...•o•...
AKHIRNYA Jamila dan Fendi sampai ke sebuah apartement, yang katanya miliknya Fendi. Dua orang tersebut berjalan di apartement itu. Nampak hanya berduia saja, sebab pemilik-pemiliknya sibuk di dalam. Jamila dan Fendi terasa nyaman dengan keadaan tersebut, dan sama-sama menenangkan pikiran. Jamila melihat sekeliling lorong, kemudian melihat Fendi yang diam membisu. Wajah itu membuatnya terasa sejuk.
Jamila memutuskan untuk bertanya pada Fendi, "Fen, udah makan?" Tanya Jamila. Fendi menoleh, nampak tersipu malu. Mungkin dia tidak biasa diperhatikan. Namun Jamila hanya diam saja tak bersuara. Kejadian tadi sudah membuatnya diam saja. Hanya hal-hal kecil yang menarik perhatiannya.
"Belom." Jawab Fendi.
"Kenapa nggak beli nasi padang aja, Fen?" Kata Jamila prihatin. Ia lalu melihat hpnya sejenak. Yang ia genggam dari tadi.
"Nggak bisa ahk, kalau kamu pun nggak beli toh." Jawab Fendi. Jamila tersenyum kecut karena disalahkan. Mereka baru saja balik dari rumah sakit itu. Sudah malam pukul 9. Tapi Fendi kala itu, setia menunggu Jamila yang kerja cukup bertenaga. Begitu jadi dokter, membuat Fendi merasa bangga dengan frofesi Jamila itu. Beberapa kali Fendi memuji, membuat Jamila tersenyum sendiri. Ia tahu ia beruntung, namun frofesi tidak membuatnya begitu bangga.
Tiba-tiba Fendi melihat Jamila sejenak namun berwaktu.
"Kita ke warung, yuk!" Kata Fendi, mengajak.
Jamila menggeleng.
"Aku traktir, Jem!" Fendi mulai merajuk.
"Nggak mau Fen. Ketibang jajan di warung mending makan mie, kan." Ujar Jamila.
Saran yang menguntungkan bagi Fendi itu, disemangati oleh anggukan kepalanya yang begitu gemulai. Fendi berkata atusias, "Benar banget Jem. Kita bisa ngobrol bareng."
"Iya."
"Ada yang akan kamu katakan lagi?" Fendi bertanya dengan nada bingung, ia melupakan sesuatu rupanya.
"Tidak." Jawab Jamila singkat.
"Kenapa kamu menjawab itu, yang lain, Jem." Kata Fendi dengan ekspresi tidak mengerti.
"Memangnya salah." Jawab Jamila berbalik arah, tak lama ia menertawakan Fendi yang masih melupakan sesuatu itu. Jelas, mana mungkin mereka masak mie, kalau mie instannya pun belum dibeli.
"Kitakan ngak mungkin makan mie instan tanpa membelinya Fen." Ucap Jamila setelah tertawa, yang membuat Fendi heran itu.
"Iya juga ya. Lagi pula aku nggak punya stok mie instan di apartement itu." Fendi cengengesan sendiri mendengarnya.
"Ya udah. Jadi kamu antar aku ke apart kamu itu, baru kamu balik lagi ke warung. Nggakpapakn?" Jamila berkata dengan serius.
"Sendirian aja nggakpp?" Fendi bertanya dengan perhatian. Menghawatirkan Jamila ketika ia sendirian di apartement, terasa manis di dengarnya. Tak bisa ditahan lagi senyum Jamila terbit dengan malu-malu.
"Nggakpapa." Jamila menjawab.
"Kita sudah kayak menikah saja ya." Fendi menghayal yang tidak-tidak, membuat Jamila mencubitnya kesal, tepat di tangannya. Fendi menjengit.
Terdengar tawa renyah dari keduanya,
Hahaha
•o•
Tuk tuk
Dua mangkuk mie instan sudah siap dilahap, tepat berada di hadapan Fendi. Di atas meja tepatnya. Fendi duduk di atas teras dibawah kursi tempat tamu duduk. Lalu Jamila melakukan hal yang sama, tepat didepannya Fendi.
"Apartementnya bagus, Fen." Puji Jamila pada aksitektur apartement itu, yang disusun dengan sederhana dan senyaman mungkin. Ia lungak-lengok ke kanan dan ke kiri untuk melihatnya lagi, setelah puas keliling-keliling melihat seisinya tadi.
"Thanks." Ujar Fendi bernada malu-malu.
"Kapan kamu membelinya?" Tanya Jamila ingin tahu.
"Sudah lama, kok. Hitung mundur 3 langkah. Begitulah. Hanya untuk menyingkirkan perasaan galau dari Surabaya saja." Kata Fendi, menyeruakan isi hatinya.
"3 tahun yang lalu, ya." Seru Jamila.
Fendi hanya bergumam.
Setelah memakan habis mie instan masing-masing, keduanya saling duduk di sebuah sofa panjang. Fendi tiba-tiba merasa malas, membahas pembahasan yang mungkin nantinya berujung penolakan. Ia tidak mau dihujam sakit hati.
Tapi... Fendi tidak sanggup menahan perasaan yang lama tumbuh ini.
"Jamila, sekali lagi aku bicara, kamu mau tidak nikah denganku?" Tanya Fendi dengan nada serius tanpa jeda.
"Beri aku waktu saja Fen. Satu bulan saja, mungkin iya." Janji Jamila yang belum tentu dapat ditepati.
"Oke. Satu minggu kalau bisa." Fendi mengiyakan dengan ringan. Mungkin karena saking ia peduli pada perasaan Jamila.
"Akan diusahakan." Jamila cengengesan mendengar kata-kata yang ia ucapkan itu. Apa yang harus ia lakukan?
Fendi menyosor mendekati Jamila, sebab udara tiba-tiba terasa dingin. Malam berdentang dipuncaknya. Mereka sama-sama dewasa, sehingga malam yang ada di puncak ini tidak begitu ambigu ketika menghadapinya. Memang terkesan jorok tapi Fendi bukan pria yang abnormal, ia terlalu normal untuk bercumbu-cumbu.
Jamila menatap Fendi dengan mata terbelalak. Tapi entah sinyal dari mana. Tiba-tiba jantungnya berdenyut-denyut, karena gugup sebab tidak ada jarak antara dirinya dengan Fendi. Hatinya memanas. Ia sebenarnya masih sadar bahwa ia cewek dan Fendi cowok.
Fendi mendekati wajahnya untuk menciumnya. Pada akhirnya Jamila dan Fendi saling berciuman.
Entah mengapa semakin lama ciuman Fendi makin memanas, dengan nadanya yang pelan dan lembut Jamila tersentuh. Ia ingin terus menautkan bibir masing-masing. Bahkan untuk saling *******.
Ciuman itu menjadi luapan nafsu yang menjadi-jadi. Pada akhirnya Jamila dan Fendi saling *******, dan menautkan lidah masing-masing. Fendi mendorong bahu Jamila agar tertidur. Dengan leluasa Fendi mengekspor bibir Jamila.
Jamila berbaring dengan hati tidak tenang. Tapi ia melanjutkan aksinya barusan. Merasa nyaman dengan perlakuan mendadak itu.
...•o•...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments