"Aku pergi dulu!" Ucapnya pelan pada Tijah yang tidur. Kemudian Budiono beranjak meninggalkan Tijah dan keluar dari rumah itu.
Ia menuju sepedanya dan menaikinya.
Sepeninggal Budiono, Tijah keluar kamar dan berdiri di jendela samping pintu utama. Disibaknya sedikit kain gorden, untuk mengintip Budiono yang sudah menaiki sepedanya dan keluar dari halaman rumah.
Tijah menuju dapur, duduk di meja makan dan di hadapannya segelas air minum.
Tegukan air telah mengalir dan membasahi tenggorokannya.
Ia memejamkan kedua mata kemudian menghirup napas dari hidung dengan pelan, meresapi aliran napas pada setiap sel di tubuhnya. Kemudian ia hembuskan napas itu secara perlahan.
Tijah mengulanginya beberapa kali.
Ia mensugesti dirinya untuk tidak sedih dengan ucapan Budi tadi.
"Aku harus bahagia! Aku harus bahagia! Aku harus kuat! Iya! Aku kuat!" Ucap Tijah di dalam hati.
"Sayang, bantu ibu ya nak. Kita bersama-sama berjuang, ya! Jangan rewel! Jangan nakal, ya! Dengan hadirmu, ibu memiliki semangat hidup ganda!" Tijah bicara dengan tangan sambil terus mengelus perutnya yang masih rata itu.
"Gluduk gluduk gluduk! Duaaarrr! Duaaarttt!" Tiba-tiba suara guntur dan petir bersahutan.
"Astaga! Budiono!" Ucap Tijah spontan. Rasa sakit hatinya dikalahkan oleh kekhawatiran.
Dilihatnya jam dinding, menunjukkan pukul setengah dua malam.
Kemudian ia berjalan ke depan. Menyingkapkan lagi kain gorden jendela di ruang depan. Ia memandang keluar yang tampak gelap tapi tidak ada hujan.
"Semoga tidak hujan! Silahkan hujan saja jika dia sudah sampai rumah!" Doa Tijah untuk suaminya, yang Tijah yakin suaminya sedang dalam perjalanan pulang ke rumah.
Rumah di mana ada ketiga anak-anaknya yang sudah mulai besar bersama dengan ibu mertuanya yang sudah tua dan lumpuh kedua kakinya.
Malam itu Tijah tidak bisa tidur. Ia terus memohon untuk keselamatan suami dan anak-anaknya semua.
***
Di tempat Tijah tidak hujan. Tapi Budiono yang sedang perjalanan pulang, kehujanan di tengah jalan. Sepertinya awan tebal tidak rata. Dan hujan pun hanya di sebagian tempat, dan juga tidak merata.
Karena hujan tiba-tiba tujun lebat, Budiono berhenti di bawah pohon beringin yang daunnya bisa menghalangi air hujan untuk tidak membasahi dirinya.
Padahal lima belas menit lagi ia sudah sampai di rumah jika tidak turun hujan.
Budiono menengadahkan wajahnya ke langit. Tidak ada satupun bintang atau bulan yang bersinar di atas sana. Gelap dan hitamnya langit seolah menggambarkan keadaan jiwanya yang sama-sama gelap dan hitam.
Ia duduk di lincak (tempat duduk dari bambu yang dibelah-belah) yang tersedia di bawah pohon beringin itu. Ia duduk seorang diri. Jalan dan sekelilingnya sepi. Hanya ada mobil yang sesekali saja lewat
Suasana sunyi membuat pikirannya jadi teringat pada kejadian beberapa tahun yang lalu.
***
Beberapa tahun yang lalu.
"Jah, aku mau pergi ke Gunung Kawi." Ucap Budiono.
"Ngapain?" Tanya Tijah yang tidak mengerti dengan maksud ucapan Budiono.
Saat itu Budiono merasa keadaan ekonominya sangat sulit. Anak-anaknya banyak dan semua butuh sekolah. Belum lagi kebutuhan setiap harinya. Sebenarnya, ia memiliki sawah yang lumayan luas, dan juga tanah pekarangan di belakang rumahnya yang hanya ada tanaman pohon kelapa dan pohon melinjo.
Semua itu akan menghasilkan jika pada musimnya saja.
Ia membandingkan kehidupan keluarganya dengan keluarga kakaknya yang seorang tentara yang menurutnya memiliki penghasilan yang bisa mencukupi kebutuhan keluarganya.
Ia juga melihat tetangganya yang katanya mempunyai pesugihan, sawahnya luas dimana-mana, dan memiliki kekayaan yang katanya tidak akan habis sampai tujuh turunan.
Budiono pun menyampaikan tujuannya kepada Tijah akan pergi ke Gunung Kawi mencari pesugihan dan akan menumbalkan anaknya yang masih bayi merah yang berumur belum satu tahun. Yaitu bayi Miftah.
Tijah tidak bisa berkata "Jangan!" Juga tidak bisa berkata "Iya!"
Kemudian. Benar. Budiono pergi ke Gunung Kawi dengan beberapa orang yang memang sudah membuat janji akan sama-sama ke sana.
Ditengah perjalanan, mereka mampir sambil beristirahat di sebuah warung kopi yang ada di lereng gunung.
"Kalian mau ke mana?" Tanya Bapak pemilik warung.
Kemudian salah satu teman Budiono menyampaikan maksud mereka akan mencari pesugihan di gunung Kawi.
"Jadi itu tujuan kalian? Apa kalian sudah mantap dan yakin dengan tujuan kalian itu?"
"Sudah, Mbah!" Jawab mereka semua dengan mantap. Kecuali Budiono.
Setelah mendengar cerita dan wejangan-wejangan dari Mbah pemilik warung kopi itu tadi, dan juga baik buruknya resiko yang akan ditanggung oleh pelaku pencari pesugihan, yang katanya harus memberi tumbal untuk tebusannya.
Dan tumbalnya tidak main-main. Harus nyawa salah satu dari anggota keluarganya.
Kalau tidak, bisa jadi nyawanya sendiri yang akan melayang.
Budiono mulai ragu dengan tujuannya itu.
"Ya sudah, yang mau melanjutkan perjalanan silahkan berangkat!" Ucap Mbah itu.
"Dan kamu, le." Mbah itu menepuk punggung Budiono.
"Kamu nggak usah ikut!" Mbak itu justru melarang Budiono berangkat bersama teman-teman rombongannya.
"Lho! Kenapa Mbah?" Tanya Budiono bingung.
Dan Mbah itu hanya menanggapinya dengan tersenyum.
"Jangan, Le! Jangan! Sayangi anak-anakmu! Apa kamu tega menjerumuskan keluargamu, anak-anakmu, keturunanmu, darah dagingmu, hem? Otot, tulang, otak, sumsummu ada pada anak dan keturunanmu, lho! Apa kamu tega anakmu kamu korbankan demi hidupmu? Kamu hidup enak terus keturunanmu yang sengsara. Coba kamu bayangkan! Seperti itu apa tega kamu kira-kira, le?
Semua perbuatan manusia ada imbal baliknya, le!
Jika seseorang menyakiti seorang yang lain, suatu waktu pasti akan ganti disakiti.
Anak yang kamu korbankan juga begitu. Dia akan meminta balas atas perbuatanmu itu!
Kamu tahu, apa tujuan manusia hidup?"
Budiono hanya duduk diam mendengarkan Mbah bicara. Dan ia bengong saat di tanya. Tidak tahu kudu menjawab apa.
Setelah diam sejenak karena pertanyaannya tidak dijawab Budiono, Mbah melanjutkan bicara.
"Tuhan menciptakan manusia tentu punya tujuan, le. Di alam semesta ini ciptaan Tuhan tidak ada yang sia-sia.
Istrimu melahirkan anakmu. Berarti kamu kan yang mengundang anakmu ke dunia ini? Anak hadir itu pun mempunyai tujuan. Jadi kamu jangan berkehendak sesukamu sendiri. Sesungguhnya anakmu bukanlah milikmu. Dia adalah milik Tuhannya. Jadi kamu hanya dititipi.
Sudah malam, sana kamu istirahat! Dan sambil camkan ucapanku tadi!"
Mbah mengakhiri bicaranya dengan menyuruh Budiono untuk istirahat di salah satu kamar di rumah Mbah pemilik warung kopi.
Dan esoknya, Budiono duduk sambil minum kopi bersama Mbah pemilik warung kopi.
"Bagaimana le? Sudah tenang?"
"Iya, Mbah."
"Setelah ini pulanglah! Tengok anakmu. Rawat anakmu baik-baik. Jangan ragu jangan bingung masalah rezeki. Masing-masing anak lahir sudah membawa rezekinya sendiri-sendiri! Rezeki mereka sudah ada yang menjamin!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments