“Kamu yakin akan mengirimkan pernyataan ini ke publik?” tanya Amar yang kurang yakin dengan tindakan Liam.
“Aku yakin, harus ada yang aku lakukan untuk istriku. Kasihan dia banyak sekali pikiran, tidurnya saja tidak nyenyak. Kirim saja, Kak. Sesuai dengan kataku tadi, aku tidak akan menyesal apapun yang akan terjadi nanti. Calli, artis yang tidak banyak tingkah, aku yakin untuk penggemarku rata-rata akan menerimanya. Misal, ada yang ingin mencela, ya sudah. Kemungkinan juga netizen, kita juga tidak bisa membuat semua orang bisa menyukai kita, kan? Pasti ada yang nyinyir dan berbuat sesuka hati karena sudah iri mendarah daging,” balas Liam.
“Aku sudah angkat tangan, terserah.” Calli mengangkat kedua tangannya, dia masih berpikir bahwa keputusan Liam ini sangat tidak masuk akal.
“Aku akan proses hari ini juga, jadi kalian bisa pantau. Untuk kamu, jaga kesehatan dan istirahat cukup. Aku pamit, ya.” Amar menunjuk Calli, lalu setelahnya pergi meninggalkan mereka berdua.
Liam melirik ke arah Calli, keheningan menimpa mereka. Liam iseng mendekatkan dirinya pada Calli. Belum membuka suara, Calli sudah duluan meninggalkannya tanpa kata.
“Susah banget deketin wanita satu ini, padahal kalau aku udah di panggung pada rebutan. Memahami wanita itu sangat sulit, dibandingkan memahami kucingnya Mama di rumah.” Liam berdiri ikut keluar dari ruang latihan.
Calli mengintip kamar Si kembar. Melihat Arlova tertidur lelap, namun pandangannya tidak lepas dari Arlo. Dia meringkuk, duduk di pinggir ranjang. Keterkejutannya, mendekati Arlo pelan-pelan.
“Sayang, ada apa?” Calli mengusap rambut anak laki-lakinya.
“Mama, apakah hidup Mama sangat berat karena Si kembar?” tanya Arlo menatap Calli dari bawah.
“Nggak, sayang. Siapa yang bilang begitu?” balas Calli terkejut dengan pertanyaan Arlo.
Arlo memeluk Calli, menepuk bahu bagian belakangnya, meski tangan kecil itu tidak sampai.
“Nggak ada yang bilang, Mama. Arlo bisa merasakannya sendiri, selama ini Mama hanya bekerja terus-terusan. Apa Mama nggak capek?” jawab Arlo sambil mencurahkan yang ada di hatinya.
“Hm … gimana Mama jawabnya. Arlo semakin dewasa sekarang. Sini, Mama kasih tahu. Di dunia ini memang tempatnya berlelah-lelah, sayang. Semua orang, bukan hanya Mama saja. Berlomba-lomba untuk mencapai kebahagiaan, memenuhi kebutuhan, dan menyembuhkan juga. Setiap yang bernyawa, selalu memiliki perjuangannya masing-masing. Bagi Mama, selelah-lelahnya menghadapi kesulitan, Mama nggak akan mudah mundur, karena apa?” Calli menggantung ucapannya, menatap lekat Arlo.
“Karena Mama punya dua malaikat kecil yang selalu ada di belakang Mama. Obat Mama untuk terus melangkah maju, Arlo dan Arlova. Jadi, nggak ada namanya capek dan berat, kalau sudah melihat senyum kalian,” balas Calli.
“Arlo janji, kalau Arlo sudah dewasa seperti Papa. Arlo yang akan bekerja menggantikan Mama. Arlo akan menjadi penyanyi, lebih terkenal daripada Papa. Pokoknya, Mama dan Papa pasti bangga dengan Arlo.” Arlo menyombongkan bakatnya dengan penuh harap.
...***...
“Apakah Liam bisa minta tolong, Ma?” tanya Liam pada mertuanya, Lana yang sedang memasak di dapur.
“Kalau bisa Mama akan bantu, Nak. Apa yang bisa Mama lakukan?” balas Lana.
Liam menceritakan mengenai rencananya untuk mengajak Calli berlibur. Mumpung dia sedang senggang dari jadwal padatnya, juga kondisi kesehatannya yang naik turun. Terlihat baik-baik saja di depan, namun Calli memang pandai menutupi lukanya. Liam, belum mengenalnya lebih dalam sebagai suami, namun dari matanya tersirat rasa lelahnya menghadapi semua yang terjadi.
“Mama akan bantu membujuknya, tapi kamu juga tahu, kan. Kalau Calli nggak akan meninggalkan Si kembar. Jadi, pertama kalinya kamu harus meminta bantuan juga pada mereka,” sahut Lana sambil memberikan sarannya.
Liam mengangguk paham, dia menuju kamar kedua anaknya. Melihat keduanya sedang sibuk dengan aktivitas masing-masing, membuat Liam bangga. Arlo dan Arlova, sudah menemukan apa yang mereka sukai sejak dini.
“Hm … anak Papa lagi sibuk banget, ya?” sapa Liam.
Arlo dan Arlova pun menoleh. “Iya, dong. Papa jangan lihat gambaran Arlova. Soalnya, ini masih rahasia.” Arlova menarik kertas gambarannya, memeluknya agar tidak diketahui oleh Liam.
Liam memanggil keduanya agar mendekat. Mata Arlo dan Arlova membelalak sempurna. “Hah? Beneran, Pa? Tapi, Arlova maunya adik perempuan. Kalau cowok, nanti nyebelin kayak Arlo,” balas Arlova mencebikkan bibirnya.
“Kalau gitu, Arlo juga mau adik cowok, Pa. Bisa, kan?” Arlo yang tidak mau kalah.
“Papa akan berusaha semaksimal mungkin, makanya kalian bantu Papa, ya?” Liam mengangkat kedua alisnya beberapa kali.
Arlo dan Arlova mengangguk cepat, rencana mereka mulai dari sekarang. Liam memimpin jalan, Arlo dan Arlova mengikuti dari belakang. Pintu kamar terbuka, Calli yang sibuk memantau sesuatu, menoleh ke sumber suara.
“Kalian ngangetin, Mama." Calli mengusap dadanya karena terkejut.
Liam membantu kedua anaknya naik ke ranjang, Calli menggeser badannya agar ada ruang.
“Mama lagi ngapain?” tanya Arlova si paling pandai merayu.
“Nonton drama yang Mama perankan, mau lihat juga?” sahut Calli.
“Arlova sama Kak Arlo mau bicara serius, Mama. Handphone nya di taruh dulu, ya,” pinta Arlova.
Calli menaruh gawainya di meja, sekarang perhatiannya kepada kedua anaknya. Dalam hati Calli, drama apalagi yang akan mereka mainkan. “Peran apalagi yang akan mereka peragakan?” batin Calli menunggu.
Arlova menyenggol Arlo, Liam ikut menyaksikan pertunjukan kedua anaknya, menahan senyumnya. “Mama, Arlo sama Arlova sudah besar, kan?” ungkap Arlo sambil mengembangkan senyum dan mata berbinar ke arah Calli.
Calli mengangguk setuju. “Arlo pingin banget, punya adik lagi. Rasanya kalau ada satu adik cowok bakalan enak, Arlo bisa mengajaknya bermain,” ujar Arlo.
Arlova menatap Arlo tajam. “Apa-apaan Kak Arlo, Mama nggak boleh. Adiknya harus cewek, kalau cowok nanti Arlova malah ribut terus, pasti nyebelin kayak Kak Arlo.” Arlova menyilangkan kedua tangannya.
“Mama kira bakalan ada hal serius, ternyata masalah adik, ya? Nanti kalau udah waktunya, pasti Mama akan kasih kalian adik, kembar biar satu-satu dapet.” Calli mengusap pucuk kepala anak kembarnya.
Mereka menggeleng kuat. “Maunya sekarang,” balas keduanya bersamaan.
Waktunya Liam beraksi, lebih mendekatkan diri diantara kedua anaknya. “Kalau begitu, biar kalian cepat punya adik lagi, gimana kalau Papa sama Mama buat dulu. Kira-kira, anak Papa mau nggak, ya, ditinggal dulu sama nenek?” ucap Liam.
Mereka menoleh ke Papanya. “Tapi harus janji, adiknya harus ada Papa. Jangan sampai bohong, nanti Kak Arlo sama Arlova marah.” Arlova memberikan jari kelingkingnya pada Liam, diikuti oleh Arlo.
...***...
Keesokan harinya, Liam yang sudah matang merencanakan liburan mereka, tinggal keberangkatan saja. Calli yang terus mengoceh, meninggalkan kedua anaknya hanya dengan Mamanya, berat namun pemaksaan oleh semua penghuni rumah. Calli tidak berdaya, akhirnya mengalah untuk mengikutinya.
“Kamu udah siap?” tanya Liam yang melihat Calli berdandan.
“Ini bukan rencana kamu, kan? Kenapa pake ke luar kota, sih?” protes Calli.
“Nggak, sayang. Ayo … nanti kita telat.” Liam membawa barang-barang Calli dimasukkan ke dalam mobil.
“Sayang-sayang, siapa yang dipanggil?”
Keduanya berpamitan dengan Lana dan Si kembar. Senyum mereka yang sangat cerah, membuat Calli tenang untuk beberapa hari tanpa mereka.
Keberangkatan Jakarta-Bali, Calli hanya bisa tidur sepanjang jalan. Liam yang memperhatikan istrinya terlelap, memastikan tetap nyaman dalam pandangannya.
Mereka telah sampai di sebuah hotel, Calli membelalakkan matanya. Mengingatkan sesuatu yang tidak akan pernah bisa dia lupakan. Masuk ke dalam, kamar yang sama, bagaimana Liam menyiapkan ini hanya dalam satu hari?
“Kamu nggak mau masuk?” tanya Liam yang melihat Calli masih berada di depan pintu.
“Kamu sengaja memesan hotel dan kamar ini, kan?” balas Calli mengedarkan pandangannya.
Liam tidak menjawab pertanyaannya, menuntun Calli masuk ke dalam. “Istirahat dulu, habis ini kita makan,” sahut Liam.
Malam harinya, Calli duduk di balkon ditemani lagu yang sangat menenangkan pikirannya. Liam yang melepas pakaiannya sembarang, mendekati Calli dari belakang. Tangannya melingkar ke pinggang ramping Calli, tanpa sadar degupan pertama setelah sekian lama. Kini, Calli merasakannya kembali.
Calli merasakan desiran aneh dalam dirinya, kulitnya yang bersentuhan dengan Liam. “Kamu ngapain, sih. Aku merinding kayak hantu aja, tiba-tiba meluk lagi,” protes Calli, padahal dia menahan gugup.
Liam membalikkan badan Calli, mereka sedang berhadapan. “Kenapa?” tanya Calli lagi.
“Kamu inget kata anak-anak, kan? Mereka minta apa?” Liam mengingatkan permintaan Si kembar.
“Jangan dianggap serius, mereka bel .…”
Ucapan Calli terpotong, Liam membawa Calli ke kasur, menaruh badannya di sana. Deru napas yang dapat mereka rasakan masing-masing, wajah Liam yang sangat dekat dengan Calli. Tangannya bergerak, melancarkan aksinya, Calli masih fokus dengan mata Liam.
“Aku ingin kita melakukannya, lagi. Dalam kesadaran penuh,” bisik Liam.
“Apa-apaan ini, aku nggak siap. Tapi, kenapa badanku sendiri mengkhianati penolakanku? Oh, tidak siapapun bantu aku,” batin Calli merengek, tapi tidak ada pergerakan yang bisa dia lakukan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments