Emily yang berbaring di samping Ainsley ikut terbangun. Raut wajah khawatir terpapar dari wajah kantuknya. "Kau baik-baik saja? Aku akan mengambilkan segelas air untukmu." Bergegas mendatangi dapur, lalu mengisi ruang kosong pada gelas. Kemudian dia kembali masuk ke dalam kamar dan menyodorkan gelas tersebut pada Ainsley. "Kau masih bermimpi buruk? Ini sudah lama sekali sejak terakhir kali kau memimpikannya."
"Aku sudah baik-baik saja sekarang." Ainsley meneguk isi gelas yang kini sudah berada di dalam genggaman tangan.
Suasana menjadi hening kembali. Malam itu sudah pukul dua malam. Membiarkan kecanggungan memudar, mereka hanyut dalam segala bentuk perasaan yang hinggap di diri masing-masing. Mungkin penyesalan adalah apa yang mereka juga rasakan sekarang.
"Maaf. Tidak seharusnya aku membentakmu hari itu." Ucap Ainsley memulai percakapan.
"Aku yang seharusnya meminta maaf padamu. Sebagai seorang kakak aku tidak mengerti dirimu."
"Tidak. Cepat atau lambat kau pasti akan menikah dan aku tidak punya hak untuk melarangmu."
Hampir satu bulan Emily menanti jawaban yang ingin didengar dan sekarang dia sudah mendapatkannya. Satu-satunya keluarga yang dia miliki dan satu-satunya pula izin yang harus didapatkan. Setelah ini dia tidak perlu risau lagi akan hal itu. Penyesalan sirna seiring mereka saling memberi pelukan.
"Bagaimana jika besok kita mengunjungi ibu dan ayah?" Usul Emily melepaskan pelukan.
Ainsley mengangguk. "Sudah lama sekali kita tidak mengunjungi mereka." Ketakutan akan mimpi itu pun menghilang.
Keesokan harinya di tanah pemakaman, mereka mengirimkan do'a pada mendiang orangtua mereka. Selain itu mereka juga berbagi cerita mengenai kehidupan yang mereka jalani selama ini. Mereka bersikap seolah kedua orangtua mereka masih ada dan sedang mendengarkan ocehan itu.
"Ibu, ayah. Sebentar lagi aku akan menikah. Orang yang aku cintai adalah pria yang sangat baik. Meskipun sikapnya selalu menyebalkan, tapi dia memiliki sisi yang hangat. Kalian pasti akan sangat menyukainya."
Mendengar ucapan Emily membuat Ainsley cekikikan. Kebahagiaan Emily adalah kebahagiaannya juga. Namun, di sisi lain sedikit banyaknya dia merasa sedih karena dengan pernikahan itu, dia tidak akan bisa lagi sering-sering bertemu dengan Emily.
"Kepergian ayah dan ibu, serta perlakuan paman dan bibi." Menggenggam kedua tangan Ainsley. "Aku tidak akan sanggup menjalani semuanya jika tidak ada kau di sini, Ley. Kau adalah sebuah keberuntungan yang aku dapatkan."
Ainsley tersenyum. "Aku yang lebih beruntung telah bertemu dengan kalian. Aku mendapatkan kasih sayang yang tidak pernah aku dapatkan sebelumnya."
***
Hari pernikahan akhirnya tiba. Pesta yang dipersiapkan sangat dinantikan oleh mereka dan para tamu undangan. Bahkan berbagai media massa juga turut hadir memenuhi lokasi.
"Adikmu bagaimana?" Tanya Zack khawatir karena hanya adik Emily satu-satunya anggota keluarga yang belum datang.
"Adikku terlambat datang karena pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan."
Zack mengoceh kesal. "Tempat macam apa yang tidak memberi izin pegawainya menghadiri pernikahan? Bahkan adikmu selalu sibuk melebihi aku, sampai-sampai tidak bisa bertemu dengan calon suami kakaknya sendiri."
"Sabar, Zack. Aku yakin sebentar lagi dia akan datang."
Setelah menutup sambungan telepon, Emily memeriksa kembali pesan dan panggilan di ponsel berharap ada kabar dari Ainsley namun tidak ada sama sekali. Terakhir kabar yang didapatkan adalah saat Ainsley berkata akan terlambat hadir.
Emily duduk di depan cermin dibaluti gaun pengantin. Sentuhan pada wajah yang tidak tebal itu masih memperlihatkan kecantikan alami. Seorang penata rias menempelkan aksesori di rambut untuk mempermanis penampilannya.
