'Bangsat!' batin Gisel saat tangannya tiba-tiba diraba oleh pria tua di depannya ini.
Hanya saja dia harus berpura-pura tersenyum manis, meskipun salah satu tangannya yang berada di bawah meja. Mengepal kuat-kuat, hingga memperlihatkan kuku-kuku jarinya yang memutih.
"Kalau kamu takut, kamu bisa kok tidur di kamar saya malam ini." Pak Soleh kembali melanjutkan ucapannya, seraya menyentuh permukaan tangan kanan Gisel makin kurang ajar.
Yang rupanya diam-diam diamati oleh Jean dari atas panggung. Karena hari ini, dia menjadi salah satu tamu undangan yang diharuskan untuk berbicara serta memberikan motivasi di depan.
Cukup lama, Jean mengamati aksi pak tua itu. Yang lama-kelamaan terlihat kurang ajar, hingga membuat tangan Jean gemas, sampai melemparkan mic yang ada di atas mejanya tepat ke arah kepala Pak Soleh begitu saja. Hingga membuat pria tua itu jatuh tersungkur ke lantai dengan darah yang mengucur deras dari pelipis sebelah kiri.
Sontak saja, hal itu membuat semua orang panik. Beberapa wanita juga menjerit karena keadaan yang begitu tak terkendali. Tak terkecuali Gisel tentunya. Meskipun beberapa saat yang lalu, dia sempat diperlakukan kurang ajar oleh pria tua itu.
Namun, Gisel jugalah yang menjadi orang pertama yang buru-buru menolong Pak Soleh. Dia segera membantu pria tua itu duduk kembali ke kursinya. Lalu minta bantuan pihak hotel untuk mencarikan obat.
Sedangkan Jean, sebagai pelaku malah bersikap biasa-biasa saja. Seolah-olah itu tak penting dimatanya. Lagi pula, tidak ada satu orang pun ditempat ini yang berani berbicara atau sekadar menatap matanya.
"Kau lihat pria tua itu?" tunjuk Jean dengan dagu pada salah satu orang yang mengatur acara pertemuan.
"Aku ingin namanya segera di-blacklist dari semua pertemuan. Dan juga, beritahu semua orang tanpa wanita bernama Gisela itu tahu. Siapapun yang berani mendekat atau menyentuh dia, maka mereka akan berurusan langsung denganku. Mengerti?" lanjut Jean, tanpa mengalihkan perhatiannya sedikitpun dari wajah Gisel yang masih panik dan cekatan membantu Pak Soleh.
Malam harinya, saat semua orang sibuk mengambil makanan di ruangan yang sudah disediakan hotel. Gisel merasa ada sesuatu yang janggal.
Seperti, hanya dirinya saja yang semenjak tadi sore tak memiliki satu orangpun teman. Maupun orang-orang yang menyapa atau mengajaknya berbicara. Gisel merasa dikucilkan di tempat itu.
Bahkan untuk makan saja, tak ada satu orang pun yang berani mendekati dirinya. Atau mengajaknya untuk makan bersama. Gisel benar-benar makan sendiri, di atas meja yang panjang dan sebenarnya muat untuk beberapa orang.
Namun, Gisel nampak cuek saja. Dia tak begitu mempermasalahkan kondisi seperti ini, asalkan dirinya masih bisa makan dan tak mendapat gangguan.
Wanita seksi itu memakan makanan miliknya dengan lahap, hingga tak sadar jika bangku disebelah kirinya tiba-tiba ditarik oleh seseorang. Kemudian diduduki.
"Boleh, duduk di sini?" tanya Jean dengan kepala yang sudah ditumpu dengan salah satu tangan menghadap ke arah Gisel.
Kontan saja, membuat Gisel langsung membuang wajah malas. Dan lebih memilih untuk melihat sepotong tahu baso yang masih tersisa di atas piringnya.
"Anda sendiri sudah duduk, kenapa masih meminta izin?" balas Gisel cuek tanpa menolehkan wajahnya ke arah Jean.
"Benar juga sih. Tapi, apa tahu baso lebih menarik dari pada melihat wajah tampanku ini?"
Secepat kilat, Gisel melirik wajah Jean yang sedang tersenyum ke arahnya lembut. Dengan pandangan memusuhi.
"Kalau niat Anda duduk di sini, hanya untuk menghilangkan selera makan saya, sebaiknya Anda pergi saja. Karena jika saya emosi saya bisa memakan orang!" ancam Gisel seraya menodongkan pisau makannya ke arah mata Jean.
Hanya saja, reaksi pria itu diluar dugaan. Bukannya takut atau merasa bagaimana. Jean malah terbahak-bahak sampai memegangi permukaan perutnya sendiri.
"Saya tidak tahu, jika ada orang selucu Anda." Jean kembali berucap, seraya menyentuh ujung mata pisau yang Gisel tujukan ke arahnya dengan jari telunjuk pada detik berikutnya. Tatapan matanya begitu intens hingga bisa membuat siapapun salah tingkah, jika menatapnya terlalu lama. Yang tampaknya tidak berlaku untuk Gisel. Karena dengan cepat wanita itu kembali mengarahkan ujung mata pisaunya pada Jean.
"Saya juga tidak tahu, kalau ada orang yang tidak tahu malu seperti Anda."
"Apa?" tanya Jean.
"Apa?" balas Gisel bertanya juga.
Entahlah, namun percakapan singkat diantara mereka itu membuat Jean seperti menemukan sesuatu yang baru. Walaupun hanya berupa kata-kata yang terkadang Jean dengar tiap harinya.
Tapi serasa berbeda jika wanita dihadapannya ini yang mengucapkannya.
"Tunggu!" cegah Jean saat melihat Gisel ingin memotong tahu baksonya.
Mata pria itu seketika menemukan sebuah luka gores yang terlihat masih baru dan belum diobati. Atau mungkin saja, tidak disadari oleh wanita dihadapannya ini.
"Sejak kapan tangan Anda terluka?" tanya Jean sedikit cemas. Yang membuat alis Gisel mengernyit.
"Sejak kapan Anda jadi peduli pada saya? Bahkan kita tidak punya hubungan apapun, loh. Bisa dibilang kita baru bertemu beberapa kali, dan tidak dekat juga."
"Apa peduli harus memiliki ikatan? Bahkan burung saja akan ikut menangis saat melihat anak seekor rusa tiada."
Mendengar hal itu membuat Gisel terdiam beberapa saat. Memang benar sih, kepedulian seseorang itu tidak bisa diukur oleh apapun. Terlebih lagi, karena kita tidak bisa membaca isi pikiran maupun membaca benak seseorang.
Jean yang melihat wanita di depannya itu terdiam. Langsung menarik pergelangan tangan kanan Gisel tanpa permisi. Yang membuatnya sempat memekik sekaligus berontak beberapa saat. Namun segera terhenti setelah melihat Jean memberi hansaplast pada lukanya.
"Lain kali jaga diri Anda baik-baik. Karena belum tentu, ada orang yang lebih peduli pada Anda daripada saya."
Gisel melihat bagaimana pria mesum berkacamata itu beranjak dari hadapannya. Untuk pergi dengan membawa nampan berisi makanan yang belum sempat pria itu sentuh, semenjak duduk di dekat Gisel tadi.
Yah, karena sewaktu Gisel makan. Jean hanya memerhatikan wajah Gisel dari samping seraya tersenyum tipis, entah memikirkan apa.
Semenjak makan malam itu, Gisel tak lagi bertemu dengan sosok Jean. Atau tak sengaja berpapasan di jalan maupun lift seperti sebelum-sebelumnya.
Dan entah mengapa, hal itu cukup mengganggu hatinya. Seolah-olah seperti ada sesuatu yang hilang akhir-akhir ini.
Tak terasa, tiga hari yang dulu sempat Gisel benci sebelum datang ke pertemuan bisnis ini. Malah habis begitu saja tanpa meninggalkan kenangan apapun yang tertoreh di hatinya.
Bahkan dia lupa untuk bertanya siapa nama pria yang awalnya begitu Gisel benci saat pertama kali bertemu. Seorang pria yang memiliki dada bidang dan tinggi badan hampir 180 cm. Itu berhasil menyedot perhatian Gisel akhir-akhir ini.
Sayangnya, setelah Gisel mengetahui setitik rasa itu. Sosoknya telah hilang entah kemana. Hanya saja satu hal yang terus-menerus Gisel ingat dan tak akan pernah lupakan. Yakni, ucapan dari pria mesum itu sebelum pergi.
"Sialan! Jangan-jangan aku dipelet. Apalagi kata-katanya nggak bisa ilang dari pikiran. Ah, rese."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments
Aisyah
Lbh mnkutkn lg klo tdr skamar ma situ, dasar biawak sawah
2023-10-16
1