..."Usaha tidak akan mengkhianati hasil."...
...***...
2 tahun kemudian Emily menginjak usia dua puluh tahun. Hari kebebasan mulai terlihat menyinari kehidupan mereka. Penantian panjang selama ini membuahkan hasil yang cukup memuaskan. Emily sudah menjadi wanita dewasa yang berhak memiliki kehidupan mandiri.
Tabungan yang Emily sisihkan selama bekerja sebagai pelayan restoran membuatnya bisa menyewa sebuah tempat tinggal. Memang tempat itu tidak begitu besar namun bagi mereka tempat yang sekarang lebih nyaman dibandingkan rumah paman dan bibi.
Untuk menyambung kehidupan dia berusaha keras mendapatkan pekerjaan yang terbaik. Bermodalkan pendidikan yang didapatkan dengan susah payah, dia memberanikan diri melamar pekerjaan ke perusahaan besar.
"Hari ini panggilan wawancara dari perusahaan mana?" tanya Ainsley mengunyah keripik kentang dari bungkusnya.
Emily merapikan pakaian formal yang dikenakan, lalu membalikkan tubuh membelakangi cermin. Dia tertawa renyah sebelum akhirnya berkata penuh semangat, "Hughes Property!!"
Ekspresi girang yang datang secara tiba-tiba membuat Ainsley kebingungan, "Apa yang salah denganmu?" padahal biasanya ketika dipanggil wawancara, Emily tidak girang seperti sekarang.
Emily mengenakan sepatu yang senada warnanya dengan tas yang dia sandang, "Aku akan mentraktirmu di restoran mewah kalau aku berhasil mendapatkan pekerjaan ini," selesai dengan urusan sepatunya, dia melambaikan tangan pada Ainsley sebelum akhirnya pergi.
"Jangan menjanjikan yang tidak-tidak, kakak yang pelit!" teriak Ainsley setelah itu tertawa kecil.
Dia menaikkan sebelah bibir, lalu memasukkan keripik kentang ke dalam mulut. Keripik kentang dikunyah sambil memikirkan perkataan Emily barusan. Baginya ucapan itu bagaikan penghias di hari libur. Dia berpikir tidak mungkin hal mustahil itu terjadi.
Demi menghidupi kehidupan mereka, Emily rela selama ini menunda kesenangan pribadi hanya untuk menghemat biaya. Emily tidak pernah menghambur-hamburkan uang untuk sesuatu yang tidak begitu penting. Itu merupakan cara agar mereka yang tinggal berdua saja bisa bertahan sampai sekarang.
Ainsley meletakkan camilan di tangannya, lalu merebahkan tubuh, "Nikahilah pria kaya agar kau bisa hidup bahagia, Mily."
...***...
Koridor sangat ramai dan tempat duduk dipenuhi oleh para pelamar kerja. Mereka sampai harus berdiri lama sampai nama mereka dipanggil. Di tengah kegugupan yang menghiasi wajah-wajah itu tiba-tiba dari arah yang berlawanan muncul seorang pria berpakaian formal dengan tubuh proporsional dan rupa tampan berkarisma. Pria itu terus berjalan hingga tidak lagi tampak punggungnya. Memasuki ruangan yang akan menjadi tempat wawancara dilangsungkan.
"Apa dia juga bekerja di perusahaan ini?" tanya seorang pelamar tetap mempertahankan ekspresi kekagumannya.
Pertanyaan itu juga apa yang ada di dalam pikiran para pelamar lainnya. Mereka sangat penasaran dengan pria itu atau mungkin mereka sangat tertarik untuk mengetahuinya. Sedangkan Emily yang ikut menyaksikan hanya menggelengkan kepala melihat mereka tercengang.
Di samping itu yang terjadi di dalam ruangan adalah seorang pria bernama Samuel Thomas menyambut kedatangan pria yang baru saja datang itu, "Selamat datang, temanku. Pemilik perusahaan ini, Zack Hughes!" merentangkan kedua tangan hendak memeluk namun langsung ditepis.
