"Jangan pernah lagi ikut campur urusanku!"
Kemarahan yang Ainsley dapatkan membuatnya melangkah mundur. Pertolongannya tidak dihargai seperti yang diharapkan. Permintaan maaf yang seharusnya keluar hari ini berubah menjadi air mata. Ainsley berlari ke kamar dan menangis di sana.
Kenapa dia memarahinya sampai seperti itu? Padahal dia hanya berniat membantu.
Keesokan harinya ketika Ainsley berada di kampus, pelajaran yang diterangkan tidak diperhatikan. Hanya mata yang melihat, tetapi pikiran melayang pada kejadian kemarin. Ainsley berpikir keras akan hal apa yang sebenarnya membuat Zack marah.
Apa dia marah karena panggilan sayang?
Ainsley mencoret buku catatannya sembarangan, memutar-mutar pulpennya, sehingga tergambarlah benang kusut di sana. Dengan kasar Ainsley menulis nama Zack di samping benang kusut tersebut.
"Ley, apa kau punya waktu setelah ini? Hari ini aku akan sedikit berbelanja." berbisik.
Setelah kuliah usai, mereka pergi ke sebuah pusat perbelanjaan. Penuh semangat mereka mengayunkan kaki mengunjungi toko-toko. Hingga tanpa sadar saat mereka keluar dari sana, langit yang tadinya terang sudah berubah gelap. Sudah hampir terlambat bagi Ainsley untuk pulang. Mereka sangat panik memikirkan bagaimana cara tercepat agar Ainsley bisa segera sampai sebelum jam 8 malam.
Selagi menunggu ada taksi yang kosong, mereka berjalan untuk berjaga-jaga jikalau memang tidak ada taksi yang bisa mengangkut mereka. Kegelisahan mewarnai jejak kaki. Tidak ada tawa atau ucapan yang keluar semenjak kepanikan muncul.
Ainsley membalikkan badan menghadap Juni. Situasi yang lucu itu membuat Ainsley tertawa terbahak-bahak. Apalagi ketika melihat ekspresi Juni yang masih gelisah. Ditambah dengan sepasang sepatu yang kini berada di tangan Ainsley.
"Kau masih bisa tertawa? Kau tidak takut terlambat pulang?"
"Tentu saja aku takut, tetapi aku tidak bisa menahan kelucuan ini. Kau tidak lihat bagaimana ekspresi panik di wajahmu? Bahkan kita tidak berbicara sejak menyadari hari sudah malam." masih tertawa.
"Pakai sepatumu! Tidakkah kakimu merasa kedinginan?"
"Juni, sekarang aku hanya ingin merasa bebas sebelum kembali ke penjara itu. Mari kita bergembira hari ini!!" mengangkat sepatunya ke atas.
Juni tersenyum sambil menggelengkan kepala melihat tingkah Ainsley. Sudah hitungan tahun Ainsley bertahan dalam rasa sepi itu. Hidup Ainsley terlalu miris untuk dikatakan bahagia. Hidup di panti asuhan, kehilangan keluarga, dan pernikahan. Semua itu tidak luput dari rasa kesepian. Meskipun Juni mendukung pernikahan Zack dan Ainsley, karena berharap ada celah untuk Ainsley bahagia di sana.
Juni menanggalkan sepatunya dan mengangkatnya ke atas pula, lalu berteriak lebih keras dibandingkan teriakan Ainsley, "Mari kita bergembira hari ini!!"
"Mari kita bergembira hari ini!!" serempak berteriak dan diakhiri oleh suara tawa.
Mereka bernyanyi seperti orang gila di atas markah jalan. Ketika ada kendaraan yang lewat mereka pontang-panting menghindar, lalu bernyanyi lagi. Seperti itu seterusnya hingga mereka sampai di sebuah pasar. Tempat itu adalah surga bagi mereka. Di sana mereka bisa menikmati banyak sekali jajanan kaki lima.
Malam semakin larut. Sudah saatnya mereka pulang. Terutama Ainsley harus bersiap menghadapi kemarahan Zack. Malam ini Ainsley harus pulang mengendap-endap agar tidak ketahuan oleh pemilik apartemen.
Di apartemen Zack masih membuka lebar kedua mata. Ainsley yang belum pulang membuat dirinya didera oleh perasaan gelisah. Berulang kali Zack memeriksa kamar lantai bawah, namun tetap saja kamar tersebut masih kosong.
Apa yang wanita itu lakukan sampai belum pulang selarut ini? Tidakkah dia tau aturan yang sudah dijelaskan sebelum menikah?
Kali ini Zack tidak sia-sia menuruni tangga. Dalam gelap samar terlihat seseorang tengah berjalan sambil berjinjit. Seseorang yang sudah bisa dipastikan Ainsley itu mengendap-endap seperti seorang pencuri. Zack yang melihatnya segera menyalakan lampu.
Suara sendawa memecahkan keheningan. Zack mengernyitkan dahi tampak kesal melihat Ainsley melanggar peraturan yang sudah ditetapkan sebelumnya. Bahkan Ainsley bisa-bisanya bersendawa.
"Ada hal yang harus dikerjakan. Jadi aku terlambat pulang." terbata-bata.
Menyadari alasannya tidak mempan menggoyahkan tatapan tajam itu, Ainsley kembali menambahkan alasan lain agar terlihat lebih meyakinkan, "Aku harus mengerjakan tugas kelompok."
Bukan hanya suara sendawa saja yang memecahkan keheningan. Bahkan suara getar ponsel terdengar kala Ainsley mengemukakan alasannya. Ainsley tidak bisa menghiraukan ponselnya lantaran terlalu fokus memikirkan alasan untuk meredamkan kemarahan Zack.
Zack yang tidak ingin suasana hatinya semakin terganggu, memutuskan untuk membiarkan masalah Ainsley untuk sementara waktu. Tanpa membuka suaranya sedikit pun Zack kembali ke kamarnya.
Esoknya Ainsley menceritakan kejadian semalam pada Juni. Tidak bisa dibayangkan betapa sunyi dan tegangnya malam itu. Belum lagi Zack yang hanya diam tidak memberikan respon apa-apa, semakin menjadi beban pikiran untuknya.
"Kau sudah berhasil melewati malam yang panjang! Kita harus merayakannya, Ley!" bertepuk tangan.
"Oh! Tidak lagi, Juni. Lebih baik aku menghadapi seekor harimau daripada menghadapinya. Kau tidak tau betapa menyeramkannya tadi malam."
"Tapi apa benar dia tidak mengatakan apa-apa padamu atau melakukan suatu hal mungkin? Padahal aku menantikan sesuatu yang besar terjadi di antara kalian."
"Sesuatu yang besar?" tidak mengerti arah pembicaraan Juni.
"Aku pikir akan ada harimau yang menerkam anak kelinci." tertawa lebar.
"Imajinasimu terlalu liar, Juni!"
***
Robin membaca buku catatan kecil yang selalu dibawa kemana pun pergi. Di buku itu selalu ditulis jadwal kerja Zack dan hal-hal penting lainnya yang harus dicatat.
"Respon pembeli sangat positif. Mereka sangat menyukai manfaat dari produk baru yang baru saja diluncurkan. Di media mereka juga memberikan bintang lima."
"Apa ada kendala?"
"Ada satu kendala, tuan. Nona Stella tidak hadir saat peluncuran produk. Tidak merugikan kita, namun penjualan akan meningkat jika kita mengatasi kendala itu."
"Apa mereka ingin menggunakan Stella sebagai perabotan mereka?"
Robin cekikikan, lalu melanjutkan penjelasannya, "Adanya model lebih menghidupkan produk yang kita hasilkan, karena ada aktivitas saat menampilkan produk. Sehingga produk tidak hanya dianggap sebagai benda mati dan terkesan lebih.."
"Heh, kepalamu terbentur?" malas meladeni Robin yang bertingkah formal.
Zack menghubungi Sam untuk menanyakan keberadaan Stella, karena Sam adalah orang yang sering terlihat bersama Stella jika datang ke perusahaan. Zack menganggap mereka berdua memiliki hubungan yang akrab.
Seperti informasi yang didapatkan dari Sam, Zack pergi menuju bar di mana dirinya pernah menemui Sam. Lagi-lagi Zack harus menginjakkan kaki di tempat yang tidak disukainya itu.
Sam tengah asyik menghabiskan waktu bersama para wanita. Sedangkan Stella tampak duduk seorang diri di meja bar. Zack lebih memilih untuk menuntaskan tujuannya datang ke bar dan secepatnya pergi dari tempat itu. Zack pun menghampiri Stella yang duduk di sana.
Menyadari Zack datang, Stella langsung menghamburkan diri memeluk Zack. Segera setelah itu memesan 2 gelas minuman untuk menemani mereka. Stella masih berkutat dipelukan Zack dan menyatakan kesenangannya karena Zack datang padanya.
"Tidak menjalankan pekerjaanmu, apa kau mau memutuskan kontrak dengan Hughes Property?"
"Aku kesal denganmu, Zack. Kau tidak peduli lagi denganku. Padahal aku sudah menunggumu dan yang aku dapatkan kau mencintai orang lain setelah istrimu tiada."
"Aku tidak mencintainya."
"Benarkah?" terlihat senang.
Zack terdiam tidak mampu menjawab pertanyaan Stella lebih dalam, karena dirinya sendiri tidak memikirkan bagaimana perasaannya setelah kematian Emily dan pertemuannya dengan Ainsley.
"Mari kita nikmati malam ini dengan satu gelas wine!" menepuk pundak Zack.
Sam dan Stella bersulang seperti sudah terbiasa menikmati minuman itu. Mereka meneguk satu gelas wine yang ada di tangan dan tertawa bahagia layaknya seseorang yang jauh dari kata masalah.
"Ayolah, teman! Limpahkan semua kesedihanmu khusus untuk malam ini saja. Lupakan permasalahanmu sejenak dan hirup udara bebas ini." membujuk dengan alasan kesedihan yang diderita Zack selama ini.
Tak!
Zack meraih gelas yang ada di hadapannya, lalu meneguk minuman tersebut. Bukan hanya satu gelas saja karena Sam berulang-ulang mengisi gelas kosong itu, sampai Zack kehilangan kesadaran dan menempelkan dahinya di meja.
"Sam, katakan padaku!" mencengkram kerah.
"Kau menyebut namamu sendiri? Aku Zack bukan Sam." menyingkirkan tangan Sam.
"Katakan padaku, Sam!" berteriak.
"Aku Zack! Bukan Sam! Sam adalah namamu! Namamu Sa-mu-el Tho-mas!" balik mencengkram kerah dan balas berteriak di telinga Sam.
"Menghilanglah, Sam! Dia milikku!" Stella menyingkirkan Sam dari pandangan, lalu memeluk Zack.
Pandangan Zack mulai berkunang-kunang. Jalannya sudah sempoyongan. Kepalanya pun terasa berat dan tubuhnya seakan ingin terjatuh.
Dia harus keluar dari bar kalau tidak ingin pingsan di sana.
"Kau akan kemana, Zack? Aku mencintaimu. Jangan pergi dariku." Stella mempertahankan pelukannya.
"Sam!"
"Aku Zack!" memaksa pergi dari pelukan Stella dan berusaha keluar dari bar.
Robin yang dari jauh sudah melihat Zack berjalan tertatih-tatih segera menghampiri. Robin memapah Zack masuk ke dalam mobil, lalu bergegas duduk di bangku kemudi. Robin menghidupkan mesin mobil dan melajukannya ke Casa Felise.
Setibanya di Casa Felise, Robin memapah Zack menuju apartemen. Belum sampai di depan pintu apatemen, Zack menyuruh Robin untuk pergi dan membiarkan dirinya sendiri.
"Tuan, apa saya perlu memanggil nyonya?"
Zack mengangkat telapak tangannya sebagai isyarat agar Robin tidak ikut campur lagi. Lalu seorang diri Zack berjalan sambil menyentuh dinding sebagai pegangan.
***
Sibuk membersihkan apartemen, Ainsley bertemu surat yang Emily tulis untuknya. Ainsley memandangi setiap kata yang ada di dalamnya. Tulisan itu sangat rapi dan indah seperti orang yang menulisnya. Emily tidak berhenti membuat Ainsley terkagum-kagum.
Ada satu kalimat aneh yang membuat matanya lama menatap. Kalimat itu mengatakan bahwa suatu hari Ainsley akan mengerti alasan dibalik kematian Emily. Ainsley bertanya-tanya apa maksud dari kalimat tersebut.
Jika dipikirkan kembali, Ainsley hanya tau bahwa Emily telah tiada. Ainsley tidak pernah memikirkan bagaimana Emily bisa pergi dan apa yang Emily lakukan saat itu. Ainsley baru menyadari bahwa sebenarnya ada alasan dibalik kepergian Emily.
Selama ini Ainsley terlalu fokus pada kesedihannya dan hanya menerima apa pun yang ada di surat itu tanpa menelaahnya terlebih dahulu. Berbagai pertanyaan muncul menginginkan jawaban yang harus segera ditemukan.
"Aku harus membicarakan ini pada Robin. Tidak. Aku harus membicarakan hal ini secara langsung padanya." membulatkan tekad.
Klek..
Pria yang ditunggu datang pada saat yang tepat. Detik itu juga Ainsley berniat membicarakan keresahannya mengenai surat Emily pada Zack. Ainsley tidak sabar untuk mengetahui kebenarannya. Dengan gegas Ainsley pun keluar dari kamar.
Bruuk..
Suara lainnya muncul ketika Ainsley hendak keluar kamar. Ainsley menghampiri sumber suara tersebut dan alangkah terkejutnya Ainsley ketika melihat Zack tergeletak di lantai.
Ainsley mengguncang-guncang tubuh Zack berharap agar Zack segera tersadar, namun usahanya sia-sia. Zack masih memejamkan mata tidak menghiraukan suaranya. Bau alkohol juga tercium pekat dari tubuh yang tidak sadarkan diri itu.
Butuh usaha yang keras untuk membawa Zack ke kamar lantai atas. Ainsley harus melewati tangga dan menahan berat tubuh Zack yang sudah pasti tidak sebanding dengannya.
Ainsley membaringkan Zack di ranjang. Membuka sepatu yang masih terpasang beserta kaus kaki. Selain itu Ainsley membuka jas yang terlihat menyesakkan itu dan melepaskan dasi yang masih melingkar di leher Zack.
"Jangan tinggalkan aku, Emily."
Sudah 3 tahun lebih sejak kepergian Emily, namun Zack masih hidup dalam bayang-bayang Emily. Ainsley tidak tega melihat Zack meringis seperti sekarang. Ainsley tau betul bagaimana rasanya ditinggal oleh orang yang sangat dicintai. Apalagi pernikahan Zack dan Emily belum genap 2 bulan.
"Apa kau akan terus seperti ini?! Berhentilah menangisi masa lalumu! Jangan sampai kau kehilangan masa depanmu!"
"Emily.."
"Lihat baik-baik! Aku Ainsley!"
Zack membuka sedikit matanya dan menatap wanita yang kini berdiri di hadapannya. Menolak kenyataan, Zack tetap memanggil nama Emily. Akan tetapi Ainsley menyuarakan namanya kembali.
"Ainsmily?" menyeringai.
Merasa kesal Ainsley pun mendekatkan mulutnya ke telinga Zack agar namanya bisa terdengar jelas oleh pria tersebut. Ainsley menyuarakan namanya sebanyak 3 kali.
Zack memegang pergelangan tangan Ainsley. Mereka saling menatap dengan jarak yang sangat dekat untuk pertama kalinya. Zack tertawa dalam rasa mabuknya. Sebelum melepaskan tangan itu, Zack menyarankan Ainsley tidak marah sebagai seorang anak kecil, karena seperti yang dilihatnya dalam keadaan setengah sadar, Ainsley tidak berbeda dari yang dulu.
Dikatai sebagai anak kecil, Ainsley sangat kesal. Sambil bertolak pinggang Ainsley menegaskan sesuatu dalam kalimatnya, "Hey, Tuan Zack Hughes yang terhormat. Aku sudah berumur dua puluh tiga tahun. Usiaku sudah bisa dikatakan sebagai wanita dewasa dan aku bukan anak kecil lagi."
Zack bangkit dan menarik lengan Ainsley, sehingga mereka terduduk di atas ranjang. Zack menatap seluruh wajah Ainsley, menyadarkan diri bahwa wanita yang dicarinya benar-benar berada di hadapannya.
Mengetahui kebenaran itu membuat Zack ingin melampiaskan rasa rindunya. Zack menyentuh pipi Ainsley dan mendekatkan wajahnya. Ketika bibir hampir bersentuhan, Zack tertawa lebar. Teringat kenyataan yang sebenarnya, bahwa dirinya sudah menikah dengan Emily dan wanita yang dicarinya adalah adiknya Emily.
Ainsley tidak terima perlakuan Zack yang seakan sedang mempermainkan dirinya. Untuk menutupi rasa malu, Ainsley membalas perkataan itu dengan balik mengatakan bahwa Zack adalah seorang pria tua.
Ainsley menggerutu kesal di kamarnya, tidak habis pikir jika dirinya akan dipermalukan seperti itu oleh Zack. Mengatai sebagai seorang anak kecil di umurnya yang sudah menginjak angka 23 tahun, yang mana hanya berbeda 1 tahun pada saat Emily menikah dengan Zack.
Tetapi dibandingkan itu semua, jantungnya berdegup kencang. Ainsley merasakan sebuah perasaan nyaman dalam setiap degupan yang tidak pernah dirasakan sebelumnya. Sejenak Ainsley mengingat kembali apa saja yang dilakukannya hari ini.
Apa dia salah makan?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 189 Episodes
Comments
al - one ' 17
jangan bilang visualnya kartun deh thor
2021-03-22
1
IKA 🌹SSC🌷💋plf
huft dah 3 thn looh Zack knp kau masih mngabaikan istrimu yg skrg????,
2020-11-30
1
ANI dfa W⃠🍓ˢˢᶜ🌴
mulai tumbuh sesuatu 😂😂😂
2020-11-29
1