"Buk, Menik mana?" Tanya Gunawan suatu hari. Karena yang dilihatnya hanya ada Miftah adiknya yang sedang bermain bersama teman sebayanya di halaman rumah yang luas itu.
Gunawan berusia dua tahun lebih tua dari Miftah. Sekarang Gunawan kelas tiga Sekolah Dasar. Pulang sekolah, ia datang dengan tiga temannya. Mereka berboncengan naik sepeda.
Padahal Gunawan sudah mencari keberadaan Menik di dalam rumah dan membuka setiap kamar tapi tidak ada Menik.
Tijah yang sedang sibuk di dapur memasak untuk anak-anaknya itu menjawab.
"Menik dibawa Bu Dhe Mimin ke rumahnya, le. Kamu kangen sama adikmu, ya?"
Setelah menaruh panci kukusan nasi di atas kompor, Tijah membawa baki berisi teh dan disodorkan pada Gunawan dan teman-temannya.
"Ini minum dulu. Setelah itu kamu cari adikmu di rumah Bu Dhe Mimin!"
Gunawan menyeruput teh pemberian ibunya. Diikuti tiga temannya. Kemudian meletakkan gelas di meja.
"Sama ibu ya kesana?" Pinta Gunawan.
"Iya. Kalau kamu sudah hilang rasa lelahnya, kita ke sana." Ucap Tijah untuk melegakan hati putranya itu.
"Sudah buk. Sudah nggak capek aku. Ayo sekarang ke sana." Ajak Gunawan pada ibunya. Ia yang sudah sangat ingin bertemu adik perempuannya itu, sangat tidak sabaran ingin membawa Menik dalam gendongannya.
"Nyi, Nyi!" Tijah memanggil ibunya di rumah sebelah.
Tijah memanggil ibunya "Nyi" atau "Nyai" untuk membahasakan anak-anaknya ketika memanggil neneknya, yaitu ibunya Tijah.
"Ada apa Nduk?" Jawab Nyai sambil berjalan pelan ke arah pintu dengan menggunakan tongkat untuk menegakkan jalannya.
Gunawan berjalan mengekor di belakang Tijah. Ia juga ingin bertemu neneknya.
Melihat neneknya, Gunawan langsung salim dan mencium tangan wanita renta itu.
"Ini Gunawan to, Nduk? Gunawan anakmu? Kapan kamu datang le, cah bagus?" Sambut Nyai sambil menatap anak lelaki remaja di hadapannya.
"Iya, Nyi. Ini anakku Gunawan," sahut Tijah.
"Iya Nyi, aku Gunawan anaknya ibuk. Baru datang, Nyi." Jawab Gunawan sambil menuntun neneknya berjalan keluar rumah.
"Nyi, ini Gun ngajak jemput adiknya di rumah Mbak Yu Mimin. Aku titip warung ya Nyi?" Pamit Tijah yang tidak ingin berlama-lama anaknya memendam rasa ingin bertemu adik perempuannya.
"Oalah. Iya sana. Cepet pulang lho Nduk! Nanti kalau ada orang beli, simbok nggak bisa melayani,"
"Iya, Nyi."
"Ayo, le!" Tijah mengajak Gunawan lekas pergi ke rumah budhe Mimin, yaitu kakak perempuan Tijah yang rumahnya hanya selisih tiga rumah saja.
Mereka berjalan kaki menuju rumah Mimin.
***
Di rumah Mimin.
Menik puas bermain dengan ketiga anak Mimin yang usianya seumuran dengan Gunawan, ya beda bulannya, tapi nggak jauh-jauh amat.
Menik yang sangat menggemaskan, ia tidak akan pernah lepas dari pelukan satu orang ke orang lainnya.
"Menik!" Panggil Gunawan yang melihat Menik dipeluk oleh salah satu anak perempuan Bude Mimin.
Wanti, anak perempuan Mimin yang menggendong Menik, menoleh ke asal suara.
"Hei, Gunawan!" Teriak Wanti menyambut Gunawan datang. Gunawan masih berjalan memasuki gerbang pagar bambu depan rumah itu.
Gunawan tersenyum pada kakak sepupunya itu.
"Itu Mas mu datang, Nik!" Wanti menurunkan Menik dari gendongannya.
"Te. Te." Teriak Monik memanggil mase pada Gunawan tapi yang terucap oleh Menik justru Te, sambil berlari yang justru tampak lucu dan sangat menggemaskan ke arah Gunawan yang sudah jongkok mensejajarkan tingginya dengan Menik.
