Kabar Mengejutkan

“Kamu sudah gila! Ck, sejak kapan seorang Calli sangat mudah menyerah. Fine, lupakan masalah video kemarin. Aku akan memaafkan kesalahanmu. Anggap saja, ini juga permintaan maafku, karena tidak bisa datang di pernikahan kalian. Tapi, tolong jangan menyia-nyiakan kesempatanmu,” pinta Amar.

Calli tidak ingin menyulitkan Amar. Apalagi, harus memohon agar peran itu tetap diperuntukkan untuknya. Sudah cukup, Amar sangat berjasa dalam hidupnya.

“Kak, aku juga mohon. Hentikan merendahkan diri Kakak hanya karena aku, kali ini kesalahanku. Biar aku yang menanggungnya, mungkin peran itu bukan jodohku. Lagipula, aku belum ada persiapan mental untuk berada dikerumunan, energi seperti terserap habis untuk saat ini. Aku janji, setelah namaku baik kembali. Aku akan melakukan semua yang Kakak minta.”Calli memegang baju Amar dengan menarik-nariknya pelan.

Amar menghela napas kasar. "Aku tidak bisa lagi berkomentar, tapi jangan sampai ada penyesalan. Juga, sebaiknya kamu istirahat sejenak. Bukankah dunia sangat berisik untuk didengar saat ini?" sahut Amar.

“Hm, banget. Aku capek dengan cibiran yang kadang aku sendiri bisa mendengar secara langsung. Terlebih, mertuaku tidak membuka hatinya untuk aku. Padahal, aku tidak mengganggunya. Kalau cuma takut akan terpuruknya karir anaknya, tidak mungkin, lah. Di mana-mana, yang akan banyak menerima hujatan, tetap dilimpahkan pada perempuan.” Calli memutar bola matanya jengah.

Amar kembali, duduk. Mendengarkan keluh kesah Calli, bagi beberapa orang yang belum dekat dengan Calli, pasti akan beranggapan dia adalah wanita yang dingin dan keras kepala. Padahal, dia juga memiliki sisi lembut, namun karena lukanya di masa lalu, menutup semua sisi hangatnya terlebih kepada lawan mainnya.

“Bayangkan, aku ke rumah pria yang menghamiliku dengan sopan dan berharap mendapatkan sambutan hangat. Akan tetapi, Mamanya mengusirku secara paksa, bahkan sampai bersimpuh memohon supaya nggak ganggu Liam yang sedang mengejar impiannya. Dia pikir, hanya anaknya saja yang mempunyai mimpi, aku juga!” kesal Calli.

“Bahkan, aku belum memberitahu Mama, bahwa perutku sudah ada isinya, saking takut kalau Mama akan menendangku keluar dari rumah. Dugaan tidak pernah salah, Mama memaki dan memukul tanganku tanpa henti. Paham, Mama pasti kecewa tapi lebih menyakitkan diriku sendiri. Sudah terpukul, lalu dilempari batu oleh satu-satunya orang yang aku punya di dunia ini,” ungkap Calli.

“Sudah berapa kali kamu menceritakan ini? Aku nggak akan mudah terpengaruh, mentang-mentang sudah sangat mahir akting. Kamu mau mengelabui Kakak yang sudah lama mengenalmu, hah?!” Amar menjitak kepala Calli.

“Aduh! Sakit, Kak. Makanya, Kakak dengerin aku. Aku nggak mau Kakak lagi-lagi memohon. Sudah cukup, kita fokus dulu saja untuk mengembalikan nama Calli, aku juga tidak akan membiarkan orang itu tenang, awas aja akan aku balas dengan kejahatan yang sama!” tegas Calli.

“Nggak tahu, orang ini cerdik sekali. Aku yakin, kayaknya kamu mengenal orang yang menyebarkan foto itu. Selama ini belum selesai, jangan mudah keluar rumah. Bahaya kalau kamu tantrum, mendengar orang-orang mencibir secara langsung.” Amar menahan tawa mengatakannya.

“Nggak lucu! Masa tantrum, sih? Siapa juga yang nggak marah kalau dibilang cewek murahan? Anak haram? Terus tadi, Arlova berantem karena jarinya, memangnya anak-anak mereka di rumah nggak diajarin tata krama? Seenggaknya belajar etika, jangan cuma ngandelin di sekolah aja. Peran orang tua itu juga penting dalam mendidik anak!” Calli meninggikan suaranya.

“Untungnya, Arlova itu mirip sama kamu. Nggak mau ngalah sama sekali, jadi jangan terlalu khawatir,” balas Amar.

“Memang, harus itu. Aku nggak mau anakku ditindas dan hanya diam. Tapi sayang, Arlo belum bisa melupakan traumanya. Kadang, bukan Arlo yang bisa melindungi dirinya sendiri, tapi Arlova. Semoga Papanya nanti bisa membantu penyembuhannya.”

...***...

“Huh! Kenapa Om Amar ke sini?” tanya Arlova.

Amar yang baru saja masuk, langsung menuju ke arah Arlova yang sudah waspada akan menghindarinya. Langkah kecilnya tidak sebanding dengan Amar, pria itu menggendong Arlova paksa.

“Hayo, ngomong apa tadi, hah?! Kenapa, sih, bawaannya kesel terus sama Om?” tanya Amar.

“Om Amar, turunin Arlova. Nanti Arlova teriak, nih!” ancam Arlova sambil menggerakkan kakinya yang masih berada di udara.

“Tolong Arlova, Kak Arlo. Diem terus kalau adiknya kesusahan!” pekik Arlova.

Arlo baru bertindak, menarik-narik celana Amar dari bawah. Tenaga Arlo boleh juga, dia takut akan terlepas. Amar menurunkan Arlova.

“Kamu suka banget jailin Arlova, Kak,” tegur Calli dari dapur membawa buah yang sudah dipotong kecil-kecil.

“Iya, Ma. Om Amar ini, sama banget kayak temen Arlova. Nggak bisa tenang sekalipun.” Arlova berlari dengan menggandeng Arlo masuk ke ruang bermain.

“Mana Liam?” tanya Amar.

Kedatangan Amar ke rumah Calli tiba-tiba, ada hal penting yang ingin Amar katakan pada suaminya.

“Kayaknya di ruang latihan, dia lagi buat lagu katanya. Masuk aja, apa mau aku temenin?” balas Calli.

Amar mengangguk, Calli berjalan bersamanya mengarah pada keberadaan Liam. Calli menggelengkan kepala saat dirinya melihat suaminya, menghabiskan beberapa kertas yang telah berserakan.

“Sayang, kenapa nggak ketuk dulu, sih,” ucap Liam tanpa menoleh ke belakang

“Sayang-sayang, kayaknya kalian sudah sangat akrab. Padahal baru juga ketemu,” sahut Amar.

Amar langsung menoleh, sedangkan Calli menahan malu. “Biasanya nggak gitu, kok, Kak. Anggap aja tadi nggak denger apa-apa,” jawab Calli memegangi pipinya yang memanas.

“Maklum, dia belum terbiasa. Ada apa mencariku, Kak?” tanya Liam.

Amar dan Calli mendekati Liam, mereka duduk bersama di lantai. “Kok aku merasa tua banget, ya. Okelah, lupakan. Aku ke sini mau bilang, menyangkut pekerjaan Calli khususnya. Dalam bekerja, pasti saja ada orang yang iri dengki, melakukan apapun untuk menghancurkan kejayaan lawannya. Untuk Calli, kamu pasti masih mengingat Vanya, rekan kerjamu. Dia yang sudah memotret dan bekerja sama dengan seseorang untuk menyebarluaskan foto tersebut,” ungkap Amar.

“Sial! Wanita itu berani sekali mau melawanku. Apa masalahnya? Apa karena aku menolak permintaan pertemanannya? Sangat kekanak-kanakan sekali!” kesal Calli menanggapi Amar.

“Bagaimana kalau kita ungkap saja, bahwa kita sudah menikah sejak lama. Kita tidak mengungkapkannya lantaran ingin menjaga privasi masing-masing,”balas Liam.

“Kamu nggak nonton video klarifikasiku? Aku bilang kalau aku hamil diluar nikah, tiba-tiba bilang lagi sudah menikah? Kan, nggak masuk akal” sahut Calli.

“Kamu tahu, pernikahan kita ini bukan solusi yang paling tepat. Benar kata Mamamu, hubungan kita ini akan menjadi bumerang untuk karirmu. Menyakitkannya lagi, perkataan bahwa aku mengandung anak haram, bagaimana kalau Si kembar tahu. Pasti mereka sangat terpukul.” Calli pusing, menyisirkan rambutnya dengan tangannya.

Arlo yang hendak menyusul Papanya berlatih, mendengar percakapan mereka dari balik pintu yang tidak tertutup rapat. Dia pergi dengan langkah berat, dia tidak tahu pasti maksud pembicaraan orang dewasa di dalam sana. Namun, Arlo memiliki pikiran bahwa artinya tidak baik, apalagi waktu Calli mengatakan ‘anak haram’.

“Aku akan menerima semua konsekuensinya.” Liam menatap dan meraih tangan Calli erat.

...-------------...

Terima kasih telah membaca karya ini.

Mohon dukungannya dengan memberi like, vote, subscribe, dan beri ulasan💜

Jumpa lagi di episode berikutnya;)

^^^Salam Hangat,^^^

^^^Cacctuisie ^^^

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!