Asyik memandangi penampilannya hari ini, tiba-tiba dari pantulan cermin seseorang muncul. Emily meminta penata rias untuk berhenti sejenak, lalu dia menyambut pria tersebut dengan memberi sebuah pelukan. Dia tidak mengira jika adik tiri Zack benar-benar datang ke pernikahan. Mengingat jadwal terbang yang akan segera tiba.
"Kak Emily sangat cantik."
"Oh! Kau membuatku tersipu. Jika tidak ada Zack, aku pasti akan menikahimu. Pria tampan dan perhatian sepertimu siapa yang tidak menginginkannya?" Ucapnya dengan nada bercanda.
"Kalau begitu apa kau bersedia kabur denganku?" Menawarkan tangan.
Emily tergelak. "Lalu meninggalkan pernikahan yang akan diselenggarakan sebentar lagi? Akan diletakkan di mana wajah seorang Zack Hughes nantinya."
Di tengah senda gurau yang sedang merebak di ruangan itu, seorang wanita berseragam pelayan datang. "Acara pernikahan akan segera dimulai, nyonya Emily."
Mereka pun beranjak menuju aula pernikahan. Di sana Zack dan semua para hadirin telah menunggu kedatangan Emily. Semua mata tertuju pada Emily yang hari itu terlihat sangat cantik.
"Bagaimana penampilanku?" Bisik Emily di tengah acara.
"Cantik."
Zack khawatir lantaran Emily tidak terlihat senang akan pujian barusan. "Apa pujianku tidak menyenangkanmu?"
"Bukan, Zack. Aku sangat bahagia bisa menikah denganmu."
Zack tertegun menghadapi mata binar Emily. Wajah yang selalu bahagia tidak menampakkan kesedihan itu menembus hatinya yang terdalam. Mereka akan resmi menjadi pasangan suami istri sebentar lagi. Apakah dia bisa membahagiakan Emily?
Acara pernikahan berjalan khidmat. Di hadapan semua orang sumpah pernikahan diucapkan. Sorakan suka cita menggema di aula. Pancaran kebahagiaan mengalir di wajah-wajah para tamu undangan. Tidak terkecuali Aaron dan Vivienne yang akhirnya sudah menjadi orangtua Emily. Mereka menghampiri pasangan yang sudah sah menjadi suami istri itu, lalu memberikan ucapan selamat.
"Kalian harus segera memberikan aku cucu."
"Sayang, mereka baru saja menikah." Protes Vivienne mencubit lengan Aaron.
"Ada berapa cucu yang harus kami berikan? Sepuluh? Ah! Tidak. Lima belas atau dua puluh?" Tanya Zack menyiratkan candaan.
"Kau mau membunuh menantuku?"
Gurauan ayah dan anak itu menambah kebahagiaan. Kehangatan dirasakan oleh Emily di keluarga barunya. Hanya satu yang kurang baginya saat ini yaitu Ainsley yang tidak kunjung hadir menikmati acara pernikahannya.
"Aku akan menelepon sebentar." Pamit Zack di tengah perbincangan mereka.
Zack mengambil kesempatan untuk menelepon James. Pernikahannya hari ini membuatnya sangat yakin untuk melepaskan anak perempuan yang dicari bertahun lamanya. "James, kau bisa hentikan semua pencarian mengenai anak perempuan itu."
"Tapi, tuan.."
Telepon langsung diputus oleh Zack. Baru akan menyimpannya kembali tiba-tiba ponselnya berdering kembali. Di layar tertera nama Samuel yang menelepon. Dengan enggan dia mengangkat panggilan tersebut.
"Zack, ada masalah! Stella kembali! Kantormu hancur!" Terdengar panik.
Zack mengetatkan gerahamnya. Emosi yang tersulut mengantarkannya pada Emily untuk mengabarkan bahwa dia harus segera pergi secepatnya ke kantor sehingga membuatnya tidak bisa berlama-lama tinggal di aula bersama Emily.
"Sayang sekali, aku tidak bisa menemui adikmu hari ini. Aku harus kembali ke kantor."
"Apa sesuatu terjadi? Aku akan ikut denganmu."
"Tidak. Aku akan mengurusnya. Kau temui saja adikmu. Katakan padanya kalau aku tidak bisa menemuinya." Setelah itu Zack melangkah pergi.
Di depan pintu aula ketika Zack bergegas keluar, di saat itu pula Ainsley memasuki aula. Mereka sama-sama terburu-buru untuk bisa segera mencapai tujuan yang berbeda arahnya. Raut wajah panik juga terpampang jelas di kedua wajah mereka.
