Segera kubalas chat Mas Prabu
"Maaf Mas, tunggu keputusan pengadilan atas hak asuh anak baru kita atur waktu untukmu menemui Vino."
Gawaiku langsung berdering, namun sengaja tidak ku angkat, hingga puluhan kali Mas Prabu meneleponku, tetap kuabaikan.
Seandainya dia benar-benar merindukan putranya, dia yang akan datang mencari Vino. Namun aku tahu persis sifat mantan suamiku. Dia hanya menjadikan Vino sebagai alasan untuk menemuiku.
Meskipun aku tidak khawatir sedikit pun tentang hati ini, namun yang paling aku takutkan adalah kebiasaannya memaksaku. Tidak ada yang bisa menjamin dia akan menahan dirinya dari syahwat yang selalu diumbarnya.
Aku takut dan hanya berhati-hati. Terlebih aku belum melewati masa Iddah, dia masih bisa memaksaku rujuk dengan alasan yang sudah bisa kutebak. Memikirkannya membuat diriku bergidik.
Kesibukanku sebagai penanggung jawab editor begitu menyita waktu dan pikiran, sehingga aku melupakan makan siang.
Pandu mendekatiku dengan membawa dua potong roti isi abon sapi dengan ukuran lumayan big, roti kesukaanku, dan ditangannya yang lain menjinjing Cafe Latte dan americano. Aku tersenyum menerima americano darinya.
"Selera kopimu lebih macho daripada aku. Aku ngga kuat minum americano, terlalu pahit."
Pandu menyeruput cafe lattenya.
"Belum nyoba espresso 'kan? Satu slot ukuran 30ml saja bisa bikin kamu kumur-kumur karena pahit." ucapku sembari menyesap nikmatnya americanoku.
Pandu bergidik, "aku suka mocha latte." gumamnya sembari mengunyah roti di tangannya.
Kami sama-sama tertawa, yah selera kopi kami berbeda. Dan aku cukup heran dia sangat tau kesukaanku, kopi, roti bahkan beberapa waktu lalu dia tahu warna favoritku dan bahkan sayur kesukaanku yaitu sayur lodeh. Yang bahkan Mas Prabu saja setelah menikah tiga tahun lebih tidak pernah tahu atau pura-pura tidak tahu.
Mitha tiba-tiba muncul di depan kami.
"Du, makan siang bareng ya, sekalian dengan kamu Tih."
Aku menggeleng cepat.
"Kalian saja yang pergi, aku banyak banget yang harus diselesaikan."
Randu tersenyum dan menggeleng juga ketika Mitha kembali menatapnya.
"Aku dikejar deadline Mit, makanya aku beli roti dan kopi."
Mitha mengangguk dengan ekspresi wajah kecewa. Dia berlalu dan beberapa teman yang lain mensejajari langkah Mitha, mereka pergi bersama.
Setelah Mitha menghilang, aku menanyakan perasaan Pandu.
"Mas, ah benar-benar ngga nyaman memanggilmu Mas, usiamu bahkan setahun lebih muda dariku." rajukku sembari menyesap americanoku
"Terserah mu Tih, panggil aku apa, panggil sayang juga boleh, secara aku sudah ******* bibirmu itu." celetuk Pandu acuh.
Aku menepuk bahunya keras sehingga dia tersedak.
"Gila kamu Du!" sentakku dengan wajah bersemu merah.
"Ya, apa? Kamu mau ngomong apa tadi?" Pandu berkelit.
"Oh iya, aku mau bilang kalau kamu cocok sama Mitha."
Pandu mendelik.
"Dari sudut pandang apa kamu menilai begitu."
"Kalian sama-sama ganteng dan cantik, sama-sama dari keluarga kaya dan ..."
Pandu mendengus kesal.
"Jodoh itu ngga diatur Tuhan sesuai kemauan manusia, sesuai standar manusia, tapi sudah tertulis di lauhul Mahfudz , dan aku yakin kamu yang ada di sana tertulis sebagai jodohku."
Aku tertegun. Dulu aku tidak pernah berpikir bahwa Mas Prabu bukan jodohku yang sesungguhnya.
Aku memalingkan wajahku ke arah lain. Menyuap habis sisa roti di tanganku, kemudian menuntaskan kopi dan segera beranjak meninggalkan Pandu.
Namun dia menarikku paksa hingga aku terjatuh di pelukannya
"Aku ngga bisa membiarkanmu terlarut di dalam luka pernikahanmu Tih, tutuplah luka itu, buka hatimu hanya untukku. Aku janji akan berusaha sekuatku membahagiakan kamu."
