menik.

"Ikut Bapak!" Menik langsung mengulurkan kedua tangannya pada Aji, minta digendong.

"Mana Bapakmu, Menik? Hei ini Bapakku, Menik, bukan Bapakmu!" Wanti ikut datang mendekati Menik dan terus menggodanya.

Menik kecil memanggil Pak Dhe Aji dengan sebutan Bapak. Karena sejak kecil, eh bahkan sejak lahir ceprot Pakde Aji yang ikut merawat Menik, Aji menyayangi Menik melebihi sayangnya pada anak-anaknya. Itu yang menjadikan Menik juga dekat dengan Aji seperti Bapak sendiri. Juga, orang-orang terdekatnya membahasakan Menik memanggil Aji dengan sebutan Bapak yang seharusnya Pak Dhe.

Menik kecil yang belum paham apa-apa, hanya tertawa terkekeh ala balita sambil menjulurkan kedua tangan minta dipeluk.

"Jangan begitu to Wanti, Menik juga anak Bapak!" Ucap Aji. 

"Aji, kalau mau menggendong bayi jangan sambil merokok. Asapmu itu lho nggak bagus untuk bayi!" Bu Dhe Mimin mengingatkan suaminya.

Tanpa membantah, Aji langsung membuang rokoknya yang masih panjang lebih dari setengah.

Semua melongo melihat itu. Wanti dan Gunawan saling pandang.

"Mbak Yu?" Tijah seolah bertanya pada Bu Dhe Mimin atas tingkah Pak Dhe Aji.

"Nggak sayang rokoknya Kang Mas?" Tanya Tijah yang masih penasaran.

"Kang Mas mu ya memang seperti itu, Jah. Jangan ditanya dia kalau urusan tentang Menik." Sahut Bude Mimin.

Pak Dhe Aji kemudian jongkok beberapa meter dari Gunawan.

"Menik jadi peluk sama Bapak?"

Menik menoleh ke arah Aji. Ia perlahan turun dari pelukan Gunawan dan berjalan inal-inul mendatangi Pak Dhe Aji.

"Menik denok denok deblong, adang jemek ngeliwet gosong. Menik anaknya Bapak kan, nanti kalau sudah besar memasak buat Bapak, kalau Bapak tua Menik merawat Bapak. Iya, kan Nak? Hem!" Aji mengucapkan harapan-harapan besar pada Menik.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!