Ainsley melangkahkan kaki melewati garis pintu di mana acara pernikahan berlangsung. Dia berharap kalau Emily masih berada di tempat tersebut. Matanya mulai menyisiri seluruh ruangan yang hampir sepi.
Di sudut ruangan tampak orang yang dicari sedang asyik berbincang-bincang dengan beberapa orang. Melihat Emily tertawa dengan gaun pernikahan yang sangat cantik membuatnya juga merasakan kebahagiaan. Tidak ingin kehilangan momen berharga lagi, dia segera menghampiri Emily.
"Aku turut bahagia atas pernikahanmu, Mily!!" Teriaknya mengalihkan perhatian semua orang. "Ah, sepertinya aku terlalu gembira."
Emily menolehkan kepala pada suara yang tidak asing lagi. Di belakangnya orang yang dinanti telah tiba dan masih mengenakan pakaian kerja namun rona bahagia terpancar dari wajah yang lelah itu. Peluh di wajah dan napas yang belum stabil juga ditemukan. Ternyata Ainsley bersusah payah untuk menghadiri pernikahannya.
"Aku tidak sempat mengganti pakaianku. Apa aku terlihat buruk? Maafkan aku." Merasa sungkan lantaran teman-teman Emily menatap aneh padanya, ditambah dia tidak bisa tampil baik di hari bahagia Emily. Padahal dia sudah menghias wajahnya dan mungkin saja sekarang sudah luntur.
"Kau yang terbaik!" Memeluk Ainsley tanpa peduli yang lain.
Perlakuan Emily yang seolah membela Ainsley itu membuat orang yang berbicara dengan Emily tadinya menjauh sehingga kini hanya ada mereka berdua saja di sana. Mereka duduk di kursi tamu yang telah disediakan.
"Di mana suamimu? Ada beberapa hal yang akan aku sampaikan padanya." Melipat kedua tangan di dada.
"Kau berubah menjadi adik yang protektif?" Tertawa lebar.
Ainsley ikut tertawa karena menyadari tindakannya persis seperti apa yang Emily katakan. Padahal tadinya dia hanya bermaksud untuk melihat seperti apa pria yang akan menggantikan posisinya, yang akan selalu ada di samping Emily.
"Dia harus pergi karena ada panggilan penting dari kantor, tapi dia mengizinkanku untuk menunggumu."
"Panggilan itu lebih penting darimu?"
"Ayolah, Ley! Kita bukan anak kecil lagi. Kau tau betapa sibuknya aku selama bekerja di sana dan itu adalah apa yang dia kerjakan sekarang seorang diri. Lagi pula wajar saja jika dia lebih mementingkan perusahaan. Kalau tidak, bagaimana dia akan membiayai hidupku ke depannya? Kau tidak mau hidupku sulit, bukan?"
"Oh-ho! Kau hanya menginginkan hartanya saja?"
"Maksudmu aku adalah pemeran antagonis seperti yang ada dalam sinetron?" Tertawa lebar diikuti tawa Ainsley.
Lama berbincang tiba-tiba Emily menggenggam erat kedua tangan Ainsley. Topik pembahasan yang pernah mereka bicarakan kembali dibahas. Sekali lagi dia meyakinkan Ainsley untuk tinggal bersamanya namun sampai saat ini penolakan masih diterima. Tampaknya keputusan Ainsley untuk tidak tinggal bersamanya sudah bulat.
"Kita masih bisa bertemu. Aku tidak ingin jadi obat nyamuk di antara kalian berdua."
"Aku tidak bisa membujukmu lagi kalau keputusanmu sudah bulat. Tapi kau harus ingat kalau aku akan selalu ada untukmu dan jangan sungkan menghubungiku jika kau butuh sesuatu."
"Aku mengerti." Ainsley paham betul karena bukan hanya sekali dia mendengar hal itu.
***
"Pernikahanmu membuat Stella mengamuk. Dia datang dari liburannya tadi pagi. Kita akan kehilangan model terbaik kita. Hancurlah kita!"
Zack tidak menggubris kepanikan itu dan langsung saja membuka pintu ruangannya. Siapa yang tidak marah ketika ruangan yang rapi tiba-tiba sangat berantakan? Apalagi yang membuatnya seperti itu adalah orang yang tidak disukai. Bukannya menghampiri orang yang membuat kekacauan, dia menghampiri meja yang sudah tidak lagi berada di posisi seharusnya. Laci meja dibuka dan beruntung kertas gambar masih utuh. Sekarang dia bisa bernapas lega akan hal itu. Dia pun menyimpan gambar itu ke dalam saku jasnya.
