Flamingo 20

...•o•...

           JAMILA saat ini ada di sebuah panti asuhan yang ia datangi, untuk keperluan pekerjaan. Namun sepertinya ini tidak terlalu lama, karna dokter Kastara mengajaknya untuk kembali ke rumah sakit. Jamila mengikuti Kastara berjalan di belakangnya. Pria yang berperawakan gagah itu, terlihat menawan di malam-malam begini. Tidak salah ya, kalau mereka berdua ke panti asuhan malam-malam, karena memang begitu tugasnya yang dilabeli wajib oleh seksi kepegawaian.

Kastara memasuki mobilnya yang terparkir di depan panti. Jamila pun memasuki mobil itu. Ia memilih duduk di depan. Tidak masalah kan. Walau sedikit canggung Jamila tetap tenang duduk.

"Kenapa di kursi depan duduknya? Dibelakang Jamila, aku gak mau liat kamu duduk di depan." Ujar Kastara menusuk. Itu sebenarnya perkataan macam apa sih, kenapa begitu nyelekit, ujar Jamila dalam hati.

"Gakpapa dong, dok. Enakan dilihat orang." Balas Jamila, yang memutuskan keputusan. Yang menurutnya sih wajar-wajar aja.

"Ya, tapi sayakan sudah ber-istri." Kata Kastara yah, sedikit merendahkan. Membuat Jamila geleng-geleng kepala. Antara sedih atau ingin marah gitu.

"Aku, juga kan manusia." Jamila marah.

"Kamu emang manusia. Tapi ini udah malam-malam." Kata Kastara menenangkan. Terpaksa Jamila pun harus nurut. Ia akhirnya pindah duduk jadi di belakang mobil. Ya, Allah, kenapa ya, repot amat jadi asistennya Dr. Kastara. Kata Jamila dalam hatinya.

"Oke."

Ketika laju mobil dinyalakan, keadaan begitu hening. Jamila dan Kastara tidak saling membahas apapun lagi. Tapi tiba-tiba Jamila teringat sesuatu.

"Dok, kenapa pergi ke panti asuhan?"

"Bukannya kamu tahu sendiri, bahwa kita ngecek anak-anak sakit."

"Tapi dok terihat mengobrol serius dengan yang punya panti."

"Kenalan saja."

"Oh."

Lalu mereka sampai di rumah sakit. Selagi masih dalam waktu kerja, Jamila dan Kastara berpisah, sebab mereka sibuk dengan urusan pribadi. Hidup ini tidak melulu tentang kerja, kan.

•o•

Terlihat jam di dinding, berdenting-denting tiap detik. Terlihat menjejer berkas pasien di lemari. Terlihat kasur, kursi, selang infus di dalam ruangan ini. Untuk hari ini, Jamila sudah bosan melihatnya. Ia menghela nafas dalam.

"Sekarang udah waktunya pulang nih. Abisnya sip ini udah abis." Racau Jamila. Ia berdiri dari kursi duduknya tadi. Ia menghampiri tasnya yang bermerk YSL. Ia memasukan barang-barang, yang sengaja keluar dari tas tersebut.

"Kemana ya, tisu aku. Kenapa gak ada di tas." Bingung Jamila sambil lengok-lengok, ke kanan-kiri. Ia melihat tisunya ada di meja Kastara. Lalu Jamila mengambilnya, dan memasukannya ke dalam tas.

Setelah cukup beres untuk segera pulang, Jamila melangkahkan kaki meninggalkan ruangan. Tak lupa dengan tas YSLnya. Ia berjalan ke luar rumah sakit, dengan langkah lambat. Ia membenarkan letak kancing bajunya, diperjalanan itu. Hari ini ia menggunakan heels yang lumayan tinggi, sekedar memperindah tubuhnya. Ketika langkahnya itu terdengar berkatuk-katuk. Merk-nya itu Prada.

"Jamila!" Panggil seseorang yakni Mila dari arah depan.

"Kenapa Mil? Loe masih kerja?"

"Engga sih. Sekarang mau pulang."

"Barengan aja."

"Ya, kali gue kesini buat itu."

"Hahaha." Jamila tertawa jenaka. Mila dan Jamila berjalan berbarengan, selagi belum sampai tujuan. Suster Mila cantik itu nampak anggun, menggunakan balezer putih-abu. Juga dengan high heels ala-ala Drakor gitu.

Setelah keduanya sampai di teras rumah sakit. Tiba-tiba terdengar ada yang memanggil nama Mila dengan keras. Seorang cowok, siapa lagi kalau bukan suaminya.

"Gue kayaknya harus pisah disini aja deh, Jem." Kata Mila dengan ragu-ragu.

"Gakpapa kok." Jamila menjawab dengan senyum.

Mila lalu meninggalkan Jamila, menghampiri suaminya dengan cara berlari. Ia sepertinya, tidak mau melihat suaminya cape-cape menunggu. Ia sempat melambai ceria. Yang disemat dengan lambaian sama oleh Jamila.

Jamila menghembuskan nafas lelah. Ia lalu melihat kiri dan kanan, memastikan apakah ada yang setidaknya mengajaknya pulang bersama, menggunakan mobil atau motor. Tapi sudahlah, kayaknya itu gak ada. Akhirnya Jamila meneruskan langkahnya.

Kira-kira malam petang ini, pukul 9 p.m. Ketika pukul itu di Jakarta, khususnya di rumah sakit ini masih banyak yang hilir mudik, keluar masuk rumah sakit gitu. Terlebih yang nengok pasien inapkan. Kalau diam di rumah sakit itu, sebenarnya benar-benar betah sih, karena Jamila dokter. Tapi kalau udah lelah, cape, atau sebagainya ingin pulang buru-buru, karena itu sendiri.

"Kalau melihat bulan di atas, kayaknya ada sepasang remaja yang sedang jatuh cinta. Entahlah." Kata Jamila, ketika ia melihat ke atas, langit yang ada bulannya.

"Pengen banget deh, ke SMA. Karena ingat bulan, jadi ingat masa-masa remaja dulu." Kata Jamila lagi.

"Yah, memangnya apa hubungannya, bulan dengan itu?" Kata Jamila, sedikit menyalahkan diri sendiri.

"Mungkin, karena aku semasa itu suka melihat bulan. Hahaha." Kata Jamila lagi, seraya menahan tawa, yang setidaknya menurutnya garing itu.

Jamila menghentikan langkahnya, ketika sampai di tangga depan rumah sakit. Jamila tadi sengaja memperlambat laju langkahnya. Jadi dari tadi, benar - benar masih sampai tangga. Itukan seperempat lagi hingga sampai menuju jalan. Sebelum Jamila kembali berjalan, ia menghembuskan nafas dulu. Hmhh. Ia kembali berjalan.

Terdengar samar-samar nama Jamila dipanggil.

"Jamila!!" Yang ini lebih keras. Nampak suara Kastara. Lalu Jamila menoleh kepada orang yang mengatakannya tadi. Ia tidak terkejut. Ketika Jamila menoleh, orang yang sedang berlari tersebut sudah sampai ditempatnya saat ini. Membawa sebuah kantong kresek.

"Jem ..." Kastara tidak melanjutkan kata-katanya, karena kecapean.

"Kenapa bisa lari-lari gitu sih ..." Jamila dibawa kesal.

"Nih!!" Kastara menyodorkan kantong kresek, itu pada Jamila. Sedikit sungkan tapi Jamila membawanya. Ia tidak mengeceknya, hanya meraba-raba dan menebak isinya apa.

"Apa ini?" Jamila bertanya, karena ia tidak tahu, atau tidak bisa menebak isinya apa.

"Itu adalah nasi kuning, buat kamu makan di rumah." Jawab Kastara lembut. Jamila ingin sekali menyemburkan sangjungan, namun ia tahan.

"Makasih." Itu saja yang menurut Jamila pantas terucap.

"Sama-sama." Jawab Kastara lembut dan lucu.

"Langsung ke rumah?" Tanya Kastara, masih lembut.

"Iya." Jawab Jamila dengan jujur.

"Emhh, boleh aku temenin." Ucap Kastara, sedikit malu-malu.

"Boleh." Kata Jamila, sedikit malu-malu.