Zack segera duduk di tempat yang sudah disediakan khusus untuknya. Mengabaikan Samuel yang kini terlihat kesal dan berlalu duduk di sebelahnya. Tanpa mau berlama-lama dia memerintahkan semua yang ada di sana agar segera memulai wawancara kerja.
Satu persatu nama pelamar dipanggil. Pertanyaan diajukan untuk mereka yang akan menduduki jabatan sekretaris pribadi di perusahaan tersebut. Banyak jawaban yang didapatkan. Mulai dari yang penting sampai yang tidak penting sekalipun.
Tampaknya tidak semua pelamar berniat untuk bekerja di sana karena kebanyakan alasan mereka adalah ingin menghabiskan waktu dengan pemilik perusahaan itu sendiri. Entah karena pesona Zack atau karena kekayaan yang dimiliki, tidak ada yang tahu.
Yang pasti hal itu membuat Zack ingin segera menyelesaikan sesi wawancara. Baginya yang hanya ingin mendapatkan seorang sekretaris untuk meringankan pekerjaan, jadi jengkel menghadapi para pelamar. Apalagi sejak tadi para pelamar tidak berhenti memasuki ruangan. Seperti ikan di laut yang tidak ada habisnya.
"Ada berapa banyak pelamar lagi yang harus diwawancarai?"
"Sejauh ini tersisa tujuh puluh dua orang lagi," jawab Samuel mewakili orang-orang yang ada di dalam sana.
Zack meninggikan nada suaranya, "Kalian tidak memilah surat lamarannya? Tunda wawancara dan bawa semua dokumen pelamar ke hadapanku," berpikir kalau seharusnya tidak perlu membuang-buang waktu dengan pelamar yang tidak memenuhi kriteria.
Samuel segera memerintahkan pegawai yang ikut terlibat dalam wawancara itu untuk bertindak. Dalam waktu singkat seluruh dokumen pelamar diletakkan ke hadapan yang meminta. Mereka yang melihat hanya menelan ludah saat dokumen-dokumen tersebut satu persatu disingkirkan menyisakan beberapa dokumen saja.
Dokumen yang bertuliskan nama Emily Anderson berada di urutan pertama. Emily tampak tenang menghadapi mereka yang ada di dalam ruangan. Kedatangannya diawali dengan sapaan 'Selamat siang' yang ditujukan untuk semua orang di sana. Setelah itu dia duduk setelah dipersilakan.
"Perkenalkan. Saya Emily Anderson. Lulusan Sarjana Administrasi Per ...."
"Saya sudah membacanya," sela Zack tidak ingin membuang-buang waktu dengan identitas yang sudah dibacanya berulang kali. Dia meletakkan kedua siku di atas meja. Membuat tangannya mengepal menjadi satu, "Kontribusi apa yang bisa Anda berikan untuk perusahaan jika Anda diterima nanti?"
"Saya adalah orang yang jujur ...," belum sempat Emily melanjutkan ucapannya, lagi-lagi dia harus berhenti. Surat lamaran kerjanya ditutup dan disingkirkan di depan mata. Jatuh begitu saja ke lantai bersama kertas-kertas yang lain.
"Kau sudah bisa keluar," ucap Zack mengalihkan tatapan pada dokumen selanjutnya.
"Apa kau yakin menolaknya? Dia adalah salah satu lulusan terbaik," bisik Samuel.
Bisikan itu tidak digubris dan Zack kembali sibuk dengan surat lamaran kerja yang tersisa di atas meja, lalu memberikannya pada orang yang bertugas memanggil pelamar kerja. Setelah itu dia melirik lagi pada pelamar yang bergeming di posisi yang sama, "Kenapa masih belum pergi?"