Aku melepaskan pelukannya dan berdiri tegak sembari menatap lurus pada matanya.
"Maaf Du, susah buatku melupakan rasa sakit itu, butuh waktu lama."
"Aku akan menunggu Tih, dalam diam di sisimu."
Aku kehabisan kata, aku memang seorang janda yang terlahir dari luka pernikahan yang masih menganga dan berdarah parah, oleh karena itu aku masih takut mengharapkan indahnya hidup pernikahan baru.
Waktu adalah obat terbaik dari luka itu.
Ketika hendak meninggalkan parkiran CNTV, gawaiku bergetar, sebuah chat dari Mas Prabu masuk.
"Sayang, aku mohon bawa Vino ke rumah Ibu, masalah hak asuh anak masih belum tahu kapan diputuskan sementara Ibu saat ini kangen banget sama Vino, beliau sakit Tih."
Aku terdiam, terpaku sembari menggenggam erat smartphone terbaru di tanganku.
"Kenapa?"
Suara khas Pandu mengulik pendengaran ku.
Aku menjelaskan kesulitanku dan tentunya kekhawatiran ku. Pandu tersenyum.
Lalu dengan cepat dia menarikku ke arah mobilnya dan sejurus kemudian dia meluncurkan mobilnya menuju ke rumahku.
Pandu berkeras menemaniku membawa Vino ke rumah mantan mertuaku.
Aku tidak ingin menolak kali ini, tentu karena Pandu sudah lumayan akrab dengan Vino. Mereka seperti sahabat yang saling mengkritik satu sama lain. Bocah 2.3tahun itu terlalu pintar untuk ukuran bocah seusianya. Dan Pandu selalu bisa membuat Vino keluar dari zona nyamannya.
Pandu cukup pintar mengambil hati Vino, dia datang bukan sebagai sosok ayah bagi Vino, tapi justru menjadi sahabatnya. Padahal Vino bocah yang sangat pendiam. Namun Pandu mampu menyelami karakter bocah cerdasku yang pendiam itu.
Baby sitter Vino juga kuajak untuk jaga-jaga kalau saja situasi buruk terjadi.
Celoteh Vino sepanjang perjalanan menuju rumah neneknya membuatku sangat bahagia.
Mobil Pandu berhenti di depan rumah mantan mertuaku.
Aku menuntun Vino masuk, di dalam rumah ibu hanya ada Mas Prabu, dia duduk santai di ruang tengah.
"Mana Ibu Mas, aku ke sini cuma buat ketemuin Vino sama neneknya."
Mas Prabu tertawa senang.
Dan Ibu muncul dari dalam kamar. Terlihat sangat segar tak terlihat sakit sedikitpun.
"Hebat kamu Ratih, selama ini kamu menyembunyikan pekerjaanmu, lihat kamu terlihat sangat cantik, kenapa tidak seperti ini saat bersama Prabu."
Ibu sangat marah melihat penampilanku.
Aku dianggapnya menipu Mas Prabu. Aku merasa reaksi ibu tidak pantas dilihat Vino.
Namun Ibu terus mencecarku seolah akulah yang bersalah atas kandasnya rumah tanggaku, aku yang tidak jujur. Dia lupa mengoreksi putranya sendiri.
"Ibu lupa, cantik itu perlu duit Bu, apa ibu juga lupa bagaimana cara Mas Prabu menafkahi aku? Maaf Bu aku ke sini karena Mas Prabu bilang Ibu sakit dan ingin ketemu Vino, kalau ternyata Ibu sehat dan ngga butuh ketemu Vino, aku pulang."
Ku tarik tangan Vino yang sama sekali tidak bereaksi rindu sedikit pun pada Ayah dan neneknya.
"Sabar Tih, ibu minta kamu ke sini karena ingin memintamu kembali sama Prabu, kamu harus tahu status janda cerai itu buruk, kamu siap menjalani arung jeramnya? Kuat dengan ..."
Aku menggeleng dan lagi-lagi tersenyum tipis.
"Aku sudah memutuskan Bu, dan ini jalan kebahagiaanku."
"Jangan sombong Tih, anakmu butuh ayahnya. Tentang Sinta ibu akan minta Prabu menceraikannya, dia sudah melahirkan seminggu lalu, tapi putrinya meninggal di kandungan, memang wanita ngga guna dia, bisanya cuma ngabisin duit suami, dia beda sama kamu."
Aku terperangah. Sinta yang baru saja melahirkan dan putrinya meninggal justru hendak dicampakkan demi aku yang kini terlihat menguntungkan bagi beliau. Sungguh miris sosok wanita paruh baya di hadapanku.
"Ayo Bunda, Vino mau pulang saja, mau main rubic sama Om Pandu."
Rengekan Vino menyadarkanku, obrolan kami tidak pantas di dengar putraku. Mas Prabu menarik Vino ke pelukannya, tapi Vino memberontak.
Melihat reaksi Vino, Mas Prabu sangat marah dan menuduhku mencekoki pikiran Vino supaya membencinya.
Aku hanya tertawa sumbang mendengar tuduhannya. Ku ingatkan bagaimana selama ini dia memperlakukan Vino. Bahkan android lebih berharga dari putranya. Aku mengingatkan pada Mas Prabu bagaimana dia meneriaki Vino dan memukul tangannya hanya karena bocah ini memegang android mahalnya.
Bagaimana dia berteriak menyuruhku mengambil Vino ketika putranya itu bermanja hendak minta di asuh di pangkuannya. Dan hari ini setelah semua perlakuan cuek dan buruknya pada bocah kecil itu, Mas Prabu tetap tidak terima Vino menolak di peluknya.
Aku melangkah meninggalkan ruang tamu dan hendak melangkah menuju pekarangan ketika Pandu muncul dan Vino menghambur memeluknya.
Mas Prabu bertepuk tangan dan marah besar melihat Pandu. Melihat reaksi Mas Prabu pada kehadirannya Pandu meminta baby sitter Vino membawa Vino pergi dan mengalihkan perhatian bocah itu jangan sampai melihat situasi ini. Baby sitter segera menuntun Vino keluar dari pekarangan dan masuk ke mobil Pandu yang terparkir di jalan depan rumah.
"Kamu sampai mengikuti mantan istriku kemari ya? Cinta banget kamu sama wanita ini, asal kamu tahu Pandu, aku dulu juga tergila-gila sama dia tapi saat sudah dinikahi dia berubah menjadi wanita yang sama sekali tidak menyenangkan. Dia bahkan tidak mampu memuaskan suami di tempat tidur, dan kamu tahu, kewanitaannya sempat ..."
Belum selesai Mas Prabu mengumbar kekuranganku sebagai mantan istrinya, tinju Pandu ke rahangnya mampu menutup mulut nyinyir dan lemes lelaki itu. Aku terpana, air mataku menganak sungai.
Tubuhku gemetar menahan amarah bercampur malu yang sangat luar biasa. Pandu menarikku ke sisinya.
Ketika Mas Prabu hendak mengucapkan kata lagi Pandu kembali menamparnya hingga hidungnya berdarah.
Ibu berteriak marah dan bisa di pastikan semua keburukanku diumbarnya di hadapan Pandu. Aku tak bergeming. Hatiku sangat perih namun aku puas, Pandu mewakiliku membuat mulut itu berhenti membuka aib masa laluku.
Mantan ibu mertuaku berucap marah bahwa dia akan pastikan aku akan merangkak memohon Mas Prabu kembali.
Pandu menarik tanganku dan berbisik sebelum masuk ke dalam mobil
"Tahan emosimu sayang,bhspus air matamu, ada Vino di dalam mobil." ucapnya lembut. Aku tersentak dan sadar. Ku hentikan tangisku dan kutelan rasa pahit itu. Dan setelah emosiku stabil, Pandu membukakan aku pintu mobilnya.
Pandu melajukan mobil meninggalkan rumah yang aku bersumpah tak akan lagi aku menginjaknya. Vino tertidur di dalam pelukanku. Sesekali Pandu melirik menatap kepada kami. Di belainya rambut Vino dengan lembut. Aku hanya tertunduk lemah.
Sesampai di rumah, ku serahkan Vino ke gendongan baby sitternya. Mereka berdua berlalu masuk ke dalam rumah. Pandu menahan tanganku di dalam mobil.
Gawaiku bergetar, dan chat lelaki jahat itu masuk.
"Kalau aku tidak bisa memilikimu lagi, pria lain pun tidak boleh! Ingat Ratih ..."
Pandu merebut gawaiku dan menghapus chat Mas Prabu,
kemudian memblokir nomernya.
Dia meraih kepalaku di dadanya.
"Menangis lah Ratih, sepuasmu, aku akan diam sampai kamu puas menumpahkannya."
Tanpa diminta dua kali tangisku meledak, aku tak mampu menahan rasa sakit luar biasa yang ku rasakan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments
anisa sutiani001
mantan suami gilaaa itu 😄🤦♀️
2021-08-12
0
Danendra Faiz
ihh prabu lemes banget sih mulutnyooo
2021-08-07
0
manda bunga
😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭
2021-08-06
0