Ibuku ternyata harus segera melakukan tindakan operasi, beliau terkena Penyakit Jantung Koroner, dan biaya yang diperlukan tidak kecil, ratusan juta. Aku termenung di pojok ruang tunggu RS. Aku memiliki suami yang mapan bahkan aku yakin kalau dia mau membantuku dia pasti bisa. Tapi semua itu sangat tidak mungkin.
Aku hanya memiliki waktu seminggu untuk memutuskan operasi atau membawa ibuku pulang dengan resiko mungkin beliau meninggal.
Tanteku istri almarhum Paman yang menolong membawa ibu ke rumah sakit menghampiriku.
"Ratih, Tante ngga punya anak, hidup selama ini hanya dengan Pamanmu, setelah beliau tiada Tante jarang tinggal di rumah Ibumu yang dulu dipinjamkan ke Tante, sekarang Tante lebih sering tinggal sama ibumu, jadi menurut Tante gimana kalau rumah Ibumu yang dulu Tante pinjam itu kamu jual saja, buat biaya operasi ibumu."
Tante Neneng mengelus pundak ku dengan lembut.
Aku berpikir sejenak, memang rumah yang ditempati Tante Neneng itu rumah milik Ibu yang lama, namun aku tidak yakin bisa cepat menjual rumah itu. Menjual rumah bukan hal mudah.
Saat pikiran kalut dan tak bisa berpikir jernih, terpikir olehku untuk meminjam uang dari mertuaku atau suamiku sebelum rumah itu terjual, kemudian aku menelepon Mas Prabu dan ibu mertuaku, namun jawaban suamiku dan ibunya hampir senada.
"Siapa yang bisa menjamin rumahmu cepat lakunya?"
Mereka tidak mau mengambil resiko uang tertahan lama. Ya Allah, bahkan pertaruhan nyawa ibuku tak berarti apa-apa untuk mereka. Aku hanya pinjam dan akan dibayar saat rumah itu laku, namun mereka tak menggubris. Sejak detik itu hatiku mati untuk mereka, buatku perceraian mutlak ku ambil. Aku tak ingin tersiksa lebih lama bersama orang-,orang yang tidak pernah menganggapku berarti di hidup mereka.
Pandu menatapku dari seberang ruangan, dia tidak berkata apa pun. Bahkan ketika aku menangis karena luar biasa kesal pada Ibu mertua dan suamiku, dia hanya menunduk memandang gawainya.
Pandu seolah memahami aku ingin sendiri menikmati luka ini.
Tante Neneng yang merupakan ipar kesayangan ibu, ijin hendak pulang untuk mencoba menawarkan rumah kepada orang-orang di kampung ku. Rumah itu sangat luas halaman depan dan belakangnya, lebih luas daripada rumah yang di tempati ibuku. Sayang sebenarnya, aku berencana menjadikan rumah itu tempat istirahatku saat berlibur dengan anak dan suamiku, tapi itu dulu sebelum aku mendapati sosok seperti apa suami mapanku itu.
Pandu menawarkan diri mengantar Tante Neneng. Dan tentu saja disambut gembira oleh tanteku yang ramah itu.
Hanya beberapa jam setelah Tanteku pulang, beliau menelepon mengabari kalau rumah telah laku, bahkan harganya sangat tinggi. Tante meminta tolong Pandu mentransfer ke rekeningku. Luar biasa nominalnya, bahkan bisa membuatku membeli rumah sederhana di pinggiran kota Jakarta.
Sebenarnya aku heran kenapa bisa secepat itu Tante mendapatkan pembeli. Namun aku tidak mau berpikir terlalu rumit, secepatnya aku membawa ibuku ke RS Medika Jakarta untuk operasi. Tante ikut denganku kembali ke Jakarta, tapi aku tidak membawa beliau ke rumah Mas Prabu. Aku memilih menyewa rumah sederhana untuk ku tinggali dengan Tante Neneng dan tentunya nanti bersama dengan ibuku yang semoga berhasil melalui operasinya dengan baik.
Hingga hari H operasi ibuku, tak satu pun keluarga suamiku yang bertanya, bahkan hanya sekedar untuk menelepon basa-basi apalagi untuk mengunjungi. Kenyataan itu semakin menguatkan tekad, setelah operasi ibuku selesai, aku akan menggugat cerai, dengan alasan perselingkuhan suami dan nafkah lahir yang diabaikan.
Hampir lebih satu bulan aku tidak pulang dengan alasan merawat ibuku. Namun Mas Prabu tidak bertanya apa pun. Bahkan aku mendengar suara wanita terdengar sangat manja memanggilnya, saat aku meneleponnya.
Bukan suara Sinta, terdengar asing di telingaku.
Namun kuabaikan. Sejak awal menginjak lagi kota Jakarta aku sudah mendaftarkan gugatan cerai pada suamiku. Tekadku sudah bulat, mungkin keputusan ini bukan yang terbaik, namun sebagai wanita rasanya aku tak mampu bertahan lebih dari kesanggupanku menerima rasa sakit ini.
