Di tempat yang seharusnya Nabila berada.
Olivia membuka matanya setelah mendengar cerita Nabila, anak Abimanyu, diculik oleh seseorang. Tatapan Olivia bergeser pada Rara, ibunya Nabila, yang kini sudah tenang setelah meraung-raung ketakutan akan keadaan putrinya.
Dia bilang dia mendengar suara Nabila minta tolong setiap kali dia terpejam.
"Enggak mau," kata Olivia, membuat semua orang di sana terbelalak. "Enggak sudi gue nyelametin."
Olivia adalah kepala dari divisi intelejen di bawah kendali Rose. Mereka semua tahu orang yang menculik Nabila bukanlah sekadar penculik yang meminta tebusan uang namun seseorang yang dendam, disokong oleh organisasi internasional. Karena itu butuh seseorang sejenis mereka mencarinya. Bukan sekadar polisi, apalagi modal sekoper uang.
"Olivia!" Abimanyu menggebrak meja, tapi hampir bersamaan dengan Olivia menendang kursi.
"Selametin sendiri!" teriak wanita itu. "Urusin sendiri anak lo! Lo Abimanyu, lo juga Rara, ngelahirin dia tanpa mau dengerin saran gue sama Rose kan? Nah, sekarang rasain! RASAIN! Cari tuh anak lo yang perlu dikasihanin karena punya orang tua macem lo berdua!"
Bertahun-tahun lalu, Olivia sudah memperingatkan dan sampai detik ini ia sudah tidak pernah lagi bicara apa-apa. Sudah ia bilang jangan. Sudah ia bilang anak itu akan menderita. Tapi masih saja mereka keras kepala.
Anak itu tidak salah telah lahir. Itu salah kedua orang tuanya melahirkan anak itu saat mereka tahu dia akan menderita. Anak itu tidak seharusnya menderita, tapi begitu dia lahir, dia pasti akan menderita karena jauh lebih mudah menyiksa anak kecil tidak berdaya daripada orang tuanya.
Padahal sebelumnya mereka bisa memilih tidak membuatnya. Kalau menggugurkan kandungan, Olivia tidak akan setuju. Tidak boleh membunuh anak bahkan ketika dia belum punya jiwa di perut. Tapi Nabila adalah anak yang direncakan ada saat Abimanyu dan Rara sudah tahu bahwa hidup mereka menolak keberadaan anak itu.
"Olivia—"
"Kenapa gue mesti susah, hah? Kenapa gue perlu ngurusin hal yang gue aja enggak digaji? Lo berdua kan ngerasa bisa ngelindungin dia. Silakan. Hidup kalian bukan hidup gue."
"Tante." Abirama beranjak. Mendekati wanita yang telah berperan sebagai ibu dalam hidupnya selama ini. "Bukan buat Papa atau Tante Rara, tapi buat Bila. Tante tega biarin Bila?"
"Tante tega?" Olivia menunjuk dirinya sendiri. "Tante kamu bilang tega? Terus mereka gimana? Kasihan? Enggak salah? Abirama, dunia enggak diciptain buat muasin perasaan siapa pun. Mau punya anak bukan berarti harus punya anak. Tante kasian sama Nabila, tapi urusan Tante udah putus waktu mereka nolak saran Tante."
Olivia menunjuk Abimanyu.
"Gue bilang ke elo dulu, Brengsek. Gue bilang! GUE BILANG! GUE. BILANG. KE. ELO! GUE JELASIN SEJELAS-JELASNYA KE ELO BERDUA!"
"Tapi wah, lo berdua enggak ngerasa harus dengerin. Fine, terserah! Jadi jangan pernah berani minta gue ngapa-ngapain lagi sekarang. Lo berdua yang ngelakuin, lo berdua yang tanggung jawab."
Olivia beranjak pergi.
Abirama berusaha menyusulnya untuk membujuk, sedangkan Rose di meja hanya tersenyum kecil.
"Aku akan meminjamkan orang-orangku pada kalian untuk mencari anak itu, tapi aku tidak akan memaksa mereka. Jika Olivia menolak, itu sepenuhnya hak Olivia."
Abimanyu mengusap kasar wajahnya. Otaknya berputar memikirkan bagaimana cara ia menemukan putrinya, bersama penyesalan yang diam-diam menyusup.
Apakah membiarkan Nabila lahir ... adalah bentuk kekejam Abimanyu dan Rara terhadap anak itu?
"Hiks hiks, Bila, Sayang. Kamu di mana?" Rara kembali menangis.
Abimanyu menghela napas. Tidak. Ia tidak boleh memberi waktu tubuhnya beristirahat sedetik saja sebelum putri kecilnya kembali. Anak itu pasti sedang menangis menunggu papanya datang.
Abimanyu beranjak, pergi menyusul ke tempat Olivia pergi. Ada hal yang tidak bisa Abimanyu lakukan bahkan kalau ia bisa membayar banyak orang dan menggunakan otoritasnya sebagai ajudan perdana menteri.
Ada hal yang hanya bisa dilakukan oleh Olivia saja.
"Tante, Rama mohon. Kalo Tante marah sama Papa sama istrinya pun terserah Tante. Tapi Bila enggak ada urusan sama itu."
Suara Abirama terdengar masih memelas.
"Tante, Bila adek aku satu-satunya. Satu-satunya di dunia. Tolong. Buat aku."
Abimanyu mendorong pintu ruangan mereka.
"Lo benci sama gue, Liv?" tanyanya pelan. "Lo bakal puas kalo gue menderita? Lakuin yang lo mau. Apa aja terserah lo. Lo mau cabutin kuku gue satu-satu juga terserah lo."
"...."
"Asal bukan Bila."
Anak itu saja. Anak tersayangnya. Abimanyu rela memberikan apa saja, bahkan kepalanya ini secara sukarela kalau itu bisa membawa putrinya pulang ke pelukan ibunya.
"Liv."
"Tante."
Olivia menatap Abimanyu tajam. "Cuma buat anak lo."
Itu sudah lebih dari cukup.
*
Pintu kamar tempat Elis mengurung Nabila akhirnya dibuka setelah dua hari ia dibiarkan. Setiap kali mengingat kematian Sakura, putri satu-satunya, Elis sedikitpun tidak merasa kasihan menyiksa anak Abimanyu dan Rara itu.
Bahkan Elis justru ingin mengumumkan pada dunia, pada Abimanyu dan pada istri pelacurnya itu, bahwa lihat! Lihat di sini putrinya tersiksa sebagai hukukan telah menyiksa Sakura.
Rasakan siksaan yang Elis rasa ketika ia melihat putrinya menjadi istri pria kejam itu, lalu semakin terluka karena kedatangan pelacur tak tahu malu itu.
Lihat lalu menangis darahlah karena Elis akan terus menyiksanya.
"Sini kamu!"
Dari dalam kamar, Nabila buru-buru datang, menahan rasa sakit di badannya agar tidak ditambah lagi.
"Udah jera kamu kabur? Hah? Udah ngerti kamu di sini harus ngapain?!"
Nabila mengangguk. Otak kecilnya menyuruh ia untuk selalu patuh agar tidak merasakan sakit itu.
Badannya sudah biru-biru. Nabila takut sampai rasanya jantung ini mau copot dari tempat. Kalau menurut membuatnya tidak dilukai, Nabila akan menurut.
"Sana ke dapur bantu-bantu! Awas kamu kalo mecahin piring lagi!"
Nabila mengangguk lagi, berlari menuju dapur cepat-cepat. Linu di kakinya terasa sangat sakit tapi Nabila tidak menangis lagi.
Anak itu pergi ke sisi pembantu dewasa, menarik-narik pakaiannya sebagai isyarat ia akan membantu.
Dengan tangan kecil yang penuh lebam, Nabila mengulurkan tangannya. Minta apa saja yang harus ia kerjakan agar nanti diberi makan.
Lina, pembantu Elis yang juga dibawa dari negaranya, meringis melihat tangan Nabila. Tidak seperti Fina, Lina tidak benar-benar mendukung tindakan tuannya. Lina hanya tidak bisa berbuat baik karena Elis pasti akan marah.
"Kamu bisa kupas bawang, kan?" tanyanya ragu.
"Lina, ngapain kamu?" tegur Elis di ujung pintu dapur. "Udah kasih aja. Kalo dia salah nanti ditegur, biar jera dia bikin salah."
Nabila menerima pisau dan mangkuk berisi bawang untuk dikupas. Nabila tidak pernah mengupas bawang sebelumnya tapi ia akan mengerjakan apa pun jika itu bisa melindungi dirinya.
"Tangan kamu berdarah." Suara Rahwana tiba-tiba terdengar di belakangnya.
Nabila spontan menyembunyikan tangannya, takut-takut melirik Elis karena mungkin dia akan marah jika bawangnya terkena darah.
"Rahwana, enggak usah kamu liatin." Elis merangkul anaknya pergi. "Dia itu penyakitan. Kalo kamu deket-deket nanti ketularan."
"Iya, Mama."
Nabila menggigit bibirnya, berusaha keras tidak sedih.
Dalam hati ia ingin sekali berkata kalau ia tidak penyakitan. Tapi mulutnya terkunci rapat dan otaknya berkata jika ia bicara maka dunianya akan semakin terasa neraka.
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 181 Episodes
Comments
Lia
bingung mau komen apa......
Bila.... km harus kuat ya.....
2023-10-18
1