Emily masih dengan tenangnya membalas pertanyaan itu dengan jawaban yang berbeda, "Saya adalah orang yang jujur dan memiliki semangat dalam bekerja. Selain itu saya adalah seorang pekerja keras," dia berdiri sambil menipiskan bibir, "Saya hanya ingin menyelesaikan kalimat yang terhenti karena ketidaksabaran seseorang," meninggalkan ruangan tanpa harus diperintah lagi.
Pintu tertutup meninggalkan bayangan kekesalan di wajah pemilik perusahaan tersebut. Hal itu membuat Samuel bangkit dan memberikan tepukan tangan dengan menuntut semua yang ada di sana bertepuk tangan pula. Alhasil suasana yang tegang menjadi sangat meriah.
"Wow! Bukankah itu sangat menakjubkan? Kau harus menerimanya! Aku bertaruh kalau dia akan mampu menundukkanmu! Dibandingkan pelamar lain, wanita yang bernama Emily ini lebih jauh kualitasnya. Cantik, jujur, dan pekerja keras sangat cocok untuk dijadikan seorang istri," sadar akan perkataan yang melenceng, dia langsung cepat-cepat mengoreksinya, "Maksudku dia adalah lulusan terbaik. Akan sangat bagus untuk memajukan perusahaan ini. Bukankah begitu?"
"Kau sudah selesai bicara?"
Samuel mengoceh kesal, "Sebenarnya apa yang sedang kau cari? Apa kau masih memikirkan wanita masa kecilmu?"
Zack tersulut kemarahan mendengar Samuel menyinggung kehidupan pribadinya. Baginya hal itu adalah sesuatu yang sangat sensitif untuk dibicarakan. Apalagi dia harus mendengarnya dari mulut pria yang masih diragukan kesetiaannya, "Apa mulutmu bisa dibungkam jika aku menerima wanita itu?"
"Ups! Tidak butuh waktu lama untuk membujukmu kali ini. Aku sudah menemukan kelemahanmu," Samuel tersenyum polos, "Wanita masa kecilmu," tertawa puas dengan hasil terakhir wawancara itu. Keberadaan Emily bukan hanya membuat pekerjaan temannya menjadi mudah namun juga berlaku untuknya.
...***...
Pada akhirnya Emily yang lolos dalam wawancara. Dia berhasil menjabat sebagai sekretaris pribadi di tempat yang diinginkan. Berita bahagia itu membawanya untuk menepati janji. Sebuah restoran di tengah kota dijadikan pilihan untuk mentraktir Ainsley.
Ainsley menerima buku menu yang diberikan pelayan, lalu membukanya perlahan. Awalnya ketika memasuki restoran, dia sudah tahu kalau tempat itu tergolong mewah dan untuk makanan pasti juga sama. Tetapi dia tidak menyangka jika akan semewah itu.
"Makanan di sini sangat mahal. Traktir jajanan kaki lima saja sudah cukup," ucapnya pelan menyembunyikan ketidakmampuan dari pelayan yang masih berdiri di dekat mereka seperti sudah siap untuk mencatat menu yang akan dipesan.
"Pesan saja sesukamu. Aku yang akan membayarnya. Hari ini aku adalah wanita karier yang kaya raya," Emily tertawa bangga tanpa menyembunyikannya dari siapa pun.
Masih ragu untuk memilih yang mana karena menurutnya semua sangat mahal, Ainsley terpaksa memilih sambil menutup mata. Dia meletakkan buku itu dan membiarkannya terbuka di atas meja, "Baiklah. Aku akan mulai memilih menunya. Apa pun yang aku dapatkan nanti, itu adalah apa yang akan dipesan," ucapnya penuh tekad yang bulat.
"Pasti. Aku sebagai sponsor akan membelikan apa pun yang kau inginkan," ucapnya setengah berharap agar pilihan itu tidak terlalu mahal karena berpikir mereka bisa lebih menghemat jika Ainsley memilih yang tidak mahal harganya.
