"Semuanya dosa Mama sama Papamu!"
"Harusnya kamu enggak dilahirin, dasar anak sial!"
"Mama kamu cuma pelacur! Denger kamu?! Pelacur!"
Entah sudah berapa lama hari berlalu tapi Nabila sudah terlalu terbiasa mendengar hinaan tersebut. Saking terbiasanya, Nabila bahkan tidak perlu menoleh lagi ataupun tersentak jika seseorang menghinanya.
Ia pun sudah semakin terbiasa hidup di lingkungan ini.
Seperti sekarang ia membawa kantong-kantong belanjaan dari pasar, sendirian melangkah tanpa alas kaki. Nabila pergi ke pasar bersama Elis, tapi wanita itu menyuruhnya berjalan pulang karena mobil dipenuhi mainan untuk Rahwana.
Tiba-tiba ....
Tuk!
Nabila terkejut merasakan lemparan batu di kakinya. Akan tetapi sedetik kemudian Nabila diam, kembali berjalan.
"Anak sial," kata orang-orang yang melihatnya.
"Jangan lewat depan rumah saya! Kamu bau!"
"Pergi sana jauh-jauh!"
"Dasar anak pelacur."
Elis memberitahu semua orang desa bahwa Nabila adalah anak pelacur hingga semua orang desa memandangnya sebagai manusia aib. Nabila tidak tahu apakah itu benar atau tidak, karena salah pun tidak mengubah fakta semua orang membencinya.
Bagi Nabila sekarang kehidupan nyaman hanyalah mimpi-mimpinya. Anak itu pun mulai percaya bahwa ingatan manis di kepalanya tentang Mama dan Papa hanyalah khayalan. Semakin lama Nabila sendiri semakin melupakan siapa dirinya.
"Lama banget kamu jalan," cerca Elis saat Nabila sampai bersama kantong-kantong belanjaan berat. "Rahwana udah laper. Sana potongin buah dulu buat anak saya. Habis itu kamu masak."
Nabila mengangguk. Berlari ke dapur untuk memotong-motong buah.
Sebenarnya ada banyak pembantu yang lebih dewasa. Jelas ada pekerja yang bisa melakukan hal lebih baik daripada anak kecil. Tapi Elis rela melihat pembantu yang dia bayar santai-santai saja asalkan bisa membuat Nabila terseok-seok bekerja.
Saat Nabila sibuk memotong-motong kotak buah apel, telinganya menangkap percakapan antara Lina dan Fina.
"Yang bener kamu? Jadi duda kaya itu ceritanya mau ngelamar kamu?" Begitu Fina berucap, pada Lina.
"Katanya sih gitu." Lina tersenyum-senyum senang tapi juga bingung. "Masalahnya, kata dia kalo kita nikah, aku harus tinggal sama mereka."
"Yaelah, mending kamu nikah aja. Jelas lebih enak daripada kerja."
"Gitu yah?"
"Keluarganya dia ada yang ganteng enggak? Kenalin aku juga dong! Siapa tau kan beneran nikah sama cowok India tulen. Pasti cakep-cakep anakku nanti."
Lina mau menikah? Kalau dia menikah dia boleh pergi?
Nabila terus memikirkan itu sampai lupa bahwa ia sedang disuruh. Tentu saja tak butuh waktu untuk Nabila diteriaki.
"BISU!"
Lina dan Fina langsung menoleh pada Nabila.
"Lelet amat jadi anak!" bentak Fina. Wanita itu datang, mendorong Nabila. "Sana buruan! Capek tau enggak dengerin Nyonya marah terus gara-gara kamu!"
Nabila hampir tersandung dibuatnya. Tapi ia berusaha cepat, tidak mau memberi alasan bahi Elis memukulnya.
Samar-samar ia mendengar Lina berkata, "Kasar banget kamu sama dia. Kan enggak perlu juga, Fin."
"Tapi faktanya dia anak pelakor kan? Enggak perlu dibaikin!" balas Fina. "Kamu baik sama dia mau dimarahin sama Nyonya?"
Lina langsung diam.
*
Nabila mendongak pada langit malam bersama semua lelah tubuh kecilnya. Ia memandangi rembulan di atas sana, tak bisa melepaskan pikiran tentang Lina yang katanya akan menikah.
Apa nanti Lina benar-benar pergi jika dia sudah menikah?
Kalau begitu ... kalau Nabila menikah juga ... ia akan pergi dari sini?
Tapi Nabila harus menikah dengan siapa?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 181 Episodes
Comments