Ancaman Jean

Bangun-bangun Gisel sudah mendapati sisi ranjangnya yang lain kosong. Padahal dirinya sangat ingat dengan jelas, jika beberapa saat yang lalu Jean ada disebelahnya. Lalu, tentang ciuman itu.

Gisel tanpa sadar menyentuh permukaan bibirnya sendiri sebelum kemudian menutup kedua wajahnya dengan kedua tangannya, lantas berguling-guling disepanjang permukaan kasur riang, ke sana-kemari.

"Apa semalam itu sungguhan? Aku dan dia ..." Gisel tampak menjeda ucapