"Tuan!"
"Tuan!"
Dengan langkah tergopoh-gopoh, terlihat seorang pria berambut merah bata setengah berlari cukup tergesa di sepanjang koridor. Suara teriakannya yang keras, kontan membuat semua pengawal yang berjaga di setiap sudut mansion, menolehkan sedikit kepala mereka ke arahnya.
Hanya beberapa detik, sebelum sosok itu hilang ditelan pintu bercat hitam di sisi kiri, pojok ruangan.
"Gawat!" teriak Dexter panik, seraya memasuki ruangan bernuansa gelap itu.
Saking gelapnya, sinar matahari pun enggan untuk menyusup. Hanya ada lilin yang menyala redup di atas meja menjadi satu-satunya penerangan di ruangan tempat sang tuan berada.
Akibat teriakan Dexter yang panik itu, membuat sosok yang sedari tadi berada di dalam sana mendengus kesal. Sorot matanya yang dingin tak tersentuh melirik sinis ke arah Dexter yang tampak khawatir bercampur panik. Sang tuan merasa terusik saat anak buahnya masuk begitu saja tanpa izin.
Netra sang tuan tampak nyalang menatap dirinya, layaknya singa yang siap menerkam mangsa. Rahangnya pun tampak mengeras, menampakkan semburat kemarahan diwajahnya yang tampan itu.
Dexter yang melihat raut wajah tuannya begitu, buru-buru menutup mulut. Mengatur napasnya yang masih ngos-ngosan supaya tidak gugup.
Sorot mata Dexter semakin gemetar kala melihat darah menetes dari sela jemari tangan sang tuan yang tengah menggenggam bidak catur, tidak sekedar menggenggam tapi entah bagaimana caranya bidak catur itu bisa hancur.
"Katakan."
Suara dingin nan berat itu mengalun, laksana simfoni kematian yang mencekik lehernya. Membuat Dexter makin mati kutu ditempatnya berdiri. Pria itu hampir merasa lemas, bahkan kesulitan hanya untuk meraup oksigen yang tersedia bebas disekitarnya.
"Saya baru mendapat kabar jika wanita yang Tuan minta untuk diselidiki tempo hari, semalam menghilang."
Untuk sesaat terjadi keheningan diantara keduanya, setelah Dexter mengungkapkan hal itu. Bahkan sang tuan, tampak bergeming cukup lama ditempat duduknya.
Anehnya lagi, tak ada tanda-tanda simpati maupun rasa iba yang tuannya tunjukkan. Alih-alih mengucapkan belasungkawa, tuannya justru terlihat tersenyum?
"Becca, maksudmu? Aku bahkan tak peduli jika wanita itu sampai mati?"
Dexter cukup terlonjak, bukan karena reaksi dari sang tuan. Tapi pria itu tidak menyangka jika tuannya akan lupa.
"Bukan Nona Becca, tapi wanita bernama Gisel. Apa tuan lupa?" tanyanya mengingatkan.
"Gisel katamu?!" balasnya seraya berdiri, kemudian mencengkram kuat kerah kemeja Dexter. "Bagaimana bisa wanita itu hilang?"
"E-eum, itu ... Bisakah tuan melepaskan cengkraman ini dulu. Saya kesulitan untuk menjelaskannya."
Secepatnya, sang tuan melepaskan cengkraman tangannya hingga membuat tubuh Dexter limbung ke atas lantai. Lalu, dengan rasa kesal yang entah muncul dari mana, tangan pria itu memukul meja kaca miliknya hingga remuk.
"Setelah kau menjelaskan semuanya, aku tidak mau tahu. Hari ini juga dia harus ditemukan."
***
Udara malam yang dingin kala itu, membuat tubuh Gisel mengigil. Apalagi setelah dia disuruh berganti pakaian dan memakai baju kurang bahan serta tipis ini. Gisel sering kali bersin-bersin kecil hingga memeluk tubuhnya sendiri.
Madam Rora--perias yang sengaja disiapkan untuknya, berinisiatif memberikan Gisel sebuah sapu tangan. Terlihat jelas dari sorot mata wanita setengah baya itu, jika dia sedikit iba melihat Gisel yang beberapa menit lagi akan dilelang. Tapi apalah daya, Madam Rora tidak memiliki kuasa ditempat ini. Salah-salah, malah dirinya sendiri yang akan berujung tragis.
Jadilah, sebelum Gisel dibawa pergi. Madam Rora menepuk pundaknya sesaat hanya untuk menguatkan.
"Aku memang tidak bisa membantumu, tapi ingat kau masih punya Tuhan. Percayalah, segala sesuatu di dunia ini pasti memiliki jalan keluarnya," ujarnya lembut membuat Gisel menyunggingkan senyuman tipis dibibirnya.
"Terima kasih."
Tak berselang setelah itu, tampak dua orang pria mengenakan pakaian pelayan membawa sebuah sangkar burung yang cukup besar. Kedua orang itu berjalan masuk ke dalam ruangan dimana Gisel berada. Kemudian menyuruh Gisel itu masuk ke dalam sangkar tersebut.
Gisel yang sudah berpasrah pada keadaan hanya bisa menurut. Dirinya mendudukkan diri ke dalam sangkar dengan pandangan mata yang kosong. Seolah-olah semua kebahagiaan dalam hidupnya telah hilang saat itu juga.
Dilain sisi, tak jauh dari tempat Gisel bersiap. Puluhan orang sudah memenuhi ruangan tempat lelang. Kebanyakan yang menghadiri acara itu adalah orang-orang pemilik jabatan tinggi yang mempunyai sisi gelap. Mereka yang punya kuasa dan sulit sekali dijatuhkan oleh hukum sekalipun.
Dari balik layar, Gisel bisa mendengar suara riuh orang-orang yang saling berebut dengan menyebutkan nominal yang makin lama semakin fantastis jumlahnya. Tanpa sadar itu membuat Gisel mengigil ketakutan. Dia tidak bisa membayangkan lagi, bagaimana nanti saat gilirannya tiba.
Saat itulah, pembawa acara menyebutkan dirinya. Dengan istilah Si Cantik Burung Pipit. Sosok wanita yang begitu menawan dengan tubuh molek serta indah. Ditambah lagi dengan gaun setinggi lutut berwarna putih yang membuat Gisel layaknya seorang malaikat yang jatuh ke bumi karena salah satu sayapnya patah.
Jelas saja, hal itu membuat kesan yang begitu mendalam. Hingga menarik perhatian semua orang. Saking sukanya, mereka sampai menawar Gisel dengan harga tinggi. Tak tanggung-tanggung ada yang menawar dirinya di atas 200 juta.
Gisel yang mendengar nominal-nominal itu, merasakan pusing yang luar biasa. Hampir saja pandangnya mulai mengabur, hingga membuatnya jatuh pingsan. Tapi, sebuah suara yang begitu keras dari arah pintu utama membuat matanya enggan terpejam.
Dari sana, tepatnya pintu masuk. Terlihat sebuah siluet yang begitu dirinya kenal. Sosoknya berdiri tegak dengan pandangan acuh tak acuh menatap sekitar.
Membuat semua atensi yang sempat tertuju pada Gisel beralih pada sosoknya. Mungkin, hanya dengan menatap matanya yang tajam. Bisa membuat nyali orang-orang menciut begitu saja.
"CK, aku benar-benar benci tempat ini. Ratakan."
Dan begitulah, hanya dalam sepersekian detik setelah sosok itu berucap. Beberapa pria bertubuh kekar dengan senjata ditangan mulai memaksa masuk. Bahkan tak segan dari mereka menghabisi siapapun yang berani melawan. Detik itu juga, ruangan pelelangan yang semula penuh dengan tawaran harga, berubah menjadi lautan darah serta jerit kesakitan.
Gisel sendiri yang menyaksikan pemandangan itu sempat bertanya-tanya. Apakah dirinya sedang bermimpi atau otaknya mulai gila? Jelas-jelas dirinya hampir dimenangkan oleh pria hidung belang. Tapi bagaimana bisa, tempat pelelangan ini berubah mengerikan?
Namun, sentuhan lembut yang membelai permukaan pipinya membuat Gisel sadar. Jika ini nyata, dan yang paling membuatnya kaget. Saat sosok Jean berjongkok tepat di depan tubuhnya yang hampir kehilangan kesadaran, dengan sorot mata penuh luka.
"Ini pasti bercanda, tidak mungkin kau ad-"
Belum selesai Gisel melanjutkan ucapannya. Tubuhnya yang ringkih sudah lebih dulu ditarik ke dalam dekapan hangat milik pria yang beberapa hari belakangan ini menganggu pikirannya.
"Aku senang kau baik-baik saja," ucap Jean lembut yang membuat tangis Gisel pecah seketika.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments
💞 NYAK ZEE 💞
wih......mantap....q kira mau ikut menawar ternyata .... langsung ratakan........👍👍
2023-10-22
1
Loisa Marbun
semangatt giselll,ba"ng.jean datanggggg,,,,
jeng..jeng..jeng..
2023-10-18
2