Ainsley mengarahkan telunjuknya pada sudut yang dirasa tepat untuk dipilih. Saat mata dibuka, apa yang dilihat sungguh mengejutkan, "Maafkan aku, Mily," menu dengan harga yang paling mahal terpilih olehnya.
"Tidak apa-apa," Emily tersenyum kecut.
Tidak lama setelah itu makanan yang dipesan datang. Mereka menyantapnya dengan gembira karena sudah lama sekali tidak merasakan makanan mewah seperti dulu. Hal itu membuat mereka teringat kenangan yang dilalui saat kedua orangtua masih hidup.
"Ah, maafkan aku," ucap Ainsley mengambil tisu dan mengelap air matanya.
Emily tergelak dan mengambil tisu pula. Dia juga mengelap air matanya, "Ternyata makanan yang kita pesan sangat pedas," mencoba memalingkan tatapan orang-orang dari mereka.
...***...
Keesokan harinya Emily bersenandung sambil bercermin. Dia sangat senang atas pekerjaan yang dia dapatkan. Dengan jabatan itu dia bisa memberikan kehidupan yang layak untuk Ainsley. Mengingat gaji sebagai sekretaris di sana terbilang besar.
"Sudah. Kau sudah cantik. Jadi menyingkirlah dari sana karena aku juga membutuhkan cermin untuk melihat penampilanku," protes Ainsley melihat Emily menghabiskan waktu sangat lama di depan cermin.
"Bagaimana dengan sekolahmu, Ley? Semuanya berjalan lancar?" menyerahkan giliran memakai cermin pada Ainsley.
Ainsley terdiam sejenak dan menatap Emily yang sedang merapikan pakaian di belakangnya. Kakaknya itu tampak sangat gembira hari ini. Bagaimana bisa dia melunturkan kebahagiaan itu dengan mengatakan bahwa dia tidak baik-baik saja?
"Aku baik-baik saja. Sekarang gunakanlah cermin sepuasmu. Aku akan berangkat lebih awal," memosisikan Emily di tengah cermin kembali.
"Hati-hati di jalan! Jangan makan mi instan. Aku akan pulang lebih awal untuk memasakkan makanan untukmu," tidak ada sahutan membuatnya harus bersuara kembali, "Apa kau mengerti?!"
"Baiklah!" teriak Ainsley diakhiri dengan suara pintu ditutup.
"Ah, aku juga harus berangkat," kekhawatiran disingkirkan karena hari pertamanya bekerja tidak boleh terlambat.
Sesampainya di tempat kerja, Emily berdiri tegak di depan ruang pimpinan perusahaan. Hal semacam itu sering dia lihat di dalam drama. Seorang sekretaris akan menyambut pimpinan mereka dengan memberikan senyuman lebar dan perkataan yang ramah.
Tiba-tiba seorang pria asing dengan jaket kulit menghampirinya. Terlihat mencurigakan namun tidak mungkin keamanan di perusahaan tidak terjaga. Pasti pria asing itu sudah diperiksa sebelum menembus perusahaan. Apalagi bisa sampai ke tempat dia berdiri sekarang.
"Saya sudah membuat janji temu dengan tuan Zack. Di mana saya harus menunggu?"
"Oh!" mungkin pria itu adalah tamu istimewa, "Kalau begitu silakan menunggu di dalam," membukakan pintu dengan ramah, lalu mempersilahkan pria itu memasuki ruangan.
Tidak lama kemudian orang yang ditunggu muncul. Emily tersenyum menyambut kedatangan atasannya. Dia mencondongkan sedikit tubuhnya ke depan sebagai bentuk hormat, "Ada seorang tamu yang sudah menanti Anda di dalam."
Tamu? Sepengetahuannya hari ini tidak memiliki janji apa pun untuk bertemu seseorang. Untuk mencari jawaban, Zack langsung masuk ke dalam ruangan. Seorang pria yang duduk di dalam ruangan mengundangnya untuk cepat menghampiri.
"Kau sudah menemukannya?" tanyanya pada James, mata-mata yang sengaja dibayar untuk melaksanakan tugas khusus.
"Belum, tuan. Saya baru menemukan informasi keberadaan pria yang bernama Chester."
Sesaat kemudian mereka keluar dari ruangan diiringi oleh Emily yang turut melangkah bersama mereka. Akhirnya langkah ketiga orang itu terhenti dan saling berhadapan menuntut jawaban yang sama.
Sampai akhirnya Emily yang bertanya lebih dulu, "Sebentar lagi ada jadwal rapat perencanaan."
"Tunda rapat itu."
"T-tapi ...."
"Kau bisa melakukannya bukan, sekretaris baru?"
Meskipun sangat kesal dengan ucapan atasannya, akan tetapi Emily berusaha keras untuk tidak membalas. Dia tidak ingin jika hari pertamanya bekerja menjadi rusak hanya karena sikap kekanakan itu. Secara tegas dia pun menyatakan kemampuannya untuk menunda rapat seperti yang diperintahkan.
...***...
Selama perjalanan Zack tidak bisa berhenti memikirkan segala ingatan tentang masa kecilnya. Kehidupan sewaktu kecil yang mana ketika seluruh fasilitas dicabut membuatnya tidak pernah lagi bertemu dengan Chester. Bahkan saat orang yang bekerja untuknya itu mengundurkan diri.
"Kita sudah sampai, Tuan."
Mereka berhenti di depan sebuah rumah biasa yang tidak begitu besar. Zack tidak pernah menyangka jika hari ini adalah hari di mana dia akan bertemu dengan anak perempuan masa kecilnya kembali. Sedikit banyaknya ada kegugupan yang menyelimuti diri.
Di depan pintu rumah itu dia menghirup napas panjang dan mengembuskannya perlahan sebelum mengetuk pintu. Jantungnya berdetak cepat ketika membayangkan seperti apa rupa wanita yang ada di pikirannya ketika sudah dewasa. Pastinya dia sangat merindukan sosok itu. Sudah sangat lama dan akan segera terealisasi.
Saat pintu terbuka, seorang pria tidak lagi muda namun tampak masih bugar menatapnya bingung, "Chester."
Pria bernama Chester mengernyitkan dahi. Dia mengenal suara itu namun penampilan yang sangat berbeda dari pemilik suara membuatnya tidak percaya, "Tuan muda?"
Zack tersenyum lega lantaran Chester masih mengingatnya setelah bertahun-tahun. Pada akhirnya mereka beralih duduk di ruang tamu. Di sana Zack memperhatikan seluruh isi ruangan yang menjadi tempat tinggal Chester dan anak perempuan yang tidak sabar untuk ditemui.
"Ada angin apa sehingga Anda datang kemari, tuan?"
"Panggil saja aku Zack. Aku bukan lagi tuanmu." Masih sibuk memandangi sekeliling.
Chester tertawa kecil, "Saya harus terbiasa mulai sekarang."
"Kedatanganku kemari, aku ingin bertemu dengan putrimu," ucapnya dengan dada yang masih bergejolak hangat akan kerinduan.
"Putri saya?"
Chester mengingat kembali kejadian di mana dia membawa seorang anak panti asuhan ke rumahnya untuk diadopsi namun istrinya yang tidak menyukai anak kecil membuatnya harus mengembalikan anak itu.
"Dia bukan putri saya, Tuan."
...***...
...Niatnya ini visual Zack :v...
...(Versi Renko pastinya)...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 189 Episodes
Comments
Faradilla
pasti Ainsley
2021-09-09
1
al - one ' 17
ainsley y temen kecilnya se zack 🤔
2021-03-21
1
Iin Pujianingsih
gadis itu siapa yaa
2020-12-26
1