Seni Menyatukan Cinta

“Kalau menurutku, Vanya memang sudah tidak menyukaimu dari awal. Mana mungkin, berdalih mendekati terus tiba-tiba saja menikam dari belakang. Kamu harus berhati-hati, Calli. Terapkan selalu prinsip jangan mudah mempercayai orang-orang sekitarmu, termasuk suamimu juga,” balas Vanya.

“Kenapa sama Liam? Aku merasa malah sedikit dipermudah selama kehadirannya,” sahut Calli, bingung mendengar pernyataan Tami.

“Bukankah awalnya Liam nggak mau menerima kehadiran Si kembar? Dia menolakmu, kan?” tanya Tami.

“Bukannya aku belum cerita ini ke kamu, Tami?” balas Calli.

Calli sangat mengingat bahwa kejadian yang menimpanya di acara penghargaan dirinya. Dia belum menceritakan apapun pada Tami, bagaimana sahabatnya ini mengetahuinya? Calli sangat sibuk menyembuhkan lukanya waktu itu, terlebih lagi jangan sampai Arlo dan Arlova juga ikut terseret rumor yang beredar.

“Iya, kah? Oh, berarti aku mendengarnya dari Kak Amar, dia yang bercerita padaku,” jawab Tami sedikit berpikir untuk mengingat.

“Aku juga nggak ngasih tahu Kak Amar, dia datang juga waktu Liam sudah meninggalkanku,” batin Calli.

Pembicaraan mereka terhenti, lantaran makanan yang sudah dipesan berada di hadapan mereka. Calli dan Vanya menikmati makan mereka tanpa ada percakapan. Calli masih menyimpan tanda tanya, bagaimana Tami mengetahui bahwa Liam sudah menolak kenyataan anaknya itu anak Liam pula di awal pertemuan mereka yang sudah sangat lama terpisah.

“Habis ini mau main nggak, Calli? Belanja gitu?” tanya Tami setelah mereka menghabiskan makanan.

“Kayaknya pulang aja, Tam. Hari ini energiku benar-benar terserap habis, apalagi tahu kalau Vanya salah satu rekan kerja dalam drama kali ini.”

Tami mengerti, dia mengantarkan Calli pulang. Dia singgah terlebih dahulu, mengedarkan pandangannya di rumah Calli.

“Kenapa sepi banget?” tanya Tami.

“Aku juga nggak tahu, Liam tadi masih kerja. Mungkin Arlo dan Arlova lagi tidur,” balas Calli.

Mereka duduk di sofa sambil menyandarkan badan. Menatap langit-langit rumah, merasakan rasa lelah ketika harus kuat menghadapi jalan hidup yang belum menemukan titik istirahat dan berjalan terus mengikuti takdir.

“Kamu belum mau nikah, Tam?” tanya Calli yang mengejutkan.

“Nanti-nanti dulu, deh. Urusan diri sendiri aja masih belum benar, apalagi kalau nambah orang lagi di rumah. Bisa-bisa baku hantam setiap hari,” balas Tami.

Calli membuang napasnya kasar. “Hm … kamu bener, Tam. Aku rasa juga begitu, mungkin karena pernikahanku dengan Liam yang secara dadakan,” sahut Calli mengiyakan.

“Bukannya kamu pernah bilang kalau suka sama cowok itu?” balas Tami lagi.

“Bayangin itu sudah lima tahun yang lalu, sekarang perasaanku sudah biasa saja. Aku tahu, Liam berusaha untuk meyakinkan kembali dan berharap aku bisa mencintainya lagi. Tapi, apakah dia benar-benar tulus melakukannya? Aku takut, ketika membuka hati dan menerimanya, dia nanti mempermainkanku.” Calli memijat pelipisnya pelan.

“Liam bukan cowok yang nggak menepati perbuatan dan janji, Calli. Kamu bisa mencobanya, namun kalau kamu masih ragu. Kamu bisa memberikan tes atau semacamnya yang bisa meyakinkanmu,” ujar Tami memberi saran.

Dari luar, Arlo dan Arlova berlari masuk ke dalam rumah. Calli terkejut, bahwa kedua anaknya berada di luar.

“Mama …” panggil Arlova sambil berlari.

Tangannya membawa sesuatu, Liam baru muncul dari arah belakang. “Kalian dari mana?” tanya Calli.

“Papa mengajak Arlova dan Kak Arlo belanja ini, Arlova alat-alat untuk melukis,” ucap Arlova antusias menunjukkannya.

“Kalau Arlo beli gitar kecil, Mama. Papa bilang mau mengajari Arlo cara bermain gitar.” Arlo memperlihatkan gaya semacam orang yang ahli dalam memainkan alat musik itu.

Calli dan Tamika saling tatap, memberikan tepukan tangan untuknya. Liam duduk di samping Calli, ikut tersenyum melihat kelakuan Si kembar. Akan tetapi, Arlova menghentikan permainan Arlo.

“Kak Arlo, nanti aja mainnya. Ayo! Kita ke kamar menyiapkan untuk besok,” ajak Arlova.

Mereka berdua berlari ke arah kamar, Calli kebingungan ada apa sebenarnya dengan mereka yang sangat bersemangat. Tamika berpamitan, dia hendak pulang ke rumah.

Saat ini, hanya Liam dan Calli di ruang tamu. “Kenapa kamu mengajak mereka tanpa memberitahuku?” tanya Calli.

“Kamu yang nggak cek ponsel, aku sudah menghubungi. Tapi, kamu mengabaikannya,” jawab Liam.

Calli sontak memeriksa ponselnya, benar perkataan Liam. “Kamu besok ada jadwal?” 

“Untuk besok ada pemotretan pagi, siang udah di rumah, mungkin. Kenapa?” sahut Calli.

“Mari kita keluar bersama Si kembar, luangkan waktumu besok sore,” pinta Liam.

Calli mengangguk mengerti. “Mau ke mana?”

“Aku akan mengajak kalian ala-ala kemah. Bedanya, kita lakukan di dekat sini. Aku ingin melihat perkembangan bakat kedua anak kita. Arlova yang suka dengan lukisan, aku sudah membelikannya peralatan lengkap dan Arlo yang suka bermusik, aku akan mengajarkannya bergitar,” ucap Liam menjelaskan.

“Memangnya kamu besok nggak sibuk?” ujar Calli menanyakan kesibukan Liam.

“Besok libur, jadi kita punya waktu luang untuk mereka. Tugas kamu, mengurus makanannya, ya?” balas Liam lagi.

“Tenang saja, aku bisa mengurusnya itu.”

Keesokan harinya, Calli sudah pergi duluan untuk memenuhi jadwalnya bersama dengan Amar. Pagi itu, Liam mengajak Arlo ke ruang latihan. Liam mendengarkan setiap jari lentik itu memainkan pianonya dengan sangat indah. 

“Wah … Arlo sangat hebat. Papa sangat suka, cita-cita Arlo mau jadi pianis?” ucap Liam menatap Arlo.

Arlo nampak berpikir. “Hm … Arlo mau kayak Mama, Pa. Tetapi, saat ini Arlo hanya bisa bernyanyi dan memainkan piano,” balas Arlo lesu.

“Kok sedih, teman-teman seusia Arlo jarang memiliki bakat seperti ini. Arlo sudah sangat keren di mata Papa dan Mama, perlahan Arlo bisa mempelajarinya dengan baik, ya?” jawab Liam menenangkan Arlo.

...****************...

Sore harinya, mereka semua sudah siap untuk acara keluarga. Lana, sang nenek tidak mau ikut lantaran dia ingin anak dan cucunya bisa menikmati waktu bersama.

Liam dan Arlo menyiapkan tempat, sedangkan Arlova bersama Mamanya membawakan bekal yang akan menemani kebersamaan mereka. 

Calli menepuk tangannya sekali, meminta perhatian pada ketiga orang dihadapannya. “Oke, Mama mau kasih sesuatu buat kalian. Papa sudah memberikan hadiahnya, sekarang giliran Mama.” Calli membuka tas khusus tanpa ada yang mengetahuinya.

Calli memberikan bingkisan satu per satu pada ketiganya. Bahkan, Liam terkejut dia juga mendapatkannya dari Calli. Dia kira, Calli tidak akan peduli dengannya.

“Silahkan di buka,” titah Calli.

Mereka membuka milik masing-masing bersama. Tercetak senyuman yang jelas, semuanya nampak bahagia. Liam terharu dengan pemberian Calli padanya berupa mikrofon bertuliskan namanya.

Liam menatap Calli dengan haru, dia pun membalas tatapan suaminya. “Wah … Lova dapet kamera mini. Apa ini bisa digunakan, Ma?” tanya Arlova sambil menekan beberapa tombol.

“Bisa sayang, sini Mama bantu,” balas Dara.

“Arlo dapet apa?” tanya Liam. “Arlo dapat alat untuk membantu Arlo memainkan gitar, ada nama Arlo juga di sini,” balas Arlo.

Belum selesai Arlo melihat pemberian Mamanya, Arlova menarik tangan Arlo untuk memfotonya. Dia sudah sangat penasaran dengan hasilnya. Arlo yang menurut saja perintah dari Adiknya, melakukan pose berbeda-beda. Liam dan Calli tertawa melihat kelucuan Si kembar.

“Makasih, ya. Kamu ingat sama aku,” bisik Liam.

“Aku cuma nggak enak sama anak-anak, jadi jangan dibawa perasaan,” balas Calli sinis, padahal dia memang memiliki kepedulian.

...-------------...

Terima kasih telah membaca karya ini.

Mohon dukungannya dengan memberi like, vote, subscribe, dan beri ulasan💜

^^^Salam Hangat^^^

^^^Cacctuisie^^^

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!