Flamingo 3

...•o•...

"JAMILA!" Pekik ibu ketika melihat sosok yang membuka pintu rumahnya. Rumah kecil dengan warna biru-biru laut. Yaitu anaknya sendiri. Anak satu-satunya, yang teramat ia sayang . Dan teramat ia idam-idamkan masa depannya. Ia kemudian menghampiri Jamila, entah mengapa naluri ibunya hidup. Ia merasa anak semata wayangnya itu ada yang salah. Nampak terluka di bagian kepalanya.

Setelah mengetahui apa yang dilihatnya adalah luka yang sangat besar. Matanya membesar dan mulutnya ternganga dengan kaget. karena tidak mengerti alasan mengapa sang anak bisa berdarah-darah. Dengan keadaan rambut yang acak-acakan habis. Meskipun jejak-jejak air mata itu hanyalah jejak saja, ia dapat melihatnya dengan jelas. Ia menyadari bahwa Jamila ketakutan dan kesakitan. Maka ia memeluknya menenangkan. Sadar sekali anaknya butuh kasih dan sayang orang yang peduli terhadapnya. Siapa kalau bukan ibunya sendiri.

Jamila merintih kesakitan. kala dengan eratnya pelukan itu menghangatkan tubuhnya yang tiba-tiba terasa dingin, akibat peristiwa tadi. Ia menangis dalam pelukan itu. Merasakan kasih sayang yang tak biasa. Dan perasaan saling melindungi yang tak biasa. Pelan-pelan ia mulai mensyukuri kehadiran orang tuanya, yang tidak sempurna. namun kesempurnaan bisa saja runtuh, karena kesempurnaan itu sendiri.

"Kamu mau apa Jem?" Tanya ibu prihatin. Ia tidak mau bertanya inti. ia sadar betul bahwa Jamila tidak ingin mengulang-ulang masalah dan mencari orang salah. Hingga membuat banyak pertengkaran dan tersangka, yang membutuhkan banyak waktu untuk menyembuhkan luka.

Jamila menggeleng selagi bisa. kemudian ibu memapahnya duduk di kursi tamu, Jamila hanya bisa menurut. Ia sudah sampai pada pasenya, hampir tak sadarkan diri. Ia sudah hilang bisa paska duduk. Yang ia ketahui hanya ibu yang membelai rambutnya, dalam dekapannya.

"Ibu bawakan air hangat, ya. Biar ibu kompres. Kamu tidur aja Jem, disini." Kata ibu. lalu menidurkan Jamila pada bantalan kursi. sebelum ia membawakan Jamila air hangat itu dan bersiap-siap membuat kompresan.

Setelah ia sampai,

Jamila hanya ingat ketika ia minum air hangat. sisa waktu selanjutnya ia malah tak sadarkan diri. Ibu menatapnya yang tertidur itu dengan sedih. kemudian mencari bantuan tetangga untuk memindahkan anaknya ke kamarnya. Ia pun akan mengganti bajunya dan mengompresnya selagi tidur. Siapa tahu gadis itu meringis ketika rambutnya di buka.

Ia pun harus beli perban dengan perlengkapannya. Ia takut Jamila terkena infeksi dalam. Di bawa ke rumah sakit, ia sudah tak punya uang lagi. Uangnya hanya tersisa untuk biaya tambahan, sebagai uang ujian nanti. Ia berjanji luka itu akan sembuh dengan sempurna. Biar ia yang merawatnya dengan baik, agar Jamila tetap tersenyum dan ujian dengan sukses.

Fighting! Jamila!

🐨 🐨

Ibu menyatukan kedua tangannya. untuk berterimakasih pada tetangga yang sudah membantu, untuk mengganti baju Jamila. Tanpa bantuan mereka, Jamila akan kotor-kotoran dengan baju penuh darah. Ia juga menitipkan salam pada suami-suami mereka yang sudah membantunya, untuk membopong gadis ceroboh tersebut. Mereka hanya melakukan hal sama, kemudian menatap Jamila prihatin, yang tengah tertidur pulas sambil di kompres. di kasurnya yang berwarna putih terang, dengan motip bunga-bunga kuning. Kesukaan Jamila sekali. Ia gadis yang lugu dan ceria, dengan pergaulan yang dibatasi oleh dirinya sendiri. Ia cenderung boros dan suka membeli banyak sekali novel-novel youngadult, dari penulis-penulis yang sudah ia rangkum biografinya.

Novel-novel dengan uangnya sendiri itu tengah menderet di atas rak,yang berdiri di sebelah kasur empuknya. Ia menggunakan selimut tampak nyaman dan hangat.

"Kasihan Jamila, jeng. Digimanain sama temennya jeng?" Tanya salah satu tetangga, yang ikut merasakan perasaan sakit yang dirasakan ibu Jamila.

"Nggak tahu, mungkin bukan temennya jeng." Jawab ibu sambil mendesah, agar menengkan hatinya yang entah mengapa tidak sabar mendengarkan cerita Jamila prihal ini. Ia ingin memasukan pelaku asli pada penjara besi atau neraka.

"Sabar jeng!" Kata salah satu tetangga lagi, ia menganut tangan ibu agar sabar.

"Makasih, sekali lagi jeng!" Balas ibu.

"Siapa tahu itu ulah pacarnya jeng." Kata tetangga lain membuat ibu melotot tak terima. Tapi ia menyadari bahwa siapa tahu tebakan itu benar juga.

"Jeng jangan syuujon dong." Kata tetangga yang satunya lagi, tak suka pada tetangga satu itu. Lalu tetangga satu itu hanya menyengir, sambil menutup bibirnya yang gatal.

Kemudian para tetangga itu keluar kamar, sambil bersahut-sahutan untuk pamit ke rumah masing-masing atau kegiatan masing-masing. Mereka juga merasa bersalah dan berminta maaf sebab tak bisa menemani sampai selesai. Ibu hanya mengangguk. Setelah semua keluar rumah, baru ibu duduk di kasur Jamila sambil membelai pipinya Jamila dengan halus.

"Jamila maafin ibu, ya!" Kata ibu sambil menitikkan air mata tak tega.

Perlahan ia membuka rambut Jamila yang terluka itu. Lalu dilihatnya berlumuran darah yang sangat banyak. Kemudian ia menyusut air mata demi air mata yang keluar dari matanya, karena menangis. Ia lalu membersihkan lehai demi lehai rambut Jamila dengan elap basah, menggunakan air hangat. Lalu setelah selesai ia bisa melihat sebesar apa luka itu. Tidak terlalu besar untuk luka seperti tergores atau bekas terjatuh ini. Ada sebesar lingkaran pada baso bulat yang sedang, namun terlihat menghawatirkan karena luka dengan lumayan dalam.

Ia membuka beberapa rambut lain lalu dibersihkannya. Kemudian dielusnya kepala itu dengan bentuk bundar tersebut. Kemudian ia menempelkan perban dan antiseptik pada luka tersebut. Lalu setelah selesai dengan apik tersebut, ia keluar kamar, untuk melanjutkan kegiatan sebelumnya yang sempat ia tunda yaitu mencuci baju.

🐨 🐨

Jamila membuka matanya dengan samar-samar, kemudian terlihat samar-samar juga cahaya menembus kelopak matanya yang sayu tersebut. Lalu ia dapat merasakan nyeri secara perlahan-lahan, menghampiri bagian kepalanya. Kemudian ia dengan samar-samar pula, mengingat memori tentang Fendi tadi.

Jamila bersyukur karena ibu menangani lukanya dengan baik dan benar. Bahkan mengganti bajunya. Ia merasa baikan karena sudah diperban.

Jamila masih trauma, sehingga ia diam membisu ketika ia sadar segalanya. Lalu ia melihat jam pada dinding tersebut. Menunjukan pukul 3 sore hari. Ia lebih baik istirahat di rumah hingga malam, karena kepalanya masih berat dan belum dapat diangkat. Lalu Jamila menutup matanya, mensiasati momen menebarkan tadi.

Kepalanya itu tak pernah ia duga akan mendapat kelakukan tak senonoh dari ibu sahabatnya. Akan melukai bagian terpenting dalam hidupnya. Ia tak kuat menyadari bahwa ia tidak seberuntung biasanya. Ia menyadari bahwa Tuhan, tidak menjaganya dan malah memberikan ia cobaan yang berat ini.

Lantas, bagaimana bila ia tidak bisa sembuh dan sakit berkepanjangan. Ia pun menghawatirkan bahwa kepalanya mengalami cedera selamanya. Tapi yang terpenting baginya, apa ia masih dapat sekolah dan melanjutkan kuliah. Lagi pula cedera ini mungkin hanya sekedar cedera.

Tapi, apa ia masih bisa sekolah untuk materi pokok dan ujian nanti. Apa ia masih dapat bertemu Fendi? Kemudian pemikiran banyak itu membuat Jamila kesakitan. Lalu ia memutuskan untuk tertidur, sebab ia masih dalam tahap penyembuhan luka yang diperban.

•o•

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!