Bab 4.

"Menik denok denok deblong, adang jemek ngeliwet gosong. Menik anaknya Bapak kan, nanti kalau sudah besar memasak buat Bapak, kalau Bapak tua Menik merawat Bapak. Iya, kan Nak? Hem!" Aji mendendangkan kudangan yang berisi harapan-harapan besar pada Menik.

"Lah, sekarang Menik masih kecil saja  sudah ngasih ikan asin tiap hari sama Bapak. Apalagi nanti kalau sudah besar, iya to, Nduk," Bu Dhe Mimin yang duduk di kursi teras menimpali.

Dengan hadirnya Menik di antara mereka, seolah membawa berkah bagi keluarga Mimin. Karena Tijah tidak tanggung-tanggung untuk berbagi dengan keluarga kakaknya itu, karena sudah banyak membantu dan menjaga Menik di kala Tijah sedang sibuk.

"Uluh uluh, anaknya Bapak, sini cubit dulu pipinya!" Ucap Wanti yang sangat gemes mendekat pada Menik dan mencium pipi Menik dengan gemes.

"Ayo to masuk dulu ke dalam! Jah, ajak anakmu ke dalam, ayo! Ini lho Mimin baru saja selesai masak," ajak Aji pada Tijah.

"Iya Kang Mas, terima kasih. Eh! Aku tadi juga ninggal kukusan di atas kompor, lho. Kang Mas, Mbak Yu, aku sama anakku pulang dulu kalau gitu." 

Tijah teringat kalau tadi sebelum datang ke rumah Aji ia sedang menanak nasi diatas kompor. 

Ia menambah memasak nasi untuk anaknya yang datang bersama teman-temannya, jelas nasi yang dia punya sekarang tidak cukup untuk mereka makan.

"Ayo, Wanti, Kang Mas, Mbak Yu, ikut sekalian ke rumah. Kita makan bareng di sana!" Ajak Tijah pada keluarga sang kakak.

"Ya sudah, ayo Ji, kita ke rumah Tijah!" Bude Mimin langsung mengiyakan saja ajakan adiknya.

"Pintu-pintu ditutup kalau gitu! Wanti, tutup pintu depan!" Perintah Aji. 

Mimin berjalan ke belakang untuk menutup pintu belakang bagian dapur. Takutnya ayam peliharaannya pada masuk ke dalam rumah dan membuang kotoran sembarangan! Kan jijik! Hiiii! 

Wanti masuk ke dalam ruang tamu dan menutup dan mengunci pintu dari dalam, kemudian ia keluar lewat pintu dapur bagian depan yang ada di samping ruang tamu.

Mereka berjalan beriringan menuju rumah Tijah yang hanya berjarak tiga rumah saja.

Dari jalan tampak Miftah bersama teman sebayanya, dan teman-teman Gunawan masih asyik bermain kelereng di halaman rumah yang luas itu.

Tijah membuka pintu rumahnya. Ia langsung masuk dan menyiapkan makan siang dibantu oleh kakak perempuan dan keponakannya yaitu Mimin dan Wanti.

Beberapa menit kemudian Aji masuk dengan menggendong Menik.

"Sudah apa belum ini?" Tanya Aji yang saat masuk ia melihat nasi beserta sayur dan lauknya sudah siap di atas meja makan.

"Sudah Kang Mas. Ini tinggal menunggu minumnya saja. Itu Wanti dengan Mbak Yu Mimin sedang membuat sirup rasa jeruk.

Wanti dan Mimin kentara masih sibuk di belakang. 

"Kusiapkan tikar dulu!" Tijah pergi meninggalkan dapur. Ia menuju ke kamar yang dipakai gudang untuk menaruh barang-barang.

"Jah, satu di gelar di luar ya!" Pinta Aji.

"Iya."

Aji yang menggendong Menik berjalan keluar. 

"Le! (Panggilan untuk anak lelaki). Semua, Ayo stop dulu mainnya! Makan dulu, Ayo! Gun, Miftah, ayo ajak teman-temannya makan!" Tijah teriak dari teras memanggil anak-anaknya.

"Iya Buk!" Jawab Gunawan dan Miftah hampir bersamaan.

Gunawan dengan tiga temannya, Miftah dengan dua temannya pergi ke kran air yang ada di depan rumah, mereka bergantian mencuci tangan dan kaki sebelum masuk ke rumah.

Setelahnya mereka masuk ke rumah.

"Kang Mas, Mbak Yu, monggo! (Silahkan)!" Wanti, kamu juga Nduk!" Tijah mempersilah Aji, Mimin dan Wanti untuk makan.

Tijah meminta Menik dari gendongan Aji.

Kemudian Gunawan dan Miftah masuk beserta teman-temannya. 

"Ayo! Ayo! Ambil nasi sendiri ya! Makan yang lahap!" Tijah mempersilahkan anak-anaknya serta teman-teman anaknya untuk makan.

Mereka mengambil menu makan siang yang tersedia di atas meja. Tijah menyajikan nasi, sayur bayam dengan jagung manis yang dimasak bening, lalu ada tahu, tempe dan ikan asin, sebagai pelengkap ditambah sambal tomat ada terasinya.

"Hem nyam nyam!" Ucap author. 

Sungguh menu makan siang yang menggugah selera makan, ditambah cuaca siang itu yang cukup cerah dan panas sangat mendukung banget dengan menu makan siang yang sederhana itu.

"Nyi, Ayo makan dulu," Tijah mengantarkan nasi lengkap dengan sayur dan lauknya ke hadapan Ibunya.

"Iya Nduk." 

Sementara Menik yang mengantuk tapi tidak bisa tidur, membuatnya menjadi rewel.

Kemudian Tijah mengambil kain untuk menggendong Menik, dan mengipasinya menggunakan ujung kain, sambil mendendangkan kudangan (nyanyian untuk menidurkan yang mengandung doa-doa dan harapan-harapan yang luhur untuk anaknya).

"Tak lelo…lelo…lelo ledung…

Cep menenga, aja pijer nangis

Anakku sing ayu rupane

Yen nangis ndak ilang ayune

Tak gadhang bisa urip mulya

Dadiyo wanita utama

Ngluhurke asmane wong tuwo

Dadiyo pendekaring bangsa…."

(Mari kutimang-timang engkau anakku

Cup cup, jangan menangis terus

Anakku yang cantik

Kalau menangis nanti hilang cantiknya.

Ku Doakan supaya engkau bisa hidup mulia

Jadilah wanita yang utama (mulia)

Meninggikan derajat orang tua

Jadilah orang yang berguna untuk bangsa ….).

***

Beberapa tahun yang lalu.

Walaupun mereka tidak tinggal serumah karena sama-sama merawat orang tua yang sama-sama sudah sepuh, sudah renta dan ada yang lumpuh, tapi mereka masih bisa bertemu dan saling mengisi kekosongan jiwa masing-masing.

Budiono dalam seminggu setidaknya dua kali ia pergi mendatangi Tijah di waktu malam hari, dimana masing-masing memiliki waktu yang memang diprioritaskan oleh keduanya.

Selesai waktu isya' Budiono menaiki sepeda roda duanya menuju ke rumah Tijah.

Sementara Tijah di rumahnya ia masih duduk bersama Miftah anaknya di toko depan rumahnya. Tijah akan menutup tokonya sekitar pukul sembilan malam. Karena banyak tetangga sekitar rumahnya berbelanja ke tempatnya pada malam hari.

"Assalamualaikum," ucap Budiono yang sudah berada di depan pintu toko Tijah.

"Wa alaikum salam, Mas Budi." Sahut Tijah. Kemudian berjalan menyongsong suaminya dan menyalami suaminya.

"Masuk, Mas." Tijah dengan sumringah mempersilahkan suaminya masuk dan duduk di kursi di dalam toko yang sudah disiapkannya. Sementara Miftah kecil sudah tidur di kamar Nyai.

"Jam berapa ini kok belum tutup?" Tanya Budiono dengan wajah dan nada suara dingin dan menakutkan  yang seolah tidak suka melihat Tijah masih membuka tokonya di malam hari.

Di waktu lalu saat Budiono datang, Tijah juga belum menutup tokonya. Padahal Budiono sebelumnya sudah mengingatkan jangan membuka toko sampai malam.

Karena untuk menjaga pandangan dari sebagian orang yang berpikiran tidak bagus. Apa lagi Tijah perempuan yang tinggal seorang diri, alias tidak tinggal seatap bersama suaminya.

"Iya Mas, ini sudah mau tutup." Sahut Tijah dengan suara lembut sambil menyodorkan secangkir kopi pada Budiono.

Tijah mulai menarik pintu depan toko.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!