Sore harinya, Vita menemui Elbert di kamarnya, dengan dandanan yang serba kuning. Ia menguncir rambutnya dengan pita kuning, serta menggenakan baju dan kaos kaki berwarna kuning. Tidak lupa, ia juga membawakan jus jeruk untuknya.
"Elbert, lihatlah! Kali ini aku membawakan jus jeruk untukmu!" seru Vita dengan senyum selebar mungkin.
Melihat kedatangan Vita, Elbert segera mengusirnya. "Pergi kamu! Aku tidak ingin bertemu denganmu!"
"Elbert, aku sudah susah payah berdandan untukmu. Tolong hargai aku," pinta Vita dengan wajah yang sengaja dibuat memelas.
Pria itu malahan memarahinya. "Kamu berdandan serba kuning seperti orang gila! Kamu pikir aku sudi dirawat oleh pasien rumah sakit jiwa sepertimu?"
Vita sadar bahwa dirinya tampak aneh di mata Elbert. Lalu ia memberinya penjelasan. "Apakah kamu tahu, bahwa warna kuning adalah simbol untuk keceriaan dan optimisme? Aku sengaja memakai warna ini, agar kamu bisa memiliki hati yang ceria dan penuh semangat!" kata Vita antusias.
Elbert menatap Vita dan membalasnya dengan ketus. "Apakah kamu tidak tahu, bahwa warna kuning itu pertanda kematian atau datangnya wabah? Kamu lihat saja di jalan. Apabila ada orang yang meninggal, mereka akan memasang bendera warna kuning. Kamu sengaja memakai warna kuning, karena ingin aku cepat mati?"
Vita tercengang. "Elbert, aku tidak membawa bendera warna kuning. Hanya pakaian dan aksesoris yang berwana kuning," ujarnya membela diri.
"Aku benci warna kuning! Warna kuning juga memiliki arti negatif sebagai simbol pengkhianatan. Aku benci dikhianati!" teriak Elbert.
Vita menghela napas. "Baiklah, aku akan berganti pakaian kalau begitu. Apa warna kesukaanmu? Aku akan memakai warna kesukaanmu saja kalau begitu."
"Aku suka warna biru," ucap Elbert pelan sambil memalingkan mukanya.
Vita merasa senang karena kali ini, Elbert tidak meninggikan suaranya. Dengan antusias gadis itu berkata, "Oke, tunggu sebentar. Aku akan segera kembali dengan warna biru." Dan dengan secepat kilat, Vita segera mengganti bajunya dengan warna biru.
"Taraaa!!! Aku sudah datang dengan warna biru!" seru Vita sambil mengangkat kedua tangannya di depan Elbert.
Elbert melirik ke arah Vita. Lalu ia berujar, "Jusnya masih berwarna kuning."
"Ini jus jeruk, tentu saja warnanya kuning," jawab Vita.
Elbert berkata, "Berikan aku minuman yang juga berwarna biru."
"Kamu sedang sakit. Kamu tidak boleh minum sembarangan," ujar Vita.
Elbert membalas Vita. "Memangnya aku memintamu untuk menyuguhkan minuman beralkohol atau minuman bersoda? Aku hanya menyuruhmu membuatkan minuman berwarna biru!"
"Tapi ..., memangnya ada minuman dari bahan alami yang berwarna biru?" tanya Vita ragu.
Elbert menjawab, "Kamu tidak pernah tahu minuman dari bunga telang?"
Vita menggeleng.
"Cari di ponselmu! Ponselnya saja yang pintar, tapi pemiliknya tidak!" semprot Elbert.
Walau kesal dengan kata-kata Elbert, Vita menurut dan mencari informasi tentang minuman bunga telang di internet.
"Bagaimana, kamu pikir aku hanya mengada-ada?" tanya Elbert.
Vita berujar, "Baiklah, aku akan membuatkan minuman dari bunga telang untukmu."
"Aku mau yang berasal dari bunga telang segar. Yang harus kamu petik sendiri dari tanamannya. Awas kalau kamu berani menipuku!" ancam Elbert.
Setelah keluar dari kamar Elbert, Vita berpikir, di mana ia bisa mendapatkan bunga telang? Lalu Vita teringat, bahwa di rumah sakit universitasnya, ia pernah menemukan bunga berwarna biru seperti itu. Kemudian Vita meminta izin kepada Carissa, untuk pergi ke rumah sakit sebentar.
Sesampainya di rumah sakit, Vita tidak diizinkan masuk sebelum jam berkunjung pasien. Vita bukan lagi mahasiswa ataupun dokter di sana, sehingga ia harus menunggu di luar.
Dua jam kemudian, akhirnya Vita diizinkan untuk masuk. Baru beberapa langkah ia masuk, dari kejauhan Vita melihat pemandangan yang membuatnya merasa pilu. Beberapa temannya dari fakultas kedokteran sedang berjalan di lorong rumah sakit.
"Seandainya aku memiliki biaya, aku akan berada di sini untuk menjalani koas kedokteran, bukan untuk mencari bunga telang," batin Vita sedih.
Namun Vita tidak ingin terlalu larut dalam kesedihan. Ia segera menuju taman untuk mencari bunga telang. Di sana, ia menemukan beberapa bunga berwarna biru keunguan.
"Astaga, ternyata ini bukan bunga telang!" ucap Vita kesal.
Belum hilang kekesalan Vita, seseorang menegurnya dari belakang. "Sedang apa kamu berjongkok di antara tanaman bunga, Vita? Sepertinya kamu sudah beralih profesi menjadi tukang kebun."
Vita menoleh dan ia melihat Tasia, salah satu rivalnya saat dulu berkuliah di fakultas kedokteran. "Itu bukan urusanmu," balas Vita.
"Kudengar kamu tidak bisa melanjutkan kuliah, karena papamu melakukan penipuan dan dipenjara. Kasihan sekali nasibmu Vita," kata Tasia dengan nada menghina.
Hati Vita terasa panas. "Papaku tidak bersalah! Ia dijebak oleh seseorang!"
"Benarkah seperti itu? Tapi kudengar, papamu sudah mengakui perbuatannya." Sambil tersenyum penuh kemenangan, Tasia melanjutkan perkataannya, "Biasanya, buah tidak jatuh jauh dari pohonnya. Jangan-jangan selama ini, kamu juga melakukan penipuan atau kecurangan, sehingga kamu selalu menjadi yang terbaik di kelas."
Vita menatap tajam ke arah Tasia dan membalasnya, "Kurasa itu kata-kata dari orang yang iri."
"Aku? Iri padamu? Untuk apa aku iri denganmu sekarang? Lihatlah dirimu, betapa menyedihkannya! Kamu tidak bisa berkuliah sepertiku, malahan berjongkok di taman rumah sakit. Atau jangan-jangan, kamu sedang mengumpulkan bunga untuk sesajen, agar nasibmu bisa berubah menjadi lebih baik? Vita, Vita, betapa malangnya hidupmu!" cemooh Tasia.
"Tasia, jangan berkata yang tidak-tidak!" seru seseorang.
Baik Tasia maupun Vita, sama-sama menoleh ke sumber suara itu. Ternyata dokter Arif sudah berada di belakang mereka. Melihat kedatangan pria yang disukainya, Tasia menjadi salah tingkah. Akhirnya ia memilih untuk pergi dari tempat itu, karena merasa malu.
"Kamu sedang apa?" tanya dokter Arif kepada Vita.
Vita menjawab, "Elbert yang menjadi pasienku, meminta minuman bunga telang. Kupikir aku bisa mendapatkannya di sini. Tapi ternyata ini bukanlah bunga telang. Sekarang aku tidak tahu harus mencarinya di mana?"
"Kamu tidak mencoba membeli bunga telang secara daring saja?" usul dokter Arif.
Vita menggeleng. "Elbert meminta bunga telang segar yang kupetik sendiri dari tanamannya."
"Bagaimana kalau kita mencari bunga telang di penjual tanaman saja?" ujar dokter Arif.
Mata Vita berbinar. "Benar sekali! Kenapa tidak terpikirkan olehku sebelumnya!"
"Mau kuantar? Urusanku sudah selesai di sini," tanya dokter Arif.
Vita tersenyum, "Boleh. Terima kasih, Dok."
Bersama dokter Arif, Vita berkeliling kota Semarang untuk mencari tanaman bunga telang. Ternyata, tidak semua tempat menjual tanaman itu. Setelah mendatangi lima tempat, akhirnya mereka berhasil mendapatkan bunga telang.
"Terima kasih untuk hari ini, Dok," ucap Vita, ketika dokter Arif mengantarkannya di depan rumah Elbert.
Dokter Arif tersenyum. "Sama-sama. Apabila kamu ada butuh bantuan, kamu bisa menghubungiku."
Vita mengangguk. Dan setelah berpamitan, ia segera masuk, dan membuatkan minuman bunga telang untuk Elbert. Namun ketika Vita menyajikannya, Elbert malahan tidak mau meminumnya.
"Kamu tidak mau meminumnya?" tanya Vita kesal.
Elbert menjawab, "Seleraku sudah berubah."
"Aku sudah susah payah membuatkannya untukmu!" seru Vita emosi.
Elbert membalas Vita, "Salah sendiri kamu begitu lama! Minum saja sendiri kalau begitu!"
Vita masih berdiri sambil membawa minuman bunga telang. Ia merasa sangat marah dengan Elbert sekarang.
"Untuk apa kamu masih di sana? Segera keluar dari kamarku!" usir Elbert.
Dengan hati yang dipenuhi kemarahan, Vita segera menuju dapur. Ia segera membuang minuman itu ke wastafel.
"Susah payah aku mencari dan membuatkan bunga telang ini. Kamu malahan tidak mau meminumnya! Elbert, sialan kamu ya! Nyonya Carissa, putramu menyebalkan sekali!" seru Vita dengan emosi yang meluap-luap.
Setelah membuang minuman itu, Vita berbalik. Betapa terkejutnya dia, karena Carissa ada di belakangnya.
"Mengapa kamu berteriak memanggil namaku?" tanya Carissa.
Vita menjadi panik. Ia memang merasa marah dengan Elbert. Namun dirinya tidak bermaksud, untuk bersikap yang tidak sopan kepada Carissa.
"Nyonya Carissa, maafkan saya," ujar Vita sambil membungkukkan badannya.
Carissa berkata, "Ada yang ingin saya bicarakan denganmu. Ikuti saya."
Vita menelan ludahnya dan mengikuti Carissa. Ia menjadi khawatir, apa yang akan dikatakan mama Elbert itu kepadanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments