Flamingo 10

...•o•...

HARI telah malam. Senja telah usai. Tapi Jamila masih di sana. Ditempatnya berkerja. Menatap gorden yang terbuka nyalang di matras tempat pasien beristirahat pagi. Sejenak ia tak percaya pada alam yang melaju dengan kencang. Ia baru saja sehabis operasi kedua.

Ia langsung berlari ke lantai bawah, disini, yakni lobi rumah sakit. Membeli kopi, lalu bersandar pada pendapon pendaftaran, sebagai sarana masuknya pasien ke rumah sakit ini. Demi menghindar tatapan Kastara yang selalu tertuju padanya, seolah berkata dengan santai. Hati-hati! Dengan maksud merendahkan Jamila. Perhatian itu perlahan membuat nyali Jamila ciut. Ia merasa bukan siapa-siapa di ruang besar itu. Terasa sakit jika dipikirkan.

Jam berdentang dengan cepat di atas markas pasien. Tempat special yang berisi arsip-arsip pasien rawat darurat. Berada di tengah-tengah lobi, di depannya terdapat pendapon pendaftaran itu. Seperti Rumah sakit pada umumya. Meski terdengar mewah.

Jamila lalu menatap jam besar itu. kemudian ia tersenyum pisau. Tajam dan menusuk. Dalam detik dan waktu itu dulu semasa SMA Jamila masih ingat apa yang sedang ia lakukan. Ia pasti mengganggu ibu yang sedang masak. Untuk siapa lagi kalau bukan untuk ayah dan anak satu-satunya ini. Masak tawes dan tahu dan daun sawi. Enak masakannya. Andai saja kala itu ibu bertahan, mungkin Jamila tak merasa risau dan rindu padanya sedalam ini. Ibu telah tiada. Ketika baru saja ia lulus sarjana.

Kemudian Jamila menunduk. Dilihatnya kopi panas menguap mbak aroma terapi. Di dalamnya kopi itu masih berputar, sehabis di minum oleh pembelinya. Meskipun tinggal setengah lagi. Jamila lalu memegangnya makin erat ,agar bisa merasakan panas dalam hawa kopi tersebut. Rasanya angin malam membuatnya kedinginan dan terasa sesak dada. Meskipun tidak punya penyakit serius, akhir-akhir ini ia mengetahui bahwa umur itu mahal. Ia punya gangguan atau kelainan sesak nafas, bukan asma.

Jamila teringat masa-masa SMA dengan sahabat-sahabatnya. Dan hubungan yang kandas dengan seseorang, yang akhir-akhir ini dipertanyakan keberadaannya yakni Yoga. Apa pria itu sudah menikah. Mengapa akhir-akhir ini Jamila sibuk dengan satu kata itu, menikah. Membuat perlahan Jamila melihat air matanya menetes pada kopinya sendiri. Siapa jodohnya kelak? Ia kemudian menyadari ia takut hidup sendiri. Sudah lama ia sendiri dengan keadaan kesepian, tiada apa-apa di hidupnya. Lalu Jamila menangis terisak dalam kebingungan sendiri.

Kenapa ayah, ibu kenapa aku seperti ini?

Jamila menatap langit-langit rumah sakit. Ia perlahan dapat mengontrol diri sendiri. Lalu meneguk kopinya habis. Tak beberapa lama, ia melihat berkelebat jas putih milik Kastara. kemudian Jamila menjaga jarak, ia tak mau dipertanyakan olehnya. Namun sia-sia, bapak itu mengetahuinya.

"Jamila!" Panggil Kastara, lalu ia menatap Jamila dari atas hingga bawah. Ia kemudian menyadari sesuatu, bahwa Jamila sehabis meneteskan air mata kesedihannya. Lalu ia perlahan melangkah lebih dekat. Dilihatnya sorot luka itu. Perlahan ia tersenyum masam seperti tak iklas.

"Kamu nggak apa-apakan?" Tanya Kastara membuat Jamila menatapnya dengan tatapan tak bisa dibaca. Lalu ia menggeleng menutupi kesedihannya sendiri.

Kastara memiringkan kepala menatap Jamila seolah pasien. Ia berpikir bahwa, mungkin gadis itu tengah dilanda kesusahan tingkat tinggi. Tak lama ia lalu mengangguk, percaya lalu ia menegakan tubuh agar proporsinya seimbang.

Perintah Kastara dengan kejam dan tidak punya hati, "Jamila! Sekarang kamu ke UGD bawa jas hijau kita. Kita akan cek kondisi bayi itu lagi. Berkat kita bayi itu akhirnya bisa membuka matanya. Paska magrib tadi." Kastara lalu berlalu ke posnya, untuk menyantap sandwich buatan istrinya. Niken itu mendatangi Kastara tepat ketika bel istirahat berbunyi.

Jamila menunduk tak percaya dengan perintah nyelekit itu. Sudah banyak sekali kesakitan Jamila, barang satu hari ini hanya karena Kastara. Lalu ia mendesah tak senang. Tak lama ia menatap lagi lobi. Rumah sakit di hari-hari begini nampak masih penuh. Pastinya Jamila butuh banyak tenaga untuk menangani semua ini.

Semangat!

🐨 🐨

Jamila tersenyum parau setelah sampai pada taksi. Ia baru-baru lari dari lobi, untuk naik taksi tersebut. Ia sudah lelah sekali. Peluh berkucuran di dahinya. Sekarang sudah pukul 10 malam. Perlahan jalanan mulai menenangkan suaranya. Begitulah Jakarta yang terdengar seharian, parau. Sudah saatnya Jamila ke rumah. Maka ia buru-buru memerintahkan supir taksi tersebut melaju.

Maka mobil pun melaju lambat-lambat, agar Jamila merasa tenang sedikit saja dari pekerjaan, yang memang tidak ada yang tidak lelah. Supir itu menatap Jamila dengan sorot kagum, kemudian ia menengok ke belakang,  ingin tahu dimana rumah gadis itu.

"Dimana, buk?" Tanyanya. dengan parau karena kelelahan.

"Di komplek Melati. Ada gang di depan sama tinggal masuk ke sana." Jawab Jamila sambil memijat kening. Kemudian supir itu mengangguk santai, tak lama ia kembali fokus pada laju mobilnya. Ia sangat menyukai momen itu, karena sebentar lagi ia akan pulang.

Jamila menyandarkan bahu pada jok, dalam hati ia mendesah sedih sambil berkata. Kapan ia beli rumah besar. Tiba-tiba kata itu terlintas begitu saja di benaknya, membuatnya malu sendiri karena masih sendirian.

Jamila tersenyum rapuh sambil memberikan bapak supir itu uang sepeser, lalu ia keluar taksi. Dan buru-buru mencari kunci rumahnya itu. Ia memasukinya sambil menghentak-hentakan kaki jenjangnya. Lalu ia duduk di sofa, tak lama ia membuka televisi nampak iklas internasional menghiasinya. Dalam hati Jamila bersyukur karena ia bisa kaya dengan gajinya, yang akan ia dapat sebulan lagi itu. Belum lagi penghasilan lainnya yang ia dapat dari operasi-operasi itu.

Keren!

Jamila merasa aus. Lalu ia menyimpan tasnya di atas kursi. Sedangkan dirinya membuka heels. Lalu ia mendatangi ruko, tempanya menyimpan banyaknya minuman-minuman segar maupun berakohol. Ia meneguk satu buah yogurt, membuatnya sedikit merasa nyaman dengan tumbuhnya yang sudah ternutrisi.

Ia lalu menari ria sebagai bentuk rasa bahagia, menjadi manusia hidup indah di Jakarta. Lalu ia kembali duduk di kursinya tadi, sambil menonton siaran yang bertema romansa-romansa kesukaannya. Tak lama ia bernyanyi ria lagu Better dari Meghan Trainor.

Selang beberapa menit lamanya terdengar bunyi dering teleponnya. Kemudian Jamila mengangkatnya. Nampak Kastara yang menjawab nomor itu.

"Kamu berangkat jam 10, Jamila!" Kata Kastara lalu berhenti di sana. Karena ia menurmtupnya sendiri. Jamila menyandarkan dirinya pada sofa dengan dalam. Kastara membuat moodnya yang ini hancur lebur. Entah bagaimana caranya ia melakukan hal menyebalkan itu.

...•o•...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!