Stella yang sedaritadi berbaring di sofa segera bangkit dan menghampiri Zack. Tanpa disadari rambut Stella sudah acak-acakan dan lingkar mata menghitam akibat maskara yang luntur. Sayangnya bukan pada penampilannya, Stella memilih fokus pada penampilan Zack.
"Ternyata benar kau menikah? Kau tidak boleh menikah. Kau hanya boleh menikah denganku."
"Tata kembali tempat ini seperti semula atau aku akan membuatmu menyesalinya." Pergi begitu saja tanpa memedulikan Stella.
Di luar ketika Samuel melihat Zack baru saja keluar dari ruangan, dia menanyakan bagaimana hasilnya setelah berbicara dengan Stella. Tetapi pertanyaan itu mengundangnya pada masalah yang lebih besar. Samuel yang hanya bertugas sebagai pemberi kabar juga menerima kemarahan Zack.
"Kau harus bertanggung jawab atas kerusakan ruanganku. Kalau aku masih melihat satu saja kesalahan, aku akan mengirimmu ke Edinburgh."
"Kenapa kau selalu mengancamku dengan itu? Lagi pula apa kesalahanku? Apa kau marah karena aku tidak datang ke pernikahanmu? Aku tidak datang karena ada beberapa urusan yang harus diselesaikan." Ditinggalkan begitu saja tanpa digubris membuatnya mengoceh kesal.
Zack sampai di sebuah apartemen yang akan dijadikan rumah nantinya ketika hidup bersama Emily. Baru tiba di sana dia memindahkan kertas gambar tadi ke laci meja kerja. Setelah itu dia berlalu ke kamar dan merebahkan diri tanpa mengganti pakaian pernikahan yang masih membaluti tubuh. Dia berbaring sembari memandangi hadiah kejutan yang sudah dipersiapkan untuk Emily.
Dalam baringan dia memikirkan betapa bodohnya dia karena demi sehelai kertas, dia sampai meninggalkan Emily sendirian. Apa yang sudah dia lakukan? Bukankah dia bertekad untuk melupakan anak perempuan itu?
***
Sentuhan lembut membangunkan Zack dari tidur lelap. Saat membuka mata, orang pertama yang diihat adalah Emily. Di atas sana Emily tersenyum sambil mengusap kepalanya.
"Terima kasih sudah memberiku kejutan. Aku sangat menyukainya."
Zack duduk, lalu mengucek mata dan meregangkan tubuh. Sebuah senyuman juga tersungging di wajahnya. "Aku senang kau menyukainya." Memperhatikan penampilan Emily yang tidak lagi mengenakan pakaian pernikahan sepertinya. "Kalau begitu aku akan membersihkan diri terlebih dahulu."
"Tunggu sebentar." Cegah Emily, lalu menyodorkan sebuah dokumen.
"Kau masih bekerja di hari pernikahan kita?"
Emily mengangguk sembari tersenyum polos. Kekhawatiran mengundangnya untuk segera pergi menyusul ke kantor, tetapi tidak ada Zack di sana. Hanya ada Samuel yang mengatakan bahwa Zack sudah pulang lebih dulu. Dokumen yang dibawa sekarang pun, Samuel yang meminta untuk diberikan pada Zack.
"Kau bisa mengambil stempel di laci ruang kerja. Aku meletakkannya di sana." Setelah itu bangkit menuju kamar mandi.
Emily mendatangi tempat yang Zack katakan. Di ruang kerja itu laci yang di maksud dibuka. Baru saja membuka laci pertama dia sudah menemukan apa yang dibutuhkan. Tidak sengaja dia menemukan sesuatu yang lain di dalam sana. Sebuah kertas yang mana memperlihatkan coretan gambar seseorang.
Emily sangat terkejut menyadari siapa yang ada di dalam gambar. Sangat tidak asing baginya karena mereka sudah hidup bersama bertahun-tahun. Memang gambar itu tidak bisa dilihat jelas siapa orangnya namun ada sebuah sudut yang menjelaskan lebih. Apa hubungan mereka berdua?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 189 Episodes
Comments
al - one ' 17
ainsley
2021-03-21
2
𖣤᭄☘𝑺ᴇᴎᴤᴇᴎ͠ ⍣ᶜᶦᶠ//@sensen_se
kereenn diksinyaa... penulisan jg rapi... 😍😍
2020-12-05
1
ANI dfa W⃠🍓ˢˢᶜ🌴
akhirnya jadi gimana itu nanti? ainsley ya
2020-11-29
1