Aku menapaki jalan menuju rumah Mas Prabu dengan tujuan mengambil barang-barangku dan menyerahkan langsung surat gugatan dari Pengadilan Agama, ke tangan suami dzalim itu.
Tak dinyana aku melihat Mas Prabu sedang bermesraan dengan seorang wanita muda yang tidak ku kenal, gadis itu hampir setengah bugil di sofa ruang tengah, sebelum dia menyadari kehadiranku, ku abadikan momen itu untuk melengkapi bukti gugatan cerai agar lebih mudah. Dan yang pasti dengan bukti ini hak asuh Vino tak mungkin diberikan pada lelaki tak bermoral.
Setelah merekam beberapa menit dan memoto mereka dari tempat tersembunyi, aku kembali ke luar rumah dan berpura-pura memencet bel.
Mas Prabu keluar dan sangat terkejut.
"Kenapa ngga bilang-bilang kalau mau pulang?"
Aku tersenyum dan mencium punggung tangannya. Meskipun aku sebentar lagi out dari rumah mewah nan menyiksa ini.
Aku menerobos masuk dan wanita muda selingkuhan suamiku tergopoh memasang bajunya yang terlepas sebagian. Aku hanya berjalan masuk melewati Mas Prabu tanpa ekspresi sedih apalagi marah.
Mas Prabu mengikutiku ke kamar dan mencoba mengatakan kalau wanita itu yang menggodanya, wanita itu yang memaksa datang ke sini. Aku hanya membalas dengan senyuman. Mas Prabu tampak heran melihat ekspresi ku.
"Silahkan Mas mau berzina atau nikah lagi aku ngga perduli, puaskan syahwatmu hingga kamu mati, aku ngga perduli lagi, aku datang cuma untuk mengambil barang-barangku, dan ini, surat gugatan ceraiku untuk kamu!"
Mas Prabu terbelalak marah dan sangat murka wajahnya memerah.
"Sombong banget kamu Tih, bisa apa kamu di luar sana? jual diri?pekerjaan cuma jadi pelayan aja berani gugat cerai aku!" makinya
Aku tak menggubris kata-katanya yang menghina.
"Oh ya, bawa Vino sekalian dari rumah Mbak Lisna, aku ngga akan membantumu sepeser pun, membayar Mbak Lisna satu juta itu akan aku hentikan, pengen kulihat apa kamu mampu membiayai dirimu dan anakmu bahkan mungkin Ibumu yang sakit-sakitan itu dengan pekerjaan itu.pengen liat kamu merangkak di kakiku untuk membiayai anakmu. Hidup jadi janda itu ngga mudah Tih, jangan sombong!"
Caciannya kuabaikan, Mas Prabu mencoba mencegahku pergi dengan menakutiku, tapi aku percaya sang maha segalanya akan selalu menolongku.
Aku telah selesai mengemas pakaianku dan Vino. Terasa lega karena ternyata tak perlu repot minta hak asuh. Mas Prabu pasti akan memberikan dengan suka cita.
Aku melenggang meninggalkan rumah menuju rumah kontrakan ku yang walau tidak semewah rumah Mas Prabu, namun sangat nyaman dan bersih, berada di lingkungan yang baik dan aman.
Di sana sudah menunggu Tante Neneng, beliau sudah aku ceritakan alasan aku minta cerai, Tante sangat mendukungku. Tante sangat menyesali aku diperistri lelaki tak bermoral yang menggunakan dalil agama sepotong sepotong untuk menekan istrinya. Namun perbuatan dirinya sendiri lepas dari kontrol agama. Dan malangnya keluarganya membela kelakuan buruk itu.
Keluar dari rumah itu aku merasa sangat lega. Ketika menjemput Vino aku berpamitan pada Mbak Lisna, dia memahami keputusanku, namun ibu mertua dan Diah adik iparku reaksi dan ucapannya hampir sama dengan Mas Prabu. Hinaan mereka ucapkan dengan ringan.
Aku hanya bisa istighfar di dalam hati.
Langkah selanjutnya adalah menata masa depan bersama buah hatiku Vino dan tentunya kehadiran Tante Neneng menjadi anugerah tersendiri untukku.
Aku membayar Baby sitter, juga ART, dan meminta Tante Neneng hanya mengawasi saja pengasuhan putraku.
Aku ingin kelak saat Ibuku pulang dari RS, dia dan Tante Neneng bisa bersantai tanpa dibebani pekerjaan rumah tangga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments
Jumaeda
Keren keren keren tindakanmu, Ratih ya Thor karyamu mantapp👍
2023-02-12
0
Wawat Rahmawati
Wonder woman 💪👍💕
2021-08-26
0
Wawat Rahmawati
Suami gk da Akhlak !
2021-08-26
0