Calli dan Liam segera berlari setelah mendengar suara Arlova menjerit. Mereka masih berada di lantai bawah, Calli dan Liam segera menuruni anak tangga.
Liam mengikuti langkah Calli yang masuk di sebuah ruangan yang memang menjadi kenangan tersendiri bagi Calli. Kedua anaknya, sudah masuk di sana dengan rasa penasarannya.
“Arlo kenapa sayang?” tanya Calli, Arlo sudah terduduk di lantai dengan Arlova yang terisak.
Tangan Arlo tidak sengaja terkena pecahan kaca, ruangan itu gelap tanpa ada pencahayaan. Liam berusaha menghidupkan, namun tetap saja lampu tersebut masih saja mati.
Liam menggendong Arlo ke ruang tamu, sedangkan Calli membantu Arlova yang masih menangis. Calli memeluknya, mengusap-usap punggung bagian belakangnya.
“Tidak apa-apa sayang, itu hanya luka kecil. Arlo itu Kakak yang kuat, Arlova tidak perlu khawatir,” ucap Calli menenangkannya.
“Padahal Arlova sudah bilang jangan menyentuh benda sembarangnya, jadinya Kakak menjatuhkan bingkai foto itu. Ta-tadi Arlova sudah bilang jangan masuk tempat gelap, Arlo kan takut kegelapan, Ma. Gimana kalau Kakak masuk rumah sakit?” sahut Arlova yang masih terguncang.
“Makanya sudahi Arlova nangisnya, kita lihat Kakak sekarang, yuk.” Calli menggendong Arlova yang masih menyembunyikan wajahnya enggan melihat Arlo.
Begitulah namanya Adik dan Kakak, seringnya bertengkar akan ada kejadian yang menjadikan rasa kekhawatiran satu sama lain. Arlova yang memiliki sikap keras kepala seperti Mamanya, namun dia juga memiliki kepedulian yang tinggi.
Arlova juga sangat perasa jika ada yang melukai orang sekitarnya. Memang Calli tidak salah dalam mendidik kedua anaknya. Keduanya memiliki kelebihan masing-masing dalam menghadapi sesuatu.
“Apa lukanya dalam?” tanya Calli yang duduk di samping Arlo.
“Cuma tergores saja, cuma mungkin pedih. Makanya dia mengaduh kesakitan. Apa masih sakit Arlo?” tanya Liam memastikan.
Arlo menggelengkan kepala. “Tidak Papa, Arlo sudah baikan. Maaf, Arlo membuat semuanya khawatir,” balas Arlo.
Arlova sontak menoleh, dia turun dari gendongan Calli. Berdiri di hadapan Kakaknya dengan tatapan tajamnya. Padahal matanya masih memerah, sempatnya Arlova memukul pelan lengan Arlo.
“Lain kali, Kak Arlo dengarkan nasihat Arlova. Jangan cuma bisa bilang Arlova keras kepala. Lihat, siapa yang kesusahan kalau Kak Arlo ada luka?” ujar Arlova menyilangkan kedua tangannya.
Liam dan Calli saling tatap, menunggu jawab Arlo pada adiknya yang marah karena mengkhawatirkannya. Arlo mengedipkan matanya berkali-kali, bingung ingin menjawab pernyataan adiknya yang memang benar.
“Kakak, lihatkan. Adik sangat menyayangi Kakak, jadi sesekali dengarkan nasihatnya, ya. Kalian berdua harus saling melengkapi satu sama lain. Oke?” balas Liam menengahi keduanya.
“Baik, Papa. Kami akan mengingatnya,” ucap keduanya bersamaan, ditambah tangan hormat.
“Apa yang membuat kalian ingin melihat ruangan itu?” tanya Calli.
Mereka berpikir, ada daya tarik untuk mereka memasukinya. Ruangan tanpa cahaya, terkhusus Arlo yang terpaku ketika melihat remang-remang ada piano besar di hadapannya. Makanya, dia ingin tahu.
“Arlova hanya mengikut Kak Arlo saja Mama,” balas Arlova.
“Arlo tadi melihat ada piano di sana, tapi tidak sengaja memecahkan bingkai fotonya. Arlo takut Mama marah, makanya Arlo cepat-cepat ingin membersihkannya. Akan tetapi, tangan Arlo terkena kaca yang lancip,” jawab Arlo yang merasa bersalah.
Sebenarnya tempatnya tidak terlalu gelap, hanya karena tidak terkena sinar matahari saking tertutupnya. Membuat pencahayaannya berkurang, apalagi Arlo yang takut dengan gelap pasti membuatnya ragu-ragu melangkah.
Mereka kembali melihat-lihat, hanya sebentar setelah itu mengajak kedua anaknya pergi ke pusat perbelanjaan mainan. Calli setuju saja, memang kebahagiaan kedua anaknya sudah menjadi kewajibannya yang harus dipenuhi.
“Sudah puas? Kalau belum adakah yang mau kalian beli kesayangan Papa?” tanya Liam pada kedua anaknya.
“Arlova sudah Papa, kata Mama kita harus menggunakan uang dengan bijak, enggak boleh boros,” jawabnya.
Arlo meliriknya. “Padahal yang dibeli Arlova sangat banyak, tangannya penuh dengan bawaan,” balasnya langsung mendapat tatapan tajam dari Arlova.
Arlo memang benar, Liam dan Calli hanya bisa pasrah saja menghadapi kedua anaknya. Tidak ada satu haripun yang membiarkan kedamaian Arlo dan Arlova.
Mereka sedang berada di perjalanan pulang, ponsel Liam berbunyi bukan karena adanya panggilan maupun notifikasi pesan masuk. Bunyinya tanpa pengingat bahwa akan ada sesuatu yang akan dia kerjakan bersama Si kembar. Apakah pekerjaan yang akan mereka sibukkan?
...***...
Malam harinya, kamar Calli sangat sepi. Liam yang berada di kamar kedua anaknya yang tidak kembali. Padahal sudah sejak matahari terbenam, Calli gelisah sendirian. Melihat ke atap, ingin sekali menyusul ke sana.
Calli yang sudah beranjak dari tempat tidurnya, mengurungkan niatnya. Dia malas kalau hanya bersikap manis dengan Liam di depan kedua anaknya. Mana sekarang, dia harus menepati janji yang telah dia buat bersamanya.
“Kenapa juga janji-janji kemarin? Liam pintar sekali menemukan cara yang tepat memecahkan masalah. Bahkan, Mama bisa dia temukan dalam waktu enggak sampai sehari. Liam bukan cenayang, kan?” ucap Calli lirih.
Calli memilih memejamkan matanya, kelamaan tertidur lelap. Liam yang tidak lama menghampirinya, membenarkan selimut Calli yang tidak dia kenakan.
“Kalau dilihat saat tidur, mukanya kayak anak kecil yang polos. Coba kalau sudah bangun, tidak bisa berkata-kata muka judesnya.” Liam membelai pucuk kepala Calli.
Keesokan harinya, Calli yang tanpa jadwalnya bermalas-malasan di atas kasur yang selalu menariknya untuk tidak meninggalkannya. Tempat ternyaman bagi kaum rebahan.
“Liam jemput anak-anak dari tadi kok belum pulang, ya?” tanya Calli yang memeriksa jam di dinding.
Menjelang waktu sore, Calli baru dihubungi Liam agar bersiap-siap untuk menyusul keberadaan Si kembar. Mereka sedang berada di rumah neneknya, muka masam Calli saat merias wajahnya, menampakkan ketidaksenangannya.
“Mereka kenapa enggak bilang dulu kalau ke tempat mak lampir itu? Males banget harus ketemu lagi!” ujar Calli mendengus kesal.
“Kamu rapi banget?” tanya Calli melihat Liam mengintip dari balik pintu.
“Nanti mau ketemu seseorang jadi harus full sempurna. Kita mampir ke rumah Mama kamu, ya. Ada barangku yang ketinggalan,” pinta Liam.
“Bisa-bisanya kamu ceroboh.” Calli mengambil tasnya lalu pergi.
Ketika sudah di depan rumah, Calli tetap diam berada di dalam mobil. Liam menghela napasnya. “Kamu harus ikut,” ujar Liam merengek mengetuk-ngetuk kaca mobil.
Dara membuka pintu dengan kasar. “Manja banget, sih. Melebih Arlo sama Arlova aja.” Calli berjalan dengan mengomel.
Liam pelan-pelan membuka kunci, ternyata keempat orang yang sudah menantikan di dalamnya sudah siap memberikan kejutan.
“Happy Birthday, Mama hebat kami!”
Ada Arlo, Arlova, Lana, dan Rengganis dengan pakaian serba putih. Kue ulang tahun yang sangat lucu lilin berangka 27, atasnya ada empat orang yang melambangkan keluarga kecilnya.
Calli masih terkejut dengan pandangan yang sangat mengharukan di depannya. Dia menutup mulutnya, saking tidak mempercayainya. Dia saja tidak mengingat hari kelahirannya, makanya Amar membatalkan pertemuan hari ini.
“Mama … jangan menangis, Mama harus tersenyum. Ayo! Kita masuk dan merayakannya, ada kejutan lainnya yang akan Mama suka,” ucap Arlova sambil menggandeng tangan Mamanya.
Mereka semua masuk, Calli berada di tengah dengan menengadahkan tangannya membuat permohonan, lalu meniup lilinnya. Selanjutnya mengambil foto bersama.
Liam dan Arlo maju, semua orang duduk dengan menikmati hidangan di atas meja. Arlova mengambil sesuatu ke dalam, dia sudah menyiapkannya sejak lama. Bisa dibilang, Arlova yang sangat mengingat harinya Calli yang spesial.
“Apa yang akan kalian lakukan di depan sana?” tanya Calli yang merasakan bahagianya berkali-kali lipat.
Rengganis yang biasanya dingin, menutup mata Calli dengan kain. Dia mendekatkan bibirnya pada telinga Calli.
“Saya terpaksa melakukan ini, kedatangan saya karena bujukan kembar. Jangan berharap saya sudah menerima kamu,” bisiknya yang membuat Calli sontak mengepalkan tangannya kuat.
Lana yang mengambil alih badan Calli, menuntunnya untuk duduk di kursi yang telah mereka persiapkan. Calli menunggu, Arlova sibuk membuka lukisannya yang ada beberapa lembar.
Petikan gitar Liam mulai menyegarkan pendengaran, amarah Calli meredup kala suara Arlo menggema di ruangan itu. Lagu ini mereka ciptakan khusus untuk Mamanya. Penutup mata itu dibuka, Arlova tersenyum membawakan lukisan yang dia gambar dengan tangannya sendiri bangga.
Kedua kalinya, Calli meneteskan air matanya. “Mama, cahaya paling terang di bumi ini, cintanya hanya untuk Arlo dan Arlova,” ucap Arlo mengakhiri lagunya.
...----------------...
Terima kasih telah membaca karya ini.
Mohon dukungannya dengan memberi like, vote, subscribe, dan beri ulasan💜
^^^Salam Hangat^^^
^^^Cacctuisie^^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments