Kecurigaan

“Aku tidak habis pikir dengan semua yang datang dalam hidupku. Setidaknya sehari saja, biarkan aku bernapas sejenak dengan tenang. Sesaknya selalu bertubi-tubi tanpa mengenal waktu,” ucap Calli menunggu Amar mengambil mobil.

Suara klakson mobil itu menggema, Calli mengenal wanita yang bersama dengan seorang lelaki. Dari usianya memang sama-sama muda. 

“Langkah awalmu sudah bagus, Kak. Tetapi, sayang sekali aku tidak takut kehilangan seorang teman,” tegur Lia secara tiba-tiba.

Calli menyilangkan kedua tangannya, senyum sinisnya tidak terlupakan. “Kalau tidak merasa terusik, seharusnya enggak perlu jauh-jauh ke sini untuk memberi penjelasan, kan?” balas Calli yang membuat Lia mengobarkan amarahnya.

Pria yang bersama Lia ikut turun, wajahnya sangat takjub untuk pertama kalinya melihat kecantikan Calli. Lia yang menoleh ke arahnya, menginjak kaki sebelah kirinya sangat kencang.

“Apa yang kamu lakukan?” tanya Lia padanya.

Pria itu masih saja tidak percaya dengan sosok Calli yang pandai memainkan piano di hadapannya. “Baru kali ini aku melihat seorang pemain piano yang sangat berbakat, tapi lebih memilih untuk bermain peran. Beruntung bisa melihat secara langsung,” ujarnya yang membuat Lia malu.

Mobil Amar sudah terlihat, Calli hendak meninggalkan kedua orang yang mengganggunya. “Senang bisa bertemu juga denganmu, anak muda. Aku mau berpesan, pandailah memilih pacar kalau tidak ingin terjerumus ke nerakanya dunia. Itu bisa menyesakkanmu kapan saja, aku pamit dulu.” Calli melambaikan salah satu tangannya dan tidak lupa satu kedipan mata.

“Aku sudah ketularan virus Liam,” batin Calli sambil melangkah.

Lia menghentakkan kakinya berkali-kali, geram dengan sindiran Calli yang begitu menohok. Pria di sampingnya juga sangat menyebalkan, bukannya berguna untuk membelanya. Malah sibuk menikmati pertemuannya dengan Calli yang dia kagumi selaku pemain piano.

Lia menamparnya, lalu duluan masuk kendaraan yang mereka naiki tadi. “Pacar macam apa melirik wanita seperti itu? Pembelaan minimal, ini ikut menjatuhkan secara tidak sengaja,” celoteh Lia menahan kesal.

...***...

“Siapa itu tadi? Penggemar kamu, kenapa bisa masuk seleluasa itu?” tanya Amar.

“Lebih tepatnya musuh yang perlu aku hancurkan, Kak. Biasa anaknya perampas milik orang lain, sok sekali untuk jadi kaya tanpa berusaha. Malu aku punya saudara semacam itu,” jawab Calli.

“Apa kamu perlu penjagaan khusus? Takutnya mereka lebih mudah menemuimu saat kerja, itu akan berdampak pada kinerjamu, Calli,” sahut Amar tersirat kecemasan.

“Tenang saja, Kak. Liam sudah merencanakan sesuatu untuk mereka, aku akan mempercayainya sampai akhir. Aku akan memberinya kesempatan, jadi Kakak tidak perlu mencemaskanku maupun pekerjaanku,” balas Calli meyakinkan Amar.

Amar menganggukan kepalanya setuju, dia pikir sekarang banyak perubahan pada Calli. Tadinya, dia sangat menolak apapun dari Liam. Berjalannya waktu, dia memberikan ruang untuk suaminya.

“Apa Calli sudah menyukainya seperti sedia kala?” batin Amar yang tetap berusaha fokus menyetir.

Calli yang tidak bisa menghiraukan rasa cemasnya mengenai omongan Vanya. Berputar terus dalam ingatannya, Calli akan memutuskan untuk mendatangi Tami. 

“Kak, aku minta antarkan ke rumah Tami,” pinta Calli mendadak.

“Sekarang banget?” tanya Amar.

“Iya, Kak. Aku ingin meluruskan semua yang aku dengar dari Vanya.”

Amar menuruti keinginan Calli, dia harus memutar arah jalannya. Calli yang sudah tidak sabar mengunjungi rumah Tami. Terbilang sudah agak lama Calli tidak main dan membuat kerusuhan di rumah Tami. Dia harap tidak ada yang merujuk pada keanehan maupun hal yang dapat memicu curiga.

“Kamu mau aku tunggu atau gimana?” tanya Amar, mereka sudah di depan rumah Tami.

“Kamu pulang saja, Kak. Aku akan minta antar Tami nanti,” jawab Calli.

Amar meninggalkan Calli untuk menikmati kebersamaan bersama sahabatnya sekaligus membuat perubahan suasana hatinya lebih baik lagi. 

Kehancuran memang kadang tidak jauh dari orang-orang terdekat kita. Calli sangat tidak mengharapkan ikatan yang sudah layaknya seperti saudara ini lepas hanya kesalahan satu kali yang menyakitkan.

Bel rumah Tami berbunyi, segera dia membuka pintu. “Calli, tiba-tiba banget ke sini tanpa bilang dulu?” tanya Tami terkejut.

“Enak banget di rumah santai, maskeran enggak ajak-ajak lagi,” ucap Calli tanpa membalas pertanyaan Tami.

Calli menerobos saja masuk tanpa ajakan dari pemilik rumah. Sudah biasa baginya mendatangi rumah ini, saat ini saja yang dengan kesibukan masing-masing jadi jarang.

“Aku bilas dulu maskerku, ya. Merusak ketenangan banget kamu, Calli.” Tami melangkah ke dalam kamar mandi.

Calli yang sudah penasaran, mengedarkan pandangannya ke segala arah. Tami memiliki tiga kamar, satu kamar pernah Calli tinggali bersama Si kembar. Untuk mengenangnya kembali, Calli sengaja membuka kamar tersebut tanpa persetujuan Tami.

“Kenapa gelap? Aku hidupkan saja lampunya.” Calli menekan tombolnya.

Masih sama, sepertinya tidak ada yang menempatinya selain Calli dan kedua anaknya. Namun pandangan Calli tertuju pada sebuah kertas yang berserakan di lantai. Dia melihat semuanya, lalu ada pula yang ditempelkan di dinding. Sontak hatinya terasa lagi sesaknya, menutup matanya sejenak.

“Apa yang aku lihat? Pasti aku yang salah, enggak mungkin ini ada di kamar Tami,” ujar Calli berusaha menenangkan dirinya.

Calli berjalan keluar, kembali duduk di ruang tamu. Pas sekali waktunya, Tami baru saja keluar dari kamar mandi. Mengusap mukanya dengan handuk kecil, duduk di sebelah Calli.

“Kamu mau minum atau makan sesuatu? Tapi, aku enggak banyak bahan makanan. Beberapa hari ini, lebih sering makan di luar. Jadi, jarang beli bahan-bahan,” ujar Tami.

“Aku enggak nafsu makan, Tami. Bolehkah antar aku pulang?” pinta Calli.

“Hah?! Baru juga masuk sudah mau keluar aja, Calli. Apa ada hal yang mendadak, kok mau pulangnya terburu-buru?” tanya Tami kebingungan.

“Liam tadi menelepon, dia membutuhkanku,” jawab Calli. Tidak, dia sebenarnya berbohong. Dialah yang membutuhkan Liam.

“Besok kamu ada kerjaan enggak?” tanya Calli lagi.

“Aku enggak ada waktu, tapi akan aku kabari kalau bisa,” sahut Tami.

...***...

Keesokan harinya, Calli mengunci dirinya di ruang latihan. Setelah olahraga jari pada permainan pianonya, Calli terus memeriksa ponselnya. Menunggu kedatangan Tami yang selalu ada dipikirannya.

“Akhirnya kamu datang, lama banget aku nunggu kamu,” ujar Calli membuka pintu dan menguncinya lagi.

“Maaf, tadi jalanan sangat macet,” balas Tami beralasan.

Dengan Calli yang seperti mengurungnya di dalam sini, membuat Tami sedikit gugup. Entah apa yang menjadikannya berbeda, Tami rasa ada hal yang Calli sembunyikan.

“Aku habis latihan, jadi bentuknya gini. Kamu mau minum?” tanya Calli yang hendak beranjak.

“Enggak usah, aku sudah kenyang minum air. Kamu lagi ada masalah apa? Sampai menginginkanku untuk ke sini?” balas Tami dengan pertanyaan balik.

Mereka sama-sama duduk di atas lantai. “Menurut kamu Vanya layak tidak mendapat hukuman?” ujar Calli.

“Pertanyaan macam apa ini? Itu semua tergantung kamu, kalau perlu dihukum kamu perlu melakukan tindakan segera. Biar dia tidak merajalela dengan rencananya,” kata Tami.

“Masalahnya, aku dan Liam sudah sepakat untuk memaafkannya,” jawab Calli.

“Aku sudah menebaknya, Liam yang selalu menggunakan hatinya itu. Mudah sekali tersentuh, makanya kamu jangan terlalu percaya padanya.” Tami menggenggam tangan Calli meyakinkan.

“Kenapa kamu malah lebih paham tentang Liam?” tanya Calli lagi.

“Me-menurutku dia kurang tegas, sih. Seharusnya dia lebih peka denganmu, kan?” sahut Tami terbata-bata.

“Aku kira kamu tadi memberikan pembelaan pada Liam, padahal aku sahabatmu,” ucap Calli.

Tami melepaskan genggamannya dari tangan Calli, dia tidak menanggapi perkataan Calli. Berdalih memeriksa ponselnya yang terdapat notifikasi, Tami mengeluarkan benda persegi itu.

Memasukkannya kembali dalam tas. “Calli, maaf aku enggak bisa lama. Ada hal penting yang harus aku urus. Kita bicarakan ini lain waktu, ya?” pamit Tami tergesa-gesa.

Calli membukakan pintu, membiarkannya pergi. “Kamu sudah berubah, Tami. Apa semuanya itu memang benar adanya?” gumam Calli yang menatap punggung Tami semakin tak terlihat.

...-------------...

Terima kasih telah membaca karya ini.

Mohon dukungannya dengan memberi like, vote, subscribe, dan beri ulasan💜

^^^Salam Hangat^^^

^^^Cacctuisie^^^

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!