Jamila dan Kastara berjalan, selagi belum sampai ke jalan. Mereka begitu bersikap cuek, namun itulah ciri dari Kastara. Dimana sikapnya dominan, seolah dialah pemilik semua argumen bahkan kejadian. Jamila melihat Kastara yang ia merasa sedikit berubah. Sedikit penuh senyum, yang jelas perhatian.

"Kenapa dok sedikit aneh?!" Jamila menyesali kata-katanya. Aduh, bagaimana jika dokter itu marah! Pekik Jamila dalam hatinya.

"Aneh?! Aku tak ..." Kastara kebingungan, memilah kata-katanya.

"Tidak maksudku adalah, kenapa dok jadi perhatian pada aku?" Tanya Jamila sedikit menjelaskan.

"Kitakan sudah lumayan kerja bareng." Jawab Kastara disertai senyum tulus.

Akhirnya mereka sampai di persimpangan jalan. Kastara hendak menunggu taksi Jamila. Sehingga ia tetap diposisinya.

"Emhh, aku pikir dok tak akan kepikiran kesana." Kata Jamila, dengan nada yang ringan.

"Memangnya aku pria macam apa? Aku gak berengsek-berengsek amat kok." Bela Kastara pada dirinya sendiri. Dengan nada yang tajam dan dengan intonasi yang sedang. Meskipun ia terlihat tersenyum manis.

"Ini pun sebagai ungkapan terimakasih, karena kamu mau menemani saya makan." Kata Kastara, melanjutkan.

Langkah mereka berhenti, karena sudah sampai persimpangan jalan. Tinggal menunggu taksi, yang kosong yang siap melayani. Jamila dan Kastara hanya lempar tatap. Sebelum mereka mempersiapkan obrolan.

"Kamu gak takut sendirian aja Jem?" Tanya Kastara, basa-basi.

"Gak." Jawab Jamila polos.

"Aku sebenarnya cowok yang penakut Jem. Buktinya aku takut kalau sendirian di New York. Pernah mengalami itu ketika seusia kamu." Cerita Kastara panjang lebar.

"Ya, aku pun takut kalau di New York." Kata Jamila, sambil geleng-geleng.

"Iya, ya. Kamu kan cewek." Ucap Kastara sambil geleng-geleng juga. Ya, karena ia tidak percaya dengan omongannya tadi yang sedikit gila.

"Ada kok cewek yang pemberani." Kata Jamila, sambil mengingat-ngingat seseorang yang dikenalnya dulu. Ia sosok yang super berani semasa SMA, dia nekat ke luar negeri. Sendirian pula.

"Niken adalah cewek yang pemberani." Kata Kastara tidak sadar. Matanya terlihat kosong, mengingat masa-masa, entahlah karena Jamila tidak tahu maksudnya apa.

"Pastinya istri dok itu idaman dok ya." Kata Jamila, sambil mengulum bibirnya dengan lembut.

"Ya, pastinya." Ujar Kastara.

"Suatu saat aku ingin membangun rumah tangga yang harmonis." Ucap Jamila, sambil tersenyum, karena ia sedang mencurahkan isi hatinya. Agar Kastara tidak putus asa, tentang hubungannya dengan Niken. Selagi masih hidup kita tidak boleh syuujon pada Allah SWT.

"Kamu seperti anak kecil saja." Kata Kastara dengan tawa jenaka. Ia seperti sangat terhibur. Meski masih terlihat sisa-sisa lamunannya.

"Itu namanya remaja bukan anak kecil, menurutku." Kata Jamila, membela diri sendiri.

"Mmm."

"Yah, kamukan masih muda. Wajarlah."

"Iya, aku masih muda." Jamila mengalah.

Tid tid, suara taksi tepat di depan Jamila. Membuat Jamila terkaget. Lantas membuat Kastara menahan kikikan gelinya.

"Iya, pak sopir. Kaget tahu!" Pekik Jamila kesal.

"Ya udah sana masuk taksi. Udah malam banget nih." Ujar Kastara.

"Iya." Akhirnya Jamila masuk mobil. Mereka tidak sama sekali saling lambai, ketika Jamila melandas ke pacuan jalan raya.

...•o•...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!