Kebenaran Menyakitkan

Seorang suami yang benar-benar mencintai istrinya, tidak akan pernah membiarkannya terluka apapun alasannya. Dia memandangi Calli yang sejak tadi pagi membalut tubuhnya dengan selimut.

Calli yang merasakan suasana hati terburuknya, di memilih diam daripada bisa menyakiti orang lain dengan kata-katanya. Air matanya mengalir membasahi bantal yang dia dekap.

Liam duduk di belakang Calli. “Kamu enggak mau sarapan dulu? anak-anak tadi menanyakanmu dan Mama juga ikut khawatir,” ujar Liam.

Liam meninggalkannya sendiri, mungkin istrinya memang butuh waktu sendiri untuk meredakan emosinya.

“Papa, Mama belum makan? Arlova minta bantuan pada Papa mengambilkan Arlova nasi untuk Mama.” Arlova menarik-narik baju Liam dengan memohon.

Baru saja dia menutup pintu, kedua anaknya sudah datang. Lana yang sedang duduk membaca majalah, melirik sekilas dan mendengarkan pembicaraan mereka.

“Ada masalah apa dengan Calli, apakah berat?” gumam Lana.

Liam menyetujui permintaan Arlova, dia mengambil piring meletakkan nasi yang tidak terlalu banyak beserta lauknya. Arlova yang membawa piring dan Arlo kebagian minumnya. Liam sengaja tidak ikut masuk, dia hanya membantu membukakan pintu.

“Kalian bujuk Mama agar tidak sakit, ya. Semoga berhasil kesayangan Papa,” bisik Liam pada keduanya.

Calli yang belum menyadari bahwa kedua anaknya sudah di dekatnya berdiam diri. Mereka kesulitan untuk naik ke atas ranjang, Calli pikir itu Liam.

“Aku mau sendiri dulu, Liam. Kamu maksa banget kalau ada maunya, nanti aku akan makan. Enggak mungkin aku menyiksa diriku karena masalah kecil,” ujar Calli tanpa menoleh.

Arlova dan Arlo saling tatap, keduanya mengangkat kedua bahunya yang tidak paham maksud Mamanya.

“Mama ini Arlo sama Arlova yang di sini,” ucap Arlo yang memanggil Mamanya.

Sontak Calli terkejut, membuka selimutnya yang sebenarnya sangat engap. Calli membantu Si kembar naik. “Kenapa kalian repot-repot membawakan makanan untuk Mama?” kata Calli mengambil alih bawaan mereka.

“Habisnya Mama tidak makan-makan, nanti kalau sakit gimana? Mama yang selalu bilang, tidak boleh telat makan karena itu sumber penyakit. Iya, kan?” sahut Arlova mengingat nasihat Calli.

Calli mengusap pucuk kepala keduanya. “Kalian ini memang sangat baik. Selalu mengingat apapun yang Mama katakan. Baiklah, Mama akan makan dulu.” Calli meraih sendok dan mulai menghabiskannya.

Calli selalu mengajarkan pada Arlo dan Arlova untuk tidak menyisakan makanannya. Jadi, Calli perlu memberikan contoh secara langsung. Apabila ditanya terpaksa, dia sangat memaksakan dirinya. Lantaran nafsunya sangat terganggu karena pikirannya yang masih kacau.

Suasana hening, mereka menyaksikan Mamanya makan dengan lahap. Keduanya tersenyum bangga sudah berhasil membujuk Mamanya mengisi perutnya yang kosong sejak tadi.

“Sayang, terima kasih sudah perhatian dengan Mama. Ayo! Mama bantu kalian bawa ini.” Calli keluar bersama kedua anaknya.

Sekarang mereka berkumpul di ruang keluarga, tiba-tiba bel rumah Calli berbunyi. Perasaan Calli tidak enak, lantaran tidak ada yang menghubunginya untuk bertamu. Apalagi Amar, biasanya hanya dia dan kalau tidak mertuanya, Rengganis.

Calli memeriksanya, Liam membiarkannya. Ketika melihat siapa yang ada di depannya, raut wajah Calli sudah tidak dapat lagi digambarkan kesalnya pada orang ini.

“Liam, ajak anak-anak masuk ke kamar. Ada tamu penting yang perlu kita sambut,” pekik Calli.

Liam yang paham, langsung mengajak Si kembar ke kamar. “Ada apa, Pa?” tanya Arlo kebingungan.

“Palingan mau bicara tentang pekerjaan Mama sayang,” balas Lia mencari alasan.

“Pekerjaan? Om Amar yang biasanya datang. Apakah tamunya orang jahat, kalau iya Papa segera keluar jaga Mama dan Nenek,” pinta Arlova yang khawatir.

Liam mengangguk. “Kalian jangan ke mana-mana, ya. Belajar saja biar tambah pintar, Papa tinggal dulu.”

Terdapat tiga orang yang bertamu ke rumah Calli. Keluarga yang sangat menyedihkan dimatanya, amarah itu tidak akan pernah padam.

Calli mendekati Mamanya yang terguncang melihat mereka. Iya, mereka yang telah menyiksanya layaknya seorang pembantu di rumahnya sendiri.

“Kami tidak biasa menjamu orang tidak dikenal, jadi sampaikan saja maksud kalian kemari,” ucap Calli yang tak ingin basa-basi.

Calli menggenggam tangan Lana yang gemetar. Dia takut bercampur sedih. Ingatan masa lalunya ketika merasa dikurung, lalu dijadikan pesuruh untuk melakukan semua perintah ketiga orang yang ada di hadapannya.

Pria yang berusia paruh baya, bersimpuh di kaki Calli. Dua orang lainnya, menangisi nasib mereka sambil membawa sebuah kertas yang digenggam erat.

“Maafkan kesalahan kami, Om tahu perbuatan kami sangatlah tidak manusiawi. Namun, tidakkah ada kesempatan kedua untuk kami, Calli? Terkhusus Om yang tidak bisa menjaga keutuhan keluarga kita, Om menyesalinya,” ucapnya.

“Jangan berakting dan serahkan saja rumah itu. Maka, permasalahan ini akan aku anggap selesai. Satu lagi, maaf itu seharusnya Mama yang mendapatkannya. Silahkan bersimpuh saja pada Mama bukan padaku,” balas Calli tegas.

Sebelum mereka melakukan itu, Lana segera menolaknya. “Mama tidak ingin diperlakukan seperti, Nak. Sudah, ambil saja rumah itu dan kita selesai sampai di sini,” sahut Lana lirih.

“Lana, aku mewakili mereka meminta maaf atas perbuatan kami. Sekarang kami juga merasakan kepelikan, usaha kami meredup, dan anakku mendapat perundungan dari teman-temannya lantaran anak dari orang yang berkekurangan. Kami putuskan untuk tinggal di rumah lama, kamu tahukan bentuknya yang tidak layak,” ungkapnya sambil menceritakan kondisinya.

“Aku akan mencobanya,” ucap Lana singkat.

Liam yang rasanya tidak berhak ikut campur, hanya berdiam menyaksikan keluarga istrinya yang sadar akan kesalahannya. Tidak lain, ini juga hasil dari usahanya yang tidak sia-sia.

Istri dari Om nya memberikan terpaksa surat rumah jelasnya dan sebuah kunci. Tangannya sangat berat melepaskan barang rampasannya, tempat tinggal mereka juga kembali semula.

“Usaha Om juga hancur sejak beberapa hari ini, apa kamu tidak ingin membantu Om?” pintanya yang kehilangan malu.

“Banyak pekerjaan di luaran sana. Cobalah untuk mencarinya, merengek denganku tidak akan berhasil. Dan untukmu, berhentilah hidup menjadi orang lain. Terima saja apa yang memang milikmu, jangan paksakan orang tuamu melakukan perbuatan hina dan keji lagi untuk memenuhi kesempurnaan yang sangat kamu impikan. Berusaha bukannya memeras mereka!” ucap Calli yang mengarah pada Lia.

Mereka akhirnya meninggalkan rumah Calli dengan tangan kosong. Padahal menurut mereka akting yang sudah tersusun itu dapat mengugah hati Calli untuk memberikan kesempatannya, ternyata salah.

...***...

“Aku mau ngasih informasi penting untuk kamu. Apa kamu mau melihatnya?” tanya Liam yang menyusul Calli ke ruang latihannya.

“Kalau tentang orang-orang tadi mending lupakan saja. Aku lagi pusing banget,” balas Calli.

Calli merebahkan badannya di lantai, jarinya juga ingin istirahat untuk memainkan piano. Calli hanya merasakan lemas dan rasa kekecewaannya menjadikan dia malas melakukan apapun.

“Sebenarnya aku enggak mau menambah bebanmu, tapi kamu layak mengetahui kebenarannya.” Liam menyodorkan ponselnya pada Calli.

Ada beberapa foto dan rekaman Tami yang Liam dapatkan dari temannya. Relasi sangat perlu dalam kehidupan, Liam memanfaatkannya untuk membantu istrinya memecahkan teka-teki permasalahan foto tersebarnya Si kembar. Sudah lama, bahkan sebelum mereka menikah.

“Kamu bisa mendapatkan bukti sedetail ini dari mana?” tanya Calli membelalakkan matanya tak percaya.

“Temanku yang bekerja di media, sulit mendapatkannya. Aku harap ini bisa sedikit melegakan pertanyaan yang selalu muncul dalam benakmu. Meskipun, menyakitkan bukan? Kalau pelakunya bukanlah rekan kerjamu. Melainkan sahabat yang sudah kamu percaya dari nol mulai karir,” balas Liam.

Calli memegang kepalanya yang berdenyut. “Aku kayaknya salah lihat, aku perlu periksa mata. Liam aku mau memeriksakan mataku,” pinta Calli mengayunkan jari Liam kencang.

Calli tidak bisa mengontrol dirinya, air mata yang terus mengalir membasahi pipi mulusnya. Dia tidak bisa menerima kenyataan pahit ini. Dia tetap menyalahkan penglihatannya.

“Kamu boleh menangis, tetapi tidak untuk menyakiti diri, Calli. Aku selalu ada untukmu kapanpun itu.” Liam menarik Calli dalam pelukannya.

“Kenapa kamu kasih aku kabar palsu gini, Liam? Kurang apa aku padanya? Dia satu-satunya orang yang membuka rumahnya menyambutku, namun dia juga yang melumpuhkan langkahku. Liam ….”

“Besok, kamu temui dia saja. Kamu perlu mempersiapkan diri untuk menghadapinya,” ucap Liam memberi saran.

Calli melepaskan dekapan Liam. “Aku mau sekarang!”

...***...

Di taman, Calli sudah berpakaian olahraga lengkap. Memakai lipstik gelap dan rambut kuncir satu. Tidak ada yang mencurigakan bagi Tami, mereka mengitari taman beberapa kali putaran.

“Aku salah fokus lihat penampilan kamu, Calli.” Tami memegang kuncirannya.

“Calli yang berbeda, kan? Ada hal penting yang ingin kamu sampaikan tidak, Tam?” tanya Calli.

Mereka sedang beristirahat, duduk di atas rumput hijau. Memang tempat orang-orang melakukan senam.

“Enggak ada, memangnya kenapa?” tanya Tami yang mulai merasakan keanehan pada sahabatnya.

“Aku kira kamu menjadi rumah yang nyaman, ternyata kamu sama saja. Pemberi luka bagi orang yang sudah terluka sejak kamu kenal. Kamu ngeri enggak perkataanku barusan?” kata Calli sambil memperhatikan langit.

“Kamu sedang menghafal naskah? Sudah ada tawaran syuting lagi, perasaan kemarin baru selesai. Kamu enggak akan ngadain promosi dulu?” sahut Tami.

“Aku lagi ngomongin tentang kita, bukan pekerjaanku!” celetuk Calli yang tidak tahan dengan sok polosnya Tami.

Tami menghela napasnya kasar. “Bukankah kamu sudah tahu sejak keluar dari kamar yang pernah kamu tinggali? Aku membencimu, sangat benci. Apalagi, kamu bisa menjadi sesukses ini. Padahal awalnya kamu menumpang di rumahku. Aku mendukungmu sebisaku, bahkan karena lebih sibuk mengurus kedua anakmu. Aku dipecat, kehilangan pekerjaan yang saat itu sangat sulit mendapatkannya. Hanya kamu yang menerima, tapi kamu lupa denganku. Aku benci kamu, Calli!” pekik Tami mengutarakan isi hatinya.

“Kenapa baru bilang sekarang? Kamu bisa mengatakannya lebih awal, aku orangnya tidak peka. Aku tidak segan-segan memberikan apa yang kamu mau, Tami.” Calli memegang bahu Tami.

Tami menepis tangannya. “Kenapa? Karena kamu tidak pernah menganggapku lagi! Ingatkah hari di mana aku harus kehilangan pekerjaan yang kedua kalinya, kamu tidak ada di sampingku!”

...----------------...

Terima kasih telah membaca karya ini.

Mohon dukungannya dengan memberi like, vote, subscribe, dan beri ulasan💜

^^^Salam Hangat^^^

^^^Cacctuisie^^^

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!