Flamingo 4

...•o•...

JAMILA tak berhenti mendengus, dengus seolah ia baru saja mendapat perlakukan tak mantap. Tapi memang begitu faktanya. Oleh ayahnya sendiri. Ia memanyunkan bibirnya kedepan, lalu ia menggerakkan bibirnya tersebut, sehingga mirip dengan orang yang kelelahan dengan hidup. Jika memang benar. Jamila sangat kesal dengan sistem pikiran ayahnya sendiri. Sehingga hal-hal tak penting selalu menjadi masalah besar di rumahnya.

Memangku beban seberat tasnya yang berisi buku-buku mapel memang berat. Dengan kondisi tak stabil sepertinya sekarang rasa-rasanya copot tulang belulangnya. Tapi ia tetap berjalan untuk sampai pada tujuan lebih cepat. Warna tas yang orange, nampak butut ketibang tas-tas mahal yang digunakan cewek-cewek lain. Dapat dikatakan memang masa SMA Jamila tidak terlalu menyenangkan. Lihat saja dasi dan pentopelnya seolah tak pernah berubah dari kelas 2 lalu. Iyue.

Orang-orang yang ada di sekolah yang melihat kehadiran Jamila, menatapnya keheranan dan penuh tanya, mungkin karena perban ini. Jamila hanya menunduk sebagai bukti bahwa ia tidak mau dipertanyakan, atau memedulikan kondisi mereka. Ia sengaja datang ke sekolah dengan alasan ingin tetap belajar. Tapi karena menyebalkannya sang ayah, dia menolak dan memakinya terus-terusan. Bahkan hampir-hampiran melakukan hal sama, sebab Jamila minta uang untuk les tunggal. Tapi ia tetap tak memberikan, meski ia sendiri sadar luka ini disebabkan karena tidak diberikan uang untuk les tunggal.

Setelah Jamila tepat berada di depan kelasnya. Ia menatap pintu kayu itu dengan perasaan senang. Ia tidak perlu cape-cape memaku beban lagi, termasuk pusing karena efeknya. Sebab sudah sampai pada tujuannya.

Lalu ia masuk kelas di sambut dengan Mimi, sahabat Jamila yang sipit mbak putri cina. Kemudian Mimi menganga, takjud melihat kepala Jamila itu, yang diperban dengan kencang, mengelilingi kepalanya dengan lebar. Lalu Mimi memeluk Jamila. Ia sempat tak percaya dengan cerita yang dipaparkan oleh Fendi tadi, tapi melihat ini cerita Fendi itu ia percaya.

"Jem!" Lirih Mimi khawatir.

"Nggak usah khawatir." Kata Jamila.

Kemudian Mimi melepaskan pelukan dan membantu membawa tas Jamila, untuk ke bangkunya. Lalu Jamila tersenyum rilih pada Mimi, bentuk terimakasih. Memang tidak seharusnya ia sekolah, pastinya di sekolah ia hanya menjadi orang merepotkan saja. Tapi Jamila sudah di sini, tidak mungkin pulang lagi. Jamila harap orang-orang yang terkena imbas nanti tidak marah. Seperti Mimi ini.

Kemudian Jamila mengikuti Mimi ke bangkunya sendiri. Mimi memang teman sebangkunya. Di sana pasti ia sibuk merintih, merasakan perih mendadak dari luka tersebut. Ia pun sempat berselisih pandang dengan Fendi. Fendi hanya menggigit kuku, belum bisa melakukan apapun. Ia mungkin masih shok.

Tak lama pelajaran dimulai. Meski dengan keadaan begitu Jamila masih pintar, materi baru itu Jamila cerna dengan lumayan baik. Jamila harus siap menghadapi ujian satu bulan lagi. Harus siap ujian sttpn yang diselenggarakan di pusat kota Tangerang. Harus siap kuliah. Harus siap menghadapi ayah yang menentang keras Sttpnnya.

Yang jelas Jamila harus lulus terlebih dulu.

🐨 🐨

Satu bulan kemudian

Jamila membuka matanya, ketika cahaya senja masuk pada cela-cela tidur indahnya. Ia kemudian celenguk-celinguk ke kiri dan kanan. Memastikan pukul berapa saat ini. Namun cahaya kuning pertanda bahwa ini sore bukan pagi. Nampaknya pukul enam hari. Ternyata ada benarnya. Jam yang ada di dekatnya tersebut, menunjukan tak kurang tak lebih dari jam enam. Begini tampangnya. 18.20 WIB.

Telinga Jamila berdengu seperti sebuah petikan sinar gitar A. Lalu perlahan jemarinya tersebut menyentuh kepalanya yang sudah sembuh. Kemudian ia menyadari, bahwasetelah perbannya di buka ia terlalu banyak gerak. Hampir karena gerakan refleks yang berlebihan, telinga dan kepalanya memanggil dengan senarnya persis seperti orang Persia. Tapi ia tetap semangat dan tidak memperpanjang masalah. Tapi ayah selalu saja mencari cara, agar bisa membalas perbuatan ibunya Fendi.

Fendi dan Jamila baik-baik saja. Tapi Fendi menghindar tanpa sebab. Sempat Jamila merasa bersalah, dan mengalahkan dirinya sendiri, tapi rupanya yang salah itu adalah Fendi. Ia menjauh dengan alasan takut menyakiti Jamila. Ia bahkan rela dibopong ke polisi. Sudah Jamila bilang padanya, bahwa ia tidak memperbesarnya. Namun pria itu malah sedikit menjaga jarak ,meski ia sudah dirayu-rayuan agar percaya.

Yang jelas lusa adalah hari besar ujian, something just like this!

Pelajaran pertama adalah IPA

Kedua Indonesia

Ketiga Inggris

Keempat Sastra Sejarah

Kelima Sosiologi

Keenam Matematika

Ketujuh Seni Budaya

Sekilas Jamila tidak ikut les, ia hanya Mabel online di pengonlinenan di kota jauh dari rumahnya. Itu sudah membantu, itu pun dibiayai oleh ayah. Detik-detik menebarkan ini ayah berguna. Tapi entah mengapa, ia merasaan tak enak merayap ke dalam benaknya. kala menyadari hal tersebut. Hingga saat ini masih saja menghantui. Jamila tak berhenti bertanya-tanya, apa dibalik alasan tersebut. Tapi Jamila selalu ikhtiar, itu bukan masalah lain yang datang pada keluarganyai.

Jamila kemudian terduduk. Lalu ia menjejakkan kaki ke teras. lalu ia berjalan tergopoh-gopoh ke pintu masuk dan keluar. Kemudian terdengar suara batuk, sakit sekali terdengarnya. Jamila menunduk lesu. Mengingat hal tersebut.

Setelah seminggu ini ayah sakit parah. Paru-paru yang menggerogoti jantungnya dengan ganasnya semakin gencar. Membuat ibu dan Jamila was-was. Setiap hari setelah kejadian tersebut, ayah sering batuk-batuk darah. Ia bahkan sudah tak kuat kerja. Beberapa hari yang lalu sempat sembuh, dan kerja. Ibu yang kerja saat ini. Setiap hari berangkat shubuh, untuk melunasi hutang-hutangnya ke sekolah dan makan. Sekilas Jamila tak rela melihat ibu menderita. Sebab dari dulu ayah tak pernah bisa membahagiakannya. Ia sangat ngatur dan galak. Termasuk pada Jamila. Sudah banyaknya ia menampar ibu dan anaknya sendiri.

Mengingat hal tersebut Jamila merasakan nyeri mendadak pada dadanya. Nyeri sekali. Ia sudah lelah mendapat banyak masalah. Tapi melihat sang ayah sakit-sakitan ia tak terima. Ia merasa merasakan sakit yang dirasakan ayah. Tak lama ia terduduk di teras, menangis meratapi hidupnya yang malang.

Jika suatu saat nanti, bagiamana dengan kuliah dan masa depannya? Apa ia hanya ditakdirkan menjadi gelandangan tak berguna.

Pikirnya tajam.

...•o•...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!