Istri Diam-Diam Tuan Muda
Di sebuah desa, pedalaman India.
Seorang anak gadis berusia tujuh tahun tengah memegang sapu di tangannya sambil menangis terisak-isak. Tangan kecil gadis itu bergerak sesekali menyapu dedaunan yang mengotori halaman, tapi nampak jelas bahwa dia sedang tidak mampu lantaran tangisannya.
Nabila nama anak itu.
Yang hati kecilnya sedang merintih agar seseorang datang menyelamatkannya dari tempat entah di mana ini.
"SIAPA YANG NYURUH KAMU NANGIS?!" teriak sebuah suara yang membuat Nabila terkesiap takut.
Dengan tangan gemetaran Nabila kembali menyapu, melipat bibirnya ke dalam agar tidak ketahuan menangis. Ia berusaha cepat menyapu, tapi anak kecil itu hanya berusia tujuh tahun.
Alih-alih menyelesaikan pekerjaan lebih cepat, kakinya justru tersandung, jatuh di atas permukaan tanah yang begitu panas.
"Dasar anak haram!" Wanita tua itu datang lagi bersama tongkat bambu di tangannya. "Saya nyuruh kamu nyapu! Siapa suruh kamu tiduran?!"
"Huaaaaaaaa!" Nabila menangis keras, meringkuk ketakutan.
Tangisan yang bukan membuat wanita itu kasihan tapi justru tampak semakin marah.
Diraih rambut panjang Nabila yang panjang, memaksanya untuk berdiri. Tanpa ampun pukulan rotan mengenai kaki-kakinya yang masih tampak membiru akibat pukulan kemarin dan kemarin-kemarinnya.
"Siapa yang nyuruh kamu nangis?!" bentak wanita itu, emosi.
Dia terlihat tidak peduli sekalipun Nabila memohon ampun. Ada dendam berkobar di matanya, seakan-akan anak tujuh belas tahun itu adalah pelaku yang menghancurkan hidupnya.
"KAMU ENGGAK BERHAK NANGIS! ENGGAK ADA HAK KAMU DI SINI! KAMU ENGGAK BOLEH NANGIS, ENGGAK BOLEH NGOMONG, ENGGAK BOLEH MINTA! KALO SAYA SURUH NYAPU, TUGAS KAMU CUMA NYAPU! PAHAM KAMU?!"
"Argg, sakit!" Nabila berusaha keras melindungi kakinya yang sudah lecet. "MAMA, PAPA!"
Emosi di mata wanita itu justru semakin berkobar. Dari bagaimana Nabila memanggil pertolongan orang tuanya justru membuat dendam itu semakin pekat.
"KAMU ITU ANAK HARAM!" Tamparan keras mendarat di wajah Nabila. "Papamu itu badjingan! Mamamu pelacur! Mereka yang bunuh anak saya! Sebelum Mama sama Papamu masuk neraka, kamu mesti nanggung kesalahan mereka di sini! Ngerti kamu?!"
Anak itu sama sekali tidak tahu apa yang dia katakan. Sejak awal ia datang, sejak awal ia dilempar ke sini, dia terus mengatakannya.
Berkata bahwa semuanya salah Mama dan Papa. Nabila tersiksa karena kedua orang tuanya berbuat dosa besar membunuh anak wanita ini.
Dan setiap kali kalimat itu keluar, pukulan demi pukulan menyakitkan akan Nabila terima.
Padahal hidupnya masih biasa saja beberapa waktu lalu. Semuanya baik-baik saja beberapa hari yang lalu.
"Papa mau pergi?" tanya Nabila pada papanya karena Papa tampak sangat rapi. "Papa enggak pulang besok? Papa pulang kapan?"
Papa langsung menggendong badan kecil Nabila, mendekapnya seolah ingin dunia tahu bahwa tidak ada yang boleh menyakiti anak itu. "Papa mau temenin Rose dulu. Bila baik-baik sama Mama sama Nenek, yah?"
"Bila mau ikut juga, Papa."
Mama tertawa mendengar permintaan Nabila. "Mama aja enggak boleh ikut, apalagi kamu. Di sana banyak orang serem, loh."
"Ohya? Kalo gitu Bila enggak mau." Nabila balik memeluk leher papanya. "Tapi Papa pulang cepet yah. Jangan lama-lama perginya."
"Mana tahan Papa pergi lama ninggalin Bila."
"Hehe."
Lalu Papa mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Kartu hitam yang Nabila kenali sebagai kartu ajaib karena membuatnya bisa bebas beli apa saja.
"Nih, bawa sama Mama. Tapi buat Bila aja, soalnya Mama punya sendiri."
Mama pura-pura berbisik, "Nanti bagi Mama juga yah?"
Nabila menyengir lebar bersama tawa kedua orang tuanya.
Tak ia sangka bahwa itu adalah tawa terakhir sebelum dunianya tiba-tiba berubah jadi neraka.
"Hiks." Sekarang Nabila cuma bisa meringkuk sendirian, tak merasakan pelukan hangat Mama, tak merasakan dekapan aman Papa, tapi diselimuti oleh rasa sakit dari pukulan tanpa perasaan wanita yang tidak ia kenali.
Nabila ... ingin pulang.
*
"Ugh."
Nabila terbangun dari tidurnya—atau bisa disebut pingsan setelah dipukuli—dan menyadari bahwa ia masih di halaman. Wanita tua itu bahkan tidak menyuruh seseorang menggendong Nabila masuk ke dalam rumah dan membiarkannya tidur di sana hingga malam.
Nabila berusaha duduk. Hampir menangis lagi saat merasakan sakit di tubuhnya.
Anak itu menunduk, menemukan bekas-bekas darah kecil keluar dari betisnya yang dipukuli. Bibir Nabila bergetar, matanya berkaca-kaca, kasihan pada dirinya sendiri tapi tak bisa melakukan apa-apa.
Apa Papa dan Mama sudah melupakannya sampai mereka tidak datang menyelamatkan Nabila?
"Anak pelacur," panggil seseorang yang Nabila kenali sebagai pekerja rumah. "Kalo udah bangun buruan masuk! Banyak piring perlu dicuci!"
Nabila takut dipukuli lagi, jadi ia berusaha untuk berdiri walau berakhir jatuh. "Aku lapar," keluhnya polos. "Tante, kasih aku makan."
"Heh! Kamu kira aku ini mama kamu?!" Pembantu itu menarik telinga Nabila. "Jangan manja kamu! Buruan berdiri, cuci piring!"
"Argh!"
"Buruan! Kamu mau dipukul lagi?!"
Tapi Nabila lapar. Badannya tidak bisa bergerak karena tidak punya tenaga. Pada akhirnya Nabila menangis lagi.
"Emang dasar anak pelacur!" caci pelayan itu. "Kerjamu tuh nangis aja dari kemarin. Denger yah, kamu di sini bukan siapa-siapa. Jangan kira kalo kamu nangis Mama sama Papamu bakal dateng!"
"Huaaaaaa!"
"Berisik!" Pelayan itu melayangkan tendangan yang menbuat Nabila tersungkur.
Nyonya Rumah mengizinkan semua orang berbuat seenaknya pada Nabila. Terserah mau dipukul, dimarahi, apa pun asal dia hidup. Terlebih Fina, pelayan itu, tahu cerita dibalik dendam Nyonya.
Anak ini adalah anak pelakor yang merebut suami dari anak Nyonya Elis, hingga Sakura, anak sang nyonya memutuskan bunuh diri. Mereka sudah menunggu waktu bertahun-tahun membalas dendam kematian Sakura lewat anak ini.
"Enggak usah banyak omong kamu! Buruan masuk, cuci piring! Kalo laper, sekalian aja makan makanan kotor di piring bekas!"
"Ini kenapa?" Sebuah suara mengejutkan Fina hingga menoleh. Keterkejutannya bertambah saat mengetahui itu adalah suara Rahwana, anak dari Nyonya-nya yang berusia satu tahun lebih tua dari Nabila.
"Tuan Muda." Fina membungkuk. Lalu ia menjelaskan, "Nyonya nyuruh saya manggil anak ini cuci piring, tapi dia enggak mau."
Nabila lagi-lagi meringkuk di tanah. Masih sulit baginya intuk bersikap kuat di tempat yang seakan-akan hanya ingin menyiksanya ini.
"Aku lapar," rintihnya pilu. "Mama, Bila lapar."
Fina mendelik. "Anak pelacur diem aja!" Sebuah tendangan lagi-lagi mengenai tubuh Nabila.
Rahwana berdecak. "Berisik," gumamnya, yang terdengar ke telinga Fina.
"Maaf, Tuan Muda, emang dia ini masih susah diatur. Nanti saya pukulin biar dia mau denger."
Rahwana tidak menjawab, hanya melihat gadis kecil itu meringkuk di tanah seperti serangga.
Anak itu berjalan melewati mereka, masuk ke rumahnya. Namun tak lama dia keluar lagi, memegang selembar roti bakar yang kemudian dilemparkan ke tanah.
"Nih, makan. Jangan nangis mulu."
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 181 Episodes
Comments
Dwi Budianti
kejamnya kukira 17 tahun..jadi ingat anak laki laki umur tujuh tahun yg disiksa bapak kandung ,ibu tiri ma saudara saudara ibu tiru..mpe badannya kuruuuuss banget 😭😭..yang beritanya lagi viral dimalang..
2023-10-17
1