Sebuah mobil premium berhenti di depan sebuah lobi gedung perkantoran. Seorang petugas keamanan dengan seragam serba hitam membukakan pintu mobil tersebut. William melangkahkan kakinya yang berbalut sepatu kulit mahal. Setelah sepenuhnya keluar dari mobil, ia menengadah dan kedua matanya menyapu ke arah sekitar di balik kacamata hitamnya. Kemudian ia mulai memasuki gedung itu.
Beberapa pasang mata, baik wanita ataupun pria, langsung saja dibuat terpaku menatap sosok setinggi 186 cm itu. Bagaimana tidak, wajahnya nyaris sempurna. Rambutnya hitam legam, kulitnya seputih pualam, mulus tanpa cela. Lehernya jenjang, tubuhnya tegap, berdada bidang, dan kakinya jenjang. Perpaduan wajah kaukasoid dan juga mongoloid nampak menyempurnakan penampilannya.
Sungguh penggambaran sempurna seorang pria.
Di sisi lain, seorang pria paruh baya, dengan rambut yang mulai memutih tengah sibuk dengan beberapa dokumen di mejanya. Keningnya mengerut, menandakan ia sedang berpikir keras mengenai pekerjaannya.
Tiba-tiba terdengar benda kotak di sisi mejanya berbunyi. "Mohon maaf Pak Abraham, putra anda sudah tiba." Terdengar suara seorang perempuan yang adalah sekretarisnya.
Abraham menekan sebuah tombol. "Suruh dia masuk." Titahnya.
Ia beranjak dari kursi kebesarannya, dan tepat saat itu, pintu kantornya terbuka.
"Hi, Dad." Sapa William pada sang ayah.
Abraham tak menyahut dan berwajah dingin. Ia duduk di sofa dan William mengikutinya dengan duduk di hadapan Abraham.
"Kapan kamu tiba?" Tanya Abraham.
"Baru saja. Aku langsung kesini, supir Daddy sudah jemput aku 'kan." Sahut William dengan berbahasa Inggris, seraya melepaskan kacamata hitamnya.
"Kamu di Indonesia sekarang, berbicaralah bahasa Indonesia."
"Dad, Daddy tahu aku tak begitu pintar berbahasa Indonesia. Lagipula aku akan terus berada di Melbourne. So..."
"Kamu tidak akan kembali ke sana. Kuliah kamu sudah selesai. Maka kamu akan mulai tinggal disini dan belajar mengelola perusahaan."
William terlihat berpikir sejenak. "Fine. Aku akan tinggal di sini. Tapi aku ingin sebuah penthouse paling nyaman, dengan helikopter di atas atapku. Agar aku tak perlu mengalami kemacetan kota Jakarta seperti tadi. Lalu aku ingin kantorku di desain ulang, interiornya sudah sangat membosankan, Dad." Ia manatap ke arah sekeliling kantor sang ayah. "Sedangkan lihat kantormu ini, sangat modern dan dilengkapi teknologi smart office. Aku ingin yang sama seperti ini." Ucapnya angkuh.
Abraham terkekeh. "Kamu tidak akan mendapatkan semua fasilitas yang sama dengan Daddy. Daddy adalah presiden direktur. Sedangkan kamu, masih calon pewaris perusahaan."
"Calon? Daddy selalu mengatakan bahwa aku adalah pewaris Daddy! Aku akan menjadi wakil presiden direktur. Itu yang Daddy katakan saat aku masuk kuliah." Ucapnya tercengang.
"Iya, memang benar Daddy mengatakan itu. Tapi sekarang kamu harus melihat realitasnya. Perusahaan Daddy adalah perusahaan yang sudah sangat besar. Kamu harus melewati serangkaian tes untuk bisa mencapai posisi wakil presiden direktur. Daddy tidak ingin mengambil resiko dengan memberikan tanggung jawab yang besar ini pada kamu yang masih belum siap."
William bangkit dari duduknya dengan geram. "Tes? Daddy ingin mengetes apa lagi? Tidakkah Daddy melihat bagaimana prestasiku selama kuliah? Aku sudah lebih dari siap! Daddy juga sering membawa aku ke beberapa rapat penting, Daddy mengatakan aku sudah cukup layak! Lalu Daddy ingin tes seperti apa lagi?!"
Abraham menopangkan kakinya dengan santai, membiarkan sang putra meluapkan emosinya. "Kamu kira selama ini Daddy tidak tahu apa yang kamu lakukan? Berfoya-foya, berpesta setiap saat. Kamu selalu hidup nyaman dan tak pernah berusaha keras akan sesuatu. Dan juga..." Abraham menatap sang putra dengan lekat. "Perempuan-perempuan yang kamu pacari itu, tak terhitung berapa jumlahnya."
"Tapi, Dad..."
"Menikahlah." Abraham segera memotong ucapan William dengan kata-kata yang membuat Willian benar-benar tercengang.
William mengulangi. "Menikah? Aku? Tidak akan pernah, Dad! Aku tak akan menikah seumur hidupku!" William mendekat pada sang ayah, duduk di sampingnya. "Daddy tahu, wanita adalah hidupku. Aku tidak bisa hidup hanya bersama satu wanita. Sama seperti Daddy dulu, 'kan?"
Abraham berdeham mendengar masa lalunya disinggung oleh sang putra. "Kamu tahu, Nak. Menikah akan membuat kamu belajar tentang tanggung jawab. Kamu juga akan bahagia. Kamu tidak perlu banyak wanita. Cukup satu, tapi kamu cintai dia dengan sepenuh hati kamu, maka kamu akan mendapat kebahagiaan jauh lebih besar dari kehidupan kamu sekarang."
William memijit keningnya yang tiba-tiba berdenyut nyeri. "Daddy benar-benar sudah gila." Gumamnya.
Abraham bangkit dari duduknya dan melangkah menuju meja kerjanya lagi. "Menikah, atau kamu akan melihat perusahaan Daddy dikelola oleh managemen profesional."
"Dad!" Protesnya.
Abraham menatap sang putra dengan tajam, keputusannya sudah final dan tidak bisa diganggu gugat. "Menikah, atau kamu buang jauh-jauh pemikiran kamu untuk duduk di posisi Daddy."
William Hart
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments
Nur Azizah
masih terus nyimak karyamu kakak ,,,,
2025-02-25
1
Srimul Dyata
Sangat tampan tapi suka ganti2 pasangan
2024-08-25
1
Erni Fitriana
ulala..jet set...visual abraham thor..pasti macho
2024-06-23
1