"Hem, adik Mas Gun tambah cantik dan imut saja," Gunawan menciumi pipi kanan pipi kiri Menik dengan gemes. Sampai Menik tertawa terpingkal-pingkal karena geli dalam pelukan Gunawan ketika Gunawan menciumi leher Menik.
"Baru datang kamu, Gun?" Tanya Wanti.
"Iya Mbak." Jawab Gunawan singkat sambil Menik terus bertengger dalam pelukannya.
"Ya udah masuk dulu, Yuk! Bik, ayo masuk sini! Aku buatkan minum dulu!" Wanti mengajak Gunawan dan Tijah untuk masuk ke dalam rumah.
"Nggak usah, Mbak. Aku tadi sudah dibuatkan teh sama ibu, belum kuhabiskan," sahut Gunawan.
"Beneran? Jadi serius nih nggak mau aku bikinin minum? Bik?" Tanya Wanti pada Tijah bibinya.
"Iya Nduk Wanti, Bibik tadi sudah buat teh di rumah soalnya. Ibumu mana?" Tijah bertanya keberadaan Mimin pada Wanti.
"Itu di dapur lagi masak, Bik. Sama menggoreng ikan asin yang dikasih Bibik kemarin," ucap Wanti.
Tidak lama Mimin dan Aji suaminya Mimin keluar dari dapur.
"Jah, kamu di sini?" Tanya Aji yang melihat Tijah berdiri di halaman rumahnya bersama dengan Gunawan yang jongkok sambil memangku Menik.
"Ini kan Gun to? Gunawan?" Tanya Aji pada Tijah.
"Iya Kang Mas, ini Gunawan anakku," jawab Tijah.
"Lha, masih berapa hari tole, aku nggak lihat kamu, kok ya sudah pangling," ucap Pak Dhe Aji.
"Hehee," Gunawan hanya menanggapi dengan tertawa tipis.
"Kapan kamu datang, le?" Tanya Pak Dhe Aji.
"Barusan Pak Dhe."
"Lha cepat banget besar lho kamu, Gun. Aku jadi pangling," ucap Aji.
"Hehee… iya," jawab Gunawan dengan prengesan dan segan.
"Menik! Kamu ikut siapa Nduk? Kok anteng dipeluk sama Mas Gun. Apa juga kangen kamu sama Mas Gun, hem?" Aji mendekati dan menggoda Menik.
"Ikut Bapak!" Menik langsung mengulurkan kedua tangannya pada Aji, minta digendong.
"Mana Bapakmu, Menik? Hei ini Bapakku, Menik, bukan Bapakmu!" Wanti ikut datang mendekati Menik dan terus menggodanya.
Menik kecil memanggil Pak Dhe Aji dengan sebutan Bapak. Karena sejak kecil, eh bahkan sejak lahir ceprot Pakde Aji yang ikut merawat Menik, Aji menyayangi Menik melebihi sayangnya pada anak-anaknya. Itu yang menjadikan Menik juga dekat dengan Aji seperti Bapak sendiri. Juga, orang-orang terdekatnya membahasakan Menik memanggil Aji dengan sebutan Bapak yang seharusnya Pak Dhe.
Menik kecil yang belum paham apa-apa, hanya tertawa terkekeh ala balita sambil menjulurkan kedua tangan minta dipeluk.
"Jangan begitu to Wanti, Menik juga anak Bapak!" Ucap Aji.
"Aji, kalau mau menggendong bayi jangan sambil merokok. Asapmu itu lho nggak bagus untuk bayi!" Bu Dhe Mimin mengingatkan suaminya.
Tanpa membantah, Aji langsung membuang rokoknya yang masih panjang lebih dari setengah.
Semua melongo melihat itu. Wanti dan Gunawan saling pandang.
"Mbak Yu?" Tijah seolah bertanya pada Bu Dhe Mimin atas tingkah Pak Dhe Aji.
"Nggak sayang rokoknya Kang Mas?" Tanya Tijah yang masih penasaran.
"Kang Mas mu ya memang seperti itu, Jah. Jangan ditanya dia kalau urusan tentang Menik." Sahut Bude Mimin.
Pak Dhe Aji kemudian jongkok beberapa meter dari Gunawan.
"Menik jadi peluk sama Bapak?"
Menik menoleh ke arah Aji. Ia perlahan turun dari pelukan Gunawan dan berjalan inal-inul mendatangi Pak Dhe Aji.
"Menik denok denok deblong, adang jemek ngeliwet gosong. Menik anaknya Bapak kan, nanti kalau sudah besar memasak buat Bapak, kalau Bapak tua Menik merawat Bapak. Iya, kan Nak? Hem!" Aji mengucapkan harapan-harapan besar pada Menik.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments