Teriakan histeris seorang anak nampaknya sudah terbiasa didengwrkan dari kediaman megah itu. Semua penghuni rumah bahkan tetap melanjutkan aktivitas mereka tanpa peduli bagaimana anak kecil itu meminta ampun dan pertolongan agar tubuh kecilnya selamat dari rasa sakit.
"Siapa yang nyuruh kamu pecahin piring!" Elis melipat jemari kecil anak itu, memberinya rasa sakit baru setelah betisnya dibuat berdarah-darah. "Kamu itu disuruh cuci piring! Bukan malah pecahin piring! Kemarin kamu juga pecahin! Emang sengaja kamu kan?!"
Nabila menjerit histeris.
Ia berusaha menjelaskan bahwa ia tidak sengaja. Ia tidak tahu kenapa bisa menjatuhkannya. Tangan Nabila terasa lemas dan tiba-tiba piring itu jatuh.
Namun alih-alih menjelaskan, mulut anak itu hanya terus mengeluarkan teriakan sakit, permohonan ampun, dan air mata yang seolah tak mau kering.
"AKU MAU PULANG!" teriak Nabila di antara kewarasannya yang nyaris pecah. "AKU MAU MAMA! MAU MAMA! PAPA, TOLONG BILA!"
Plak!
Elis menanpar wajah anak itu penuh dendam. Matanya melotot lebar, merasakan amarah yang memuncak tak peduli berapa kali ia melihat anak ini.
Elis kemudian berjongkok, menarik telinga Nabila sampai rasanya ingin robek.
"Kamu mau tau siapa yang salah?" bisik Elis di wajahnya. "Semuanya salah mamamu. Mamamu yang pelacur itu salah. Siapa suruh dia lahirin kamu. Dia pikir dia berhak bahagia habis bikin anak saya menderita?"
"MAMA! PAPA!"
Elis mencubit lengan Nabila sangat kuat. "Sebut lagi Papamu, ayo sebut. Mulai sekarang kalo saya denger kamu nyebut Mama atau Papamu, saya cubit kamu satu badan."
Nabila sudah terlalu sakit sampai ia buru-buru menutup mulutnya kuat. Tapi karena sakit juga, anak itu tidak bisa berhenti menangis.
Dia terus menangis sampai tubuhnya lelah dan lagi-lagi tak sadarkan diri.
*
Nabila sudah tidak tahan. Ia tidak ingin lagi dipukuli atau dicubit atau ditendang atau dibentak-bentak. Nabila ingin pulang. Ia merindukan Mama, Papa, Paman, Nenek, Kakek, semua orang yang tidak pernah menyakitinya.
Malam ini Nabila akan diam-diam pergi. Ia pernah melihat Mama pakai taksi. Paman supirnya tinggal diberitahu ingin ke mana lalu mereka akan mengantarnya ke rumah. Nanti di rumah baru Nabila minta uang pada Mama untuk membayar taksinya.
Anak itu berlari keluar ketika seluruh orang di rumah sudah tidur, persis saat malam begitu gelap. Walau takut, Nabila lebih takut pada rasa sakit.
Kakinya melangkah tanpa alas, berusaha keras menarik pintu gerbang agar terbuka. Nabila terus berlari kencang, meyakinkan dirinya bahwa sebentar lagi pasti ada jalan besar, ada banyak mobil, dan orang-orang yang bisa dimintai tolong mengantarnya pulang.
Tanpa gadis kecil itu sadari Rahwana mengikutinya. Sebagai anak yang lahir di sekitaran sini, tentu saja Rahwana hafal ke mana Nabila mau pergi.
Itu hutan.
Anak itu bukan sedang berlari ke jalan raya tapi hutan. Jika Nabila mencari jalan raya yang sering dia lihat, dia harus naik bus menuju kota dulu. Jika dia ingin pulang ke rumah, dia harus pergi ke bandara dulu.
Rumah yang dia impikan berada jauh di benua lain.
Makanya ketika Nabila sadar bahwa ia justru masuk ke hutan, gadis itu cuma bisa berteriak-teriak.
"MAMA! PAPA! BILA DI SINI! JEMPUT BILA!"
Rahwana mengangkat alisnya heran. Diam menyaksikan Nabila duduk, memeluk dirinya sendiri dan menangis lagi.
"Mama," rintih dia sambil terisak-isak. "Mama mana? Bila takut, Ma. Bila sakit."
Rahwana menghela napas. Memutuskan buat mendekat karena dia terus berteriak-teriak seperti orang bodoh.
"Oi."
Nabila tersentak. Menoleh ketakutan karena berpikir dia akan dipukul atau dicubit. Barusan Nabila menyebut Mama dan Papa.
Tapi ketika Rahwana di depannya, melihat gadis kecil itu melindungi dirinya secara menyedihkan, bocah lelaki itu cuma mendengkus.
"Mama Papa kamu udah enggak ada," kata Rahwana.
"Enggak! Mama sama Papa ada di rumah! Bentar lagi mereka jemput Bila!"
"Enggak bakal." Rahwana menatapnya tegas. "Kamu enggak bakal bisa pulang."
Nabila semakin terisak. "MAMA PASTI JEMPUT BILA!"
"Kalo kamu keras kepala, Mamaku bakal pukul kamu pake besi."
Nabila tertegun takut.
Namun Rahwana hanya mengatakan apa adanya. Tadi ia melihat Mama memegang sebatang besi yang katanya akan dipakai memukul Nabila jika Nabila tidak mau mendengarkan.
"Kalo kamu enggak mau sakit, kamu harusnya dengerin kata Mama. Makin kamu nakal, makin Mama nyiksa kamu."
"Hiks."
"Terserah kamu sih kalo enggak mau denger." Rahwana berbalik. "Toh yang sakit kamu sendiri."
Nabila ketakutan sampai tangannya mencengkram baju Rahwana, spontan berharap bantuan darinya.
Rahwana yang terkejut langsung menepis tangan Nabila, menatapnya kesal. "Mama ngelarang aku megang kamu!" tegasnya. "Mama bilang kamu penyakitan!"
"Bila mau pulang, hiks. Tolong."
"Aku bakal tolong kamu. Tapi bukan pulang ke rumah. Kamu ikut aku, kita pulang ke rumah aku. Soalnya kalo Mama tau kamu di sini, besok kamu bakal dipukulin lagi."
Nabila menggeleng, tidak mau pulang ke rumah menakutkan itu lagi.
Rahwana yang merasa sudah melakukan sebisanya pun berbalik, berjalan pulang ke rumah untuk melapor.
Kalau dibiarkan nanti dia malah tenggelam di sungai.
Dan sesuai kata Rahwana, begitu orang-orang menemukan Nabila, anak itu dibawa pulang, dipukuli oleh besi, lalu dikurung di dalam kamar gelap sampai dia tidak punya tenaga lagi untuk berteriak.
Semua itu hanya Rahwana saksikan. Anak itu tidak benar-benar paham kenapa Nabila disiksa, tapi Mama berkata orang tuanya Nabila telah membunuh kakaknya Rahwana dan membuat mereka tidak bisa bebas lagi.
Katanya kelahiran Nabila adalah sebuah penghinaan dan kesialan. Dia memang lahir untuk menderita. Orang tuanya sudah tahu anak itu kutukan tapi orang tuanya tetap memaksa dia ada.
Begitu yang Rahwana dengar.
"Oi." Meski Rahwana tidak tahu kenapa ia merasa agak kasihan.
Diam-diam ia pergi ke ruangan Nabila, membawakannya banyak roti dan air.
"Nih, makan."
Nabila mungkin kelaparan setelah dipukuli dan menangis hingga dia langsung melahapnya seperti binatang. Rambut dia yang panjang mendadak hampir botak digunting-gunting berantakan. Pipinya bengkak, matanya juga, dan jangan tanya badannya bagaimana.
"Kamu harusnya enggak lahir," kata Rahwana kasihan. "Semuanya salah Mama sama Papamu."
Nabila tampak kosong ketika dia mengangguk.
Rasa sakit telah memecahkan seluruh kewarasannya. Rasa sakit telah membuatnya mengerti bahwa ia tidak seharusnya lahir.
Semuanya salah Papa dan Mama.
"Mulai sekarang jangan nyebut Papa sama Mamamu lagi. Mungkin lama-lama Mama enggak bakal marah lagi."
Nabila mengangguk.
"Nama kamu siapa?" tanya Rahwana karena memang belum tahu.
Dia hanya sering dipanggil anak sialan, anak pelacur, anak haram.
Nabila menggeleng.
"Aku tanya nama kamu siapa?"
Mulut gadis kecik itu terbuka namun kemudian terturup lagi.
Dia berusaha untuk bilang bahwa dia tidak bisa mengeluarkan suaranya, entah kenapa.
*
Ramalan Rose sama Olivia akan jadi realita di sini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 181 Episodes
Comments
Zahra Zahwa
ini nih yg AQ gak suka kalo masih sedikit bab nunggunya mpe ubanan
2023-10-17
2
Lia
masih 2 bab, tp tensiku sudah mulai naik.......
ayo thor....... up lg, biar cepat masuk rumah sakit aq.....
2023-10-17
1
Anbu Hasna
mending menggila bareng Mahendra atau Sakura, daripada sama anak kecil
2023-10-17
1