...•o•...
JAMILA memasukan buku-buku ke dalam ransel. Hari ini ia akan ke sekolah, untuk membawa buku-buku di perpustakaan yang ia tinggalkan di sana. sedikit referensi juga. Terdengar suara batuk-batuk ayah.
"Yah, Jamila iku Sttpn ya." Bujuk ibu ketika ia menyuapi ayah menggunakan bubur.
Jamila bersyukur dalam hati, pada akhirnya ibu menyetujui usulnya untuk membujuk ayah. Meskipun di raut wajahnya ibu tidak setuju seperti dulu. Ia seperti menakutkan hal yang belum tentu akan terjadi. Tapi Jamila tetap kekeuh. Ia ingin menjadi orang yang dihargai ketika ada reuni SMA. Bukan sombong, apa salah jika cita-citanya memang demikian. Ia sudah membuat main maping.
Ayah nampak terdiam. Jamila menyatukan telinganya pada dinding, agar mendengarkan lebih jelas. Kemudian ia mendengar obrolan di luar rumah tersebut lagi.
"Nggak bisa ayah, nggak kerja." Kata ayah berbata karena berbicara saja sudah susah payah. Tapi nampak di suaranya yang bergetar itu, ia marah dan tak suka dengan permohonan tersebut. Ia masih saja sama. Tidak berubah. Tidak pernah merasakan apa yang dirasakan oleh Jamila. Pikir Jamila.
"Tapi, bukannya baik untuk kita yah. Kita bisa lihat dia sukses. Ayah harus bekerja keras lebih dong." Kata ibu. Ayah kemudian berbatuk parau, sebelum terdengar suara pecahnya piring yang dibanting oleh ayah sendiri. Ibu lalu menjauh dari kursi rodanya ayah, sebab takut dengan tatapan mata yang berkilat dari kedua mata ayah yang marah besar, sebab dibantah.
"Kenapa kamu sok tahu!?" Tanya ayah galak. Rahangnya mengeras. Ia lalu mendekati ibu, ditatapnya mata ibu dengan tatapan mata berkilat itu.
"Aku sayang padamu pada kita semua." Jawab ibu sambil menutup mata, ketakutan luar biasa. Memang sudah biasa melihat ayah sedemikian rupa adanya, tapi ia tidak pernah berani. Ia selalu lemah dan kalah termasuk Jamila.
"Bagaimana jika dia kenapa-napa?!!!" Tanya ayah galak, kali ini malah berterika-riak lantang. Meskipun sedang sakit, ia masih bisa marah, keadaan itu perlahan membuat air mata Jamila terlinang. Selama ini ayah selalu saja seperti itu, meskipun ia sedang sakit. Rasanya sakit melihat ia demikian, Jamila.
"Di sudah kenapa-napa karena ibu-ibu itu, Marya!!!" Teriak ayah. Sambil menunjuk-nunjuk ibu dengan kedua jarinya, yang diberi cincin akik yang mengkilat. Ibu kemudian menggeleng lalu bersila di bawah kaki ayah.
"Yah, aku ngerti tapi kenapa?" Tanya ibu rintih dengan terluka.
"Aku tidak mau usaha terlalu keras untuknya. Dia bukan orang yang membantuku kerja. Atau melayaniku, dia hanya anak terlahir dari keluarga miskin seperti kita!!!" Kata ayah mengebu-ngebu, emosi mengkilat. Kemudian terdengar bunyi decitan pada roda dua ayah. Ia membawa sepedanya ke dalam rumah.
Ibu lalu mengejarnya dan menghentikan langkah itu. Kemudian ia memohon sekali lagi, agar direstui. Baginya tak salah jika Jamila ingin kuliah, siapa tahu ia dapat membiayai hutang sekolah, dan kuliahnya suatu saat nanti terutama pada orang tuanya yang ringkih ini.
"Kumohon!!!" Kata ibu kali ini lebih menantang. Kemudian ayah menatapnya lembut, meskipun ia masih di lahap emosi tadi. Kemudian ia memeluk ibu dengan kedua tangan yang masih bisa ia gunakan.
"Jika aku sembuh, Marya." Kata ayah pilu. Ia tak sadar memegang paru-parunya yang terlalu banyak alkohol dan rokok dari warung buk Uni. Bahkan disaat semua salahnya buk Uni, dia tidak sama sekali bertanggung jawab dan menjenguk ayah. Ayah mengakui dan menyesal dengan itu.
"Jangan bilang gitu. Kau masih muda, lihat anakmu baru SMA!" Kata ibu sambil menyusut air matanya. yang perlahan kering karena emosi ayah sudah membaik.
"Janji, padaku, Marya kamu akan bahagia dengan Jamila." Kata ayah membuat ibu dan Jamila melongo, kemudian mereka menggeleng tak percaya atas landasan, mengapa ayah dapat mengatakanya.
"Jika kau tak mau ayah tidak apa-apa. jangan mengigau." Kata ibu, sambil menutup wajahnya resah.
"Ayah, ijinkan. Bilang padanya, aku akan bantu, dan usahakan sampai dia sukses." Kata ayah pelan lalu ia berlalu ke kamar. Kemudian terdengar gunjingan pintu, di tutup dan dikunci yaitu pintu kamar ayah dan ibu. Yang ada di depan dapur masak.
Jamila menyusut air matanya, yang turun tanpa ia sadari, lalu ia dengan cepat keluar kamar, kemudian dipeluknya ibu tersebut. Ia tidak menyangka hal tersebut bisa terjadi.
"Makasih Tuhan." Ucap Jamila lirih.
🐨 🐨
Jamila menatap laptop yang merupakan laptopnya Fendi. Entah mengapa Fendi malah ikut ke sekolah juga, mana menunggunakan seragam lagi. Dalam hati Jamila sedikit kesal, sebab pria itu selalu saja ada disaat ia butuh bantuan dalam hal tersulit. Ia jadi kesusahan mencari cara, agar membayar hutang budinya sendiri. Terimaksih Fendi karena sudah menemani.
Kemudian Jamila menatap Fendi yang sedang mencari buku sains. Ia sedang mencari buku yang mencatat logika, dan perhitungan pada tematik. Di dalam sains memang lengkap.
Tak lama kemudian Jamila menatap hordeng pada perpustakaan ini. Perpustakaan yang masih di jaga tapi meski jarang-jarang pelajar kini mampir ke perpus. Jika bukan karena ingin berasik-asik dengan buku terbaru atau belajar dengan pokus. Pikiran Jamila kelayaban, sebab ia mendengar suara riuh di luar perpustakaan mungkin di kelas 3. Ia kemudian menjauhi laptop, lalu menuju jendela untuk melihatnya. Ternyata benar rupanya. Ia lalu memanyunkan bibir. Melihat mereka hanya sibuk dengan hp terbarunya.
"Jem!" Panggil Fendi pada Jamila, membuat gadis itu menoleh padanya ,kemudian nyengir kuda ketahuan nguping pembicaraan orang.
"Kemari!!! Kita kan harus fokus!" Kata Fendi sambil melambaikan tangan ,untuk Jamila duduk di tempatnya semula, di dekatnya. Kebetulan mereka hanya berdua di perpustakaan. Untung saja momen berdua dengan romantis ini,terjadi di luar jadwal sekolah alias hari Minggu. Tak ada yang akan mengobrolkannya lebih dari cukup. Jika pun ada tidak mungkin.
Jamila kemudian menuruti perintahnya sambil melihat laptop. Berderet jadwal materi yang harus di hafal detik itu juga. Jamila menggeleng tak sudi. Jika diperhatikan, ia harus membaca buku sekitar 10 mapel lagi. Hebat sekali.
Fendi lalu geleng-geleng. Tak lama ia bersuara dengan merdu, "Jem kamu bisa kan?" Tanyanya.
Jamila menyergit tak mengerti. Tapi ia menjawab dengan tidak tahu apa-apa, "Bisa. Maksud kamu ujian. Siap-nggak-siap sih." Katanya, seadanya.
"Ya udah. Padahal maksud aku itu kamu nggak akan pingsan di pengujian, karena sakit misalkan." Celetuk Fendi.
Jamila tersadar bahwa diam-diam Fendi masih merasa bersalah. Jamila lalu mencubit pinggangnya sambil menjelaskan, "Aku nggak kenapa-napa karena kamu."
Fendi menjengit tak lama ia menunduk lesu sambil berkata, "Sorry ibuku kala itu ..." Ia tidak mampu menjelaskannya. Malu dan resah membanjir isi hatinya.
"Tenang aja, Fen. Aku ngerti kok, nggak ada kesempurnaan dalam kehidupan." Kata Jamila pelan namun menenangkan. Fendi menatap Jamila seolah mendapat sinyal positif, lalu ia menunduk lagi untuk kedua kalinya.
"Dia direbut plakor Jem. Sorry baru bilang sekarang. Kamu mungkin ngira bahwa aku induksif tapi aku sebenarnya pemalu." Kata Jemi jujur dalam lingkaran dangkal yang susah ditebak.
"Udah. Tenang aja."
"Sorry!"
"Gue maafpin kok."
...•o•...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments