Berani Mengakuinya

“Kenapa harus kamu yang muncul?” tanya Calli.

“Maksud kamu? Aku hanya ingin menolongmu. Semua orang menatapmu dengan kebingungan, apa yang kamu lakukan?” tanya pria itu yang ikut bingung.

“Kamu tidak mendengar berita yang sedang beredar?” tanya Calli balik.

Liam Rhapsody, pemilik suara emas yang mampu menghipnotis pendengarnya dengan lagu-lagunya yang terkenal. Bagian dari masa lalu Calli yang telah lama dia hindari. Selama lima tahun berlalu, Calli hanya mampu mengawasinya dari jauh. Mendengar karya-karyanya yang luar biasa, terkadang dia juga menyanyikannya dengan versinya yang diiringi piano kesayangannya di ruangan pelampiasan lara.

“Biasanya kamu selalu profesional dengan pekerjaan, hujatan yang beredar mengenai film terakhir yang kamu perankan? Bukankah sudah biasa mendapatkannya, seharusnya kamu bisa mengendalikan emosimu,” ucap Liam sangat enteng.

Bukannya menjawab Calli malah menangis sesenggukan, Liam makin bingung. Tidak ada siapapun di ruangan itu, hanya mereka berdua. Calli membuang sembarang jas hitam yang masih menempel di kepalanya. Sesekali dia juga memukul dada bidang Liam pelan, dia hanya menerima perlakuan Calli. Apabila dengan melakukan itu dapat menenangkannya, Liam akan membiarkannya.

“Kamu tidak tahu apa-apa tentang aku, Kak Liam. Kamu tidak mengerti seperti apa kesulitan yang aku alami selama ini gara-gara perbuatanmu,” ucap Calli di sela-sela tangisannya.

Liam terkejut dengan perkataan Calli, dia memegang kedua bahu Calli. Menatapnya seolah bertanya apa yang terjadi.

“Kamu pasti nggak ingat apapun, kan? Hanya aku yang terluka, kamu menikmatinya saja!” Calli menjerit di depan Liam.

“Apa maksud kamu? Aku menikmati apa?” tanya Liam.

Calli tertawa hambar, air matanya masih mengalir. “Benar, kan. Lima tahun berlalu cepat untukmu, tetapi tidak denganku. Aku yang bodoh membiarkan badanku disentuh dengan pria sepertimu,” sahut Calli yang ambigu.

“Katakan semua, Calli. Aku nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi, lima tahun? Ada apa di tahun itu?” Liam yang bertanya berkali-kali.

Calli memukulnya lagi, bagaimana menyadarkan pria yang dihadapannya ini agar mengingat kesalahannya. Calli memegang puncak kepalanya, menjambak rambutnya yang rapi. Liam menghalanginya, namun dicegah dengan cepat. Dia tidak ingin mendapat sentuhan lagi dari Liam.

Calli menyeringai, bersiap menceritakan luka yang dia timbun sendirian. “Kamu mengingat reuni organisasi musik yang diadakan di Bali? Pasti kamu mengingatnya, kamu datang dan duduk tepat di hadapanku. Sebelumnya aku ragu ingin menghadiri acara itu, karena saat itu aku sedang latihan piano untuk perlombaan yang aku ikuti. Bujukan sahabatku, akhirnya aku datang. Kamu tahu selanjutnya apa? Jangan pura-pura tidak mengingat!” bentak Calli.

Liam menggeleng lemah, Calli menamparnya. “Dasar pria mesum! Kamu hanya berpura-pura baik kepadaku waktu itu. Aku yang hanya meminum minuman yang mereka sediakan, aku tahu isinya ada alkohol. Sengaja aku minum setetes saja, menghargai usaha mereka yang telah mengadakan reuni tersebut,” ucap Calli berhenti sejenak mengambil napasnya panjang.

Calli menunjuk Liam dengan tegas, tatapan tajamnya menyiratkan amarah yang sangat besar. “Kamu! Kamu meminum kedua gelas itu yang seharusnya kamu biarkan saja, semua orang pulang. Hanya tertinggal kamu yang sudah meracau, sisi kemanusiaanku tidak bisa meninggalkanmu, Liam. Malam itu, kamu merusak masa depanku. Aku tidak bisa melanjutkan impianku menjadi pianis, semua karena kamu, Liam!” ungkap Calli penuh emosi.

“Aku harus meninggalkan Mamaku, beliau tidak bisa menerima kehamilanku. Tinggal di kontrakan kecil, mengubur padat-padat impian yang sudah tidak bisa aku perjuangkan. Mamamu, juga menyuruhku menyembunyikannya, sampai kamu sukses di mata dunia. Akan tetapi, aku tidak pernah ingin muncul lagi,” jelas Calli.

Liam terdiam, semua yang didengar dari Calli membuka kisah lama untuknya. “Aku memiliki anak kembar, semua itu ulahmu,” ucap Calli terakhir kali sembari mengepalkan tangannya.

Bukannya mendapat jawaban maupun penjelasan, Liam meninggalkan Calli yang masih bersedih. Calli meremas pinggiran sofa sangat erat, kalau bisa dia ingin melampiaskannya sampai meredakan amarahnya yang masih meningkat.

Amar yang sejak tadi mencari Calli di belakang panggung, menemukannya. Dia sangat mengkhawatirkannya, melihat keadaannya dari bawah sampai atas. Aman, Calli tidak melakukan hal yang membahayakan dirinya.

“Kak, aku mau pulang. Aku takut anak-anak tahu berita ini, Arlova juga sedang tidak enak badan,” pinta Calli.

Amar membantu Calli berdiri. “Kamu yakin tidak apa-apa pulang dalam keadaan seperti ini? Setelah ini langsung istirahat saja, jaga kesehatan kamu,” sahut Amar.

Calli mengangguk, dia masih merasakan keterkejutan itu. Namun, tidak masalah untuknya jangan sampai ini berdampak pada kedua anaknya. Di jalan pulang, Calli hanya diam saja, memandang ke arah langit. Dia mengibaratkan bintang yang paling cerah di antara bintang lainnya. Akan tetapi, meski paling cerah dia juga kesepian. Di Sekitarnya hanyalah kegelapan, datangnya sinar lain hanya untuk mengambil cahayanya. Maka dari itu, Calli hanya memiliki satu sahabat saja dan tidak ingin menambahnya lagi.

“Mama … selamat atas kemenangannya,” sambut Arlo dan Arlova dengan senyuman lebarnya berlari mengarah Calli.

Calli memeluk kedua anaknya itu, dia juga memeriksa kening Arlova yang ternyata panas badannya sudah turun. Mereka adalah obat bagi Calli yang paling ampuh menyembuhkan lukanya.

“Terima kasih jagoan Mama, seharusnya kalian sudah tidur,” tegur Calli.

“Arlova tidak mau tidur, Ma. Padahal Arlo sudah memaksanya, tetapi tidak mendengarkan,” sahut Arlo mengadu.

“Kak Arlo menyuruhnya tidak benar, Ma. Masa Arlova yang sedang sakit dijewer kupingnya sampai merah, Lova nggak bisa tidur, lah,” jawab Arlova tidak terima.

“Arlova balas juga, Ma. Kaki Arlo ditarik sampai hampir jatuh dari kasur, Arlo sudah mau tidur padahal,” jawab Arlo lagi.

Amar gemas sendiri dengan kedua keponakannya. “Kalian berdua ini sangat mewarisi sifat Mama, sudah-sudah sekarang masuk kamar dan tidur, ya. Kasihan Mama sudah lelah,” titah Amar.

Amar berpamitan pulang, Calli sendiri langsung membersihkan badannya. Memeriksa keduanya anak kembarnya sudah tidur, Calli bisa merasakan lega. Dia tidak ingin terganggu dengan berita tersebut, namun sekalipun ingin mengabaikannya tidak bisa. Calli gelisah bukan main.

Amar menghubunginya, mengenai masalah ini Calli disuruh untuk membuat klasifikasi untuk meredakan perbincangan panas. Calli tidak keberatan, demi anaknya dia akan membuatnya. Dia tidak mendengarkan manajernya, apabila harus membuat pernyataan bohong. Calli lelah menyembunyikan Arlo dan Arlova, bahkan dia tidak pernah secara langsung mengantarkan anaknya ke sekolah.

Besok, Calli akan mengungkapkan kebenarannya di depan publik. Semua konsekuensinya akan Calli terima, dia yakin karirnya akan terpengaruh.

“Terserah, aku tidak kuat lagi dengan semua ini, anakku berhak bahagia juga tanpa disembunyikan. Aku akan mengatakannya, apapun pendapat mereka tentangku, aku akan menerimanya,” gumam Calli berusaha meyakinkan dirinya.

Meskipun dia sudah meyakinkan diri, pilihannya bukanlah keputusan yang mudah. Dia tidak tidak pernah tahu siapa yang akan menetap dan meninggalkannya.

...----------------...

Terima kasih telah membaca karya ini.

Mohon dukungannya dengan memberi like, vote, subscribe, dan beri ulasan.

Dukungan teman-teman sangat berarti bagi author💜

Jumpa lagi di episode berikutnya;)

^^^Salam Hangat,^^^

^^^Cacctuisie^^^

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!