“Liam, jawab aku jangan malah senyum-senyum kayak orang gila.” Calli memukul bahu Liam.
“Lihat saja nanti, kita sesuaikan dengan suasana hatiku. Aku akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan panggilan sayang dari seorang Calli,” balas Liam ringan mengatakannya.
“Kalau begitu biar aku sendiri saja, kamu memang sudah sakit,” jawab Calli yang malah kesal.
“Bercanda sayang, enggak mungkin aku melakukan hal sehina itu. Pasti ada kelemahan yang bisa menjadi celah untuk kita membuat mereka sadar,” ujar Liam.
Di perjalanan yang seharusnya menuju pulang, ditemani dengan lagu Liam. Musik bernuansa romantis itu, memberikan arti ungkapan seorang lelaki yang sangat mencintai wanitanya. Dua orang yang saling peduli, harus menahan rindu lantaran perpisahan untuk mewujudkan mimpi. Tanpa sadar, Calli baru memahaminya padahal Liam sejak tadi melirik ke arah Calli.
“Kenapa harus lagu ini? Kayak gak ada yang lain aja,” sindir Calli.
Liam menoleh sejenak lalu fokus lagi menyetir. “Aku mau nostalgia, aku pernah mengalaminya. Bodohnya aku meninggalkan wanita yang jelas-jelas juga menyukaiku. Bahkan, aku sempat meninggalkannya tanpa tahu dia sedang mengandung anakku,” ungkap Liam tulus.
Calli menatapnya dengan tatapan tajam. “Ini juga mirip seperti kisahku. Pria itu berdalih tidak mengingat perbuatannya saat aku mengatakan fakta untuk pertama kalinya. Sialnya, dia sekarang menjadi suamiku, mana sangat memaksa untuk mencintainya lagi. Bukankah sangat tidak adil? Padahal aku setuju hanya untuk kebaikan kedua anakku,” sindir Calli yang tidak mau kalah.
Kedua pasangan ini malah beradu nasib, masa lalu yang seharusnya menjadikan hubungan mereka baik. Ini menjadi terbalik, Calli yang merasa sangat tersakiti dengan perbuatan Liam, meskipun saat itu dalam keadaan tidak sadar. Apalagi mengingat Mamanya yang memohon habis-habisan pada Calli untuk menutup mulutnya, agar Liam menggapai mimpinya.
“Bisa sama lagi kisah kita, aku juga merasa terkejut, Tiba-tiba dia menangis dan memukulku, bilang bahwa aku mempunyai anak dengannya. Tidak ada niatan untuk menolaknya, tapi karena terlalu mengejutkan pertemuan awal mendapati ceritanya sudah memiliki anak. Setelah sekian lama, bukankah waktu itu aku yang ditinggalkan di sebuah hotel? Aku kebingungan siapa yang telah membawaku?” balas Liam lagi.
“Bisa banget alasannya, jadi males banget. Kenapa samaan terus?” Calli mengalihkan pandangannya ke luar jendela.
“Loh, ini bukannya jalan ke rumah kamu? Mau ngapain?” tanya Calli membelalakkan matanya.
“Ada yang mau aku ambil, sebentar saja. Kamu kalau enggak mau masuk, di dalam sini saja.” Liam menunjukkan dalam mobil maksudnya.
Calli tidak ingin ditinggalkan sendiri, terpaksa dia mengikuti langkah Liam. Aslinya, Calli sangat berat hatinya harus memasuki rumah mertuanya. Menurutnya, meskipun rumah ini sangatlah mewah, namun ada mertuanya menjadi suram.
Rengganis sedang menyiram bunga, tidak menyangka jika anaknya datang tanpa berkabar terlebih dahulu. Melihat ada seorang wanita dibelakangnya, membuat raut wajahnya berubah. Dari tersenyum menjadi sinis dan tatapan tak sukanya sangat terlihat jelas. Calli yang tidak nyaman, hanya bisa memaksakan senyumnya yang kaku.
“Kamu kenapa enggak bilang dulu mau ke rumah, Mama bisa menyiapkan makanan kesukaanmu, Liam?” tanya Rengganis yang hanya memperhatikan anaknya.
“Liam hanya mampir sebentar, Ma. Kamu mau ke dalam apa mau ngobrol sama Mama?” Liam memberikan pertanyaan pada Calli.
Pertanyaan itu sebenarnya tidak perlu ditanyakan, Lim sangat tahu bahwa keduanya sangat tidak akur. Dia sengaja agar keduanya bisa berbicara berdua. Ini tujuannya yang terlintas dalam pikirannya.
Calli lama mempertimbangkannya. “Aku tinggal saja, kamu bisa ngobrol sama Mama dulu, ya.” Liam benar-benar membuat Calli kesal.
“Aku mau ik …,” ucapan Calli belum terselesaikan, Liam sudah meninggalkannya.
“Dasar Liam, mana bisa aku ditinggal bersama Mak Lampir bermulut pedas ini!” batin Calli menatap Rengganis.
Rengganis yang masih memegang alat penyiram tanaman dihadapannya memiliki pemikiran untuk melakukan hal yang tak pernah ada sebelumnya. Dengan sengaja, Rengganis mengarahkannya pada Calli.
“Ya ampun, maaf-maaf Mama tidak sengaja,” ujar Rengganis melepasnya selang yang di pegang.
Calli menganga memperhatikan dirinya yang setengah basah. “Harus begini ya, Ma?! Padahal dulu Mama mengatakan bahwa akan memberitahu Liam tentang kehamilanku. Nyatanya, sampai saat ini Mama hanya diam. Sekarang, aku sudah menikah dengannya tetap saja. Tidak ada perubahan dari sikap Mama yang seperti ini, aku juga terpaksa menikah. Hanya demi Si kembar, kalau tidak mana mau menjadi menantu di keluarga Mama!” bentak Calli dengan amarah menggebu-gebu.
“Mama sudah minta maaf, kenapa kamu malah marah? Ayo, kita ke dalam kamu perlu mengganti pakaian,” ajak Rengganis yang sedikit menciut mendengar ucapan Calli.
“Tidak perlu, katakan saja pada Liam bahwa aku menunggu di mobil.” Calli melangkahkan kakinya dengan cepat.
Liam yang mengintip di balik jendela, hanya bisa membuang napasnya kasar. Sulit sekali membuat dua orang ini menerima satu sama lain. “Harus menggunakan cara yang gimana lagi, ya?” gumam Liam yang beranjak mengambil kain untuk Calli.
“Kamu mau ke mana?” tanya Rengganis melihat Liam yang sudah keluar.
“Menyusul Calli, Ma. Liam pamit pulang dulu, Mama jaga kesehatan, ya.” Liam segera kembali ke mobil.
Dia melihat Calli basah dengan tatapan datar ke depan, Liam menutup badannya dengan kain yang dia bawa tadi. Liam membiarkan Calli tanpa kata, dia sangat mengerti mengapa perubahan suasana hati Calli bisa seburuk ini. Merasa bersalah, namun tidak sepenuhnya.
Sesampainya di rumah, Liam merasa sedikit kesal melihat mobil yang sudah dikenali terparkir di halaman rumah. “Pria tua ini lagi, sering banget ke rumah!” batin Liam merasa geram.
“Apa yang terjadi padamu?” tanya Amar khawatir.
“Aku ganti pakaian dulu, Kak.” Calli melewatinya.
Liam tersenyum simpul, ikut meninggalkannya. “Hampir setiap hari dia ke sini. Biasanya memang begitu?” tanya Liam pada Calli yang sedang mengambil baju.
“Aku malas ngomong, jangan ajak aku bicara,” balas Calli.
Selesai mengganti baju, Calli mendatangi Amar yang sudah duduk di ruang tamu. Calli mengambilkannya minum, lalu duduk di hadapannya. Liam yang menyimpan curiga, masuk ke kamar Si kembar.
Tugas orang yang sedang mengintip melalui celah pintu yang terbuka sedikit, melihat Amar dan Calli sedang mengobrol. “Parah banget, tadi marah terus. Giliran sama pria lain ketawa terus,” ucap Liam lirih.
“Papa cemburu?” sahut Arlova menengadahkan kepalanya untuk menatap Papanya.
“Untuk apa cemburu? Mama Calli itu hanya untuk Papa saja,” jawab Liam yang memanas hatinya.
“Arlova sebenarnya tidak menyukai Om Amar, tapi Om Amar juga baik. Jadi, sulit membencinya begitu saja. Tapi, kalau Papa butuh bantuan kami akan membantu Papa untuk mengusir Om Amar,” kata Arlova.
“Alasan Arlova tidak menyukai Om Amar, apa?” tanya Liam yang penasaran.
“Om Amar itu suka banget menggendong Arlova secara tiba-tiba, masalahnya bukan itu tetapi suka meletakkan kumisnya ke pipi Lova. Jadinya Arlova kesal,” ucap Arlova.
“Padahal kamu sering mendapat hadiah dari Om Amar, kalau enggak dapat lagi jangan nangis,” sahut Arlo.
Liam mendapat dua pernyataan dari kedua anaknya tentang Amar. Arlo bisa dikatakan menerima Amar, sedangkan Arlova beralasan tidak menyukainya hanya karena kumisnya yang mengganggu’.
Arlova yang sudah tidak sabar mengganggu Mamanya, menarik Arlo untuk ikut serta. “Mama lagi sibuk?” ucap Arlova yang duduk di sebelah Calli.
“Enggak sayang, Mama sudah selesai mengobrol dengan Om Amar. Ada apa?” tanya Calli.
Arlova mengkode agar Calli mendekatkan telinganya. “Mama kalau sudah selesai, usir Om Amar pergi. Kasihan Papa cemburu melihat Mama berduaan,” bisik Arlova.
“Benarkan, Kak Arlo?” Arlova ingin meyakinkan Mamanya. “Iya, benar sekali, Mama.” Arlo mengangguk-angguk setuju.
Liam yang masih memantau, mendapat tatapan tajam Calli dari kejauhan. “Aduh! Pasti ada yang enggak beres ini. Apa yang sudah mereka bisikkan pada Calli?” ujar Liam lirih menutup pintu perlahan.
...***...
Calli dan Liam berada di kamar Si kembar yang sedang bermain barang kegemaran masing-masing. Arlo mencoba memainkan gitar pemberian Papanya, sedangkan Arlova melukis dengan mengembangkan imajinasinya.
Calli yang melihat jam, sudah waktunya mereka istirahat. Besok seperti biasa harus bangun pagi. Keduanya menurut, merebahkan badan di antara Calli dan Liam.
“Mama, apakah orang yang cemburu itu artinya peduli dengan kita?” tanya Arlo tiba-tiba.
“Bisa iya dan bisa tidak, cemburu itu bisa mengarah pada dua hal yakni baik dan buruk. Kita bahasnya lain kali saja, ini sudah waktunya kalian tidur,” sahut Calli.
“Mama kapan memberi Arlova adik? Perut Mama masih rata, berarti belum ada bayinya, ya?” Arlova mengusap rata perut Calli.
“Masih proses sayangnya Papa, sementara menunggu Arlo dan Arlova harus mempersiapkan diri untuk menjadi seorang Kakak, ya?” ujar Liam.
“Pokoknya harus cowok ya, Pa,” pinta Arlo.
“Harus cewek, Arlova enggak mau kesepian,” balas Arlova menatap Arlo.
“Papa dan Mama akan berusaha memberikan kalian adik kembar. Jadi, sekarang tidur dulu ya jagoan-jagoan Papa,” ujar Liam menenangkan keributan mereka.
“Bisa menjanjikan, memangnya aku mau. Liam tidak tahu saja, bahwa sangat fatal menjanjikan sesuatu pada Si kembar. Bisa-bisa setiap hari akan mereka tagih,” batin Calli menggelengkan kepala.
...-------------...
Terima kasih telah membaca karya ini.
Mohon dukungannya dengan memberi like, vote, subscribe, dan beri ulasan💜
^^^Salam Hangat^^^
^^^Cacctuisie^^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments