Pagi ini berbeda dari pagi yang ku lalui selama lebih dari tiga tahun di rumah mewah suamiku.
Pagi ini terasa penuh nuansa pengharapan yang kudapati dalam hidup ini. Pagi berwarna jingga seorang wanita yang sebentar lagi menyandang status janda.
Dilema, terasa bahagia karena terlepas dari kehidupan yang terhina dan direndahkan oleh pasangan hidup, namun sedih karena aku tahu pasti kehidupan seorang janda cerai tidak lah mudah. Walaupun sudah berperilaku baik dan berhati-hati, pasti ada saja orang yang akan mencurigai bahkan mungkin merendahkan. Seperti yang sering kulihat di sekitarku. Namun aku tidak akan gentar.
Ratih yang tertekan dan stress itu telah terkubur, aku terlahir kembali.
Opini negatif disekitar kehidupan seorang janda cerai karena mereka yang menilai tidak tahu, wanita yang terpaksa mengambil jalan cerai sebagai solusi pastilah mengalami kehidupan berat dan menyakitkan.
Andai bisa memilih tak mungkin satu orang pun wanita di muka bumi ini yang ingin bercerai. Begitu pun diriku.
Saat memasuki bahtera rumah tangga aku sangat bahagia dan yakin akan selamanya menggenggam kuat cinta dan kesetiaanku untuk suamiku, bahkan tentang penghidupan serba kekurangan walaupun suami berkecukupan tidak menjadi pemicu utama hancurnya cinta di relung jiwa ini. Aku tetap mencintai suamiku sepenuh hati meskipun dia tidak memenuhi dengan benar nafkahku, aku tetap menghormatinya, namun hatiku menyerah ketika itu tentang Penghianatan, yah karena penghianatan disertai penghinaan membuatku tak lagi berpikir untuk menghabiskan sisa hidup yang sangat berharga ini di dalam lingkungan yang tidak bisa menghargai diriku.
Aku hanya manusia bukan malaikat penghuni surga. Di sisi seorang imam rumah tangga yang gemar berzina tak mungkin bisa kutemukan surga dunia apalagi surga akhirat. Aku tidak mampu melihat kecurangan hatinya, kerendahan moralnya sehingga sanggup membawa wanita ke dalam rumah yang masih berisi wanita yang resmi dinikahinya di depan Allah dan di hadapan penghulu.
Di sinilah kini aku, Ratih Prameswari, terbangun sendirian di dalam kamar yang sepi namun terasa penuh rona bahagia. Di sinilah aku kini, tersenyum menyambut harapan yang harus ku lukis lebih indah di kanvas hidupku.
Bibi Rum menyeduhkan kopi kesukaanku, kopi hitam merk paman Kap**. Kopi ini kesukaanku karena rasanya yang murni tanpa campuran. Bik Rum sudah mulai hafal takaran gula+kopi yang kusuka. Kuhirup seteguk, lalu berlalu ke kamar mandi.
Selesai mandi aku mendekati Tante Neneng yang sedang ikut menyiapkan sarapan di meja makan.
"Tante, Ibu mana?"
Tante menoleh dan tersenyum.
"Ibumu masih di kamar Ratih, dia masih sedih mendengar perceraian kamu, tapi Alhamdulillah ngga marah lagi karena Tante sudah menjelaskan segalanya pada Ibumu, mungkin masih tersisa sedih di hatinya. Wajar Tih, namanya orang tua, pasti pengennya anaknya bahagia dalam rumah tangga. Ngga nyangka bakalan di sia-siakan suami."
Aku beranjak ke kamar Ibu, pelan ku buka pintu kamarnya. Ibu duduk di sisi jendela, menatap jauh ke halaman penuh bunga dan tanaman obat.
"Ibu, ampuni Ratih ya, ngga bisa menjaga pernikahan Ratih, pasti Ibu sedih."
Aku duduk bersimpuh di lantai, kuletakkan kepalaku di pangkuannya. Ibu membelai kepalaku dan mengangkat bahuku untuk menatapnya. Ibu menghapus air mataku dan memeluk erat, air mata yang tertahan begitu lama, Isak tangis yang terpendam di relung Sukma, terburai tanpa bisa ku cegah. Pelukan hangat Ibu terasa membuatku damai dan tenang.
"Bukan salah mu sayang, Ibu sedih karena suamimu tega menyakitimu, menghianati dan menelantarkan kamu dalam kesakitan. Ibu sedih karena putri Ibu yang berharga, yang ibu didik dengan penuh cinta, di perlakukan semena-mena oleh suaminya. Allah ngga tidur Nak, berdo'a lah agar ini keputusan terbaik dan akan membawa kebahagiaan buatmu. Allah tahu kamu terpaksa mengambil keputusan ini. Percayalah nak, apa pun yang Ratih putuskan, Ibu akan selalu mendukungmu."
Ibu mencium puncak kepalaku. Aku memeluk Ibu dan berucap:
"Terima kasih Bu." Ibu mengangguk dan tersenyum lembut.
*********************************
Setelah keluar dari rumah Mas Prabu dan melakukan beberapa kali sidang sampai diputuskan cerai, aku tak lagi nyambi bekerja di restoran.
Fokusku hanya bekerja sebagai karyawati tetap di stasiun TV. Terkadang menerima job diluar pekerjaan, mengedit kan beberapa iklan ataupun film pendek terkadang juga menerima job dari YouTubers, banyak juga klien yang memakai keahlianku di luar jam kerja adalah orang-orang yang dikenalkan oleh Pandu kepadaku. Pandu sangat aktif mencarikan aku side job.
Job sampingan ini membuat tabunganku semakin menggunung. Penghasilan yang ku peroleh diluar dari gaji di TV bisa mencapai 3 sampai 4 kali dari gajiku di TV. Sementara uang sisa hasil penjualan rumah Ibu kubelikan rumah yang dulu kusewa, karena pemiliknya sangat memerlukan uang untuk membiayai kuliah dua anaknya.
Aku sangat beruntung, karena rumah ini cukup luas, dengan pekarangan yang bisa kami gunakan untuk sekedar menanam tumbuhan obat dan bunga, ibu dan Tante Neneng sangat menyukai bercocok tanam meskipun di lahan sempit, menjadi semacam hiburan bagi dua janda tua dan satu janda muda ini.
Di hari liburku biasa kugunakan bermain sepuasnya dengan Vino dan keluarga kecil ini.
Mas Prabu tidak pernah menelepon untuk sekedar bertanya tentang Vino. Mungkin dia sibuk dengan selingkuhannya. Sekarang mungkin saja Sinta sedang merasakan bagaimana rasanya menjadi aku dulu.
Pernah saat berangkat menuju stasiun TV aku melihat Sinta naik angkot dengan perut yang sudah besar karena hamil tua, dia tidak secantik dulu lagi. Aku merasa kasihan untuknya. Mungkin dia berpikir selama ini beruntung memiliki Mas Prabu dan membuatku menyerah, aku yakin dia tak pernah tahu akan mengalami nasib sama sepertiku, tak terurus dan tak terpenuhi hak sebagai istri.
Entahlah, aku kini lebih bersyukur telah terlepas dari hidup melelahkan itu.
***************************
Siang ini aku dan Pandu berjanji ketemu seorang sutradara film terkenal yang sinetronnya akan tayang di CNTV.
Beliau ingin bertemu dengan Editor penanggung jawab yaitu aku dan dari Production House juga membawa Editor sendiri, diskusi ini akan kami lakukan saat makan siang di restoran sebuah hotel berbintang lima.
Pembahasan itu berlangsung lumayan santai dan beberapa masukan yang ku utarakan di forum kecil ini di apresiasi baik oleh sutradara. Kami baru selesai menghabiskan makan siang ketika gawaiku berbunyi. Aku meminta izin untuk mengangkatnya.
Ternyata dari Mas Prabu, nomer teleponnya sudah ku hapus, jadi aku tidak tahu kalau dia yang menelepon.
"Dengan siapa kamu Ratih, apa yang kamu kerjakan? Kenapa ada sutradara terkenal makan denganmu."
Telepon langsung kumatikan. Kulihat di sekitarku tepat di seberang berbatasan dengan dinding kaca Mas Prabu mengangkat tangan kearahku. Aku tidak menggubris, kembali fokusku pada orang-orang yang berada di hadapanku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments
Yunerty Blessa
kasian sekali kau Prabu....tak payqh layan lelaki kaki dayus
2023-07-26
0
Wawat Rahmawati
Kerennn ....gk usah di gubris orang kaya gitu mah
2021-08-26
0
Tri Widayanti
Karma berlaku Ferguso..rasakan deritamu
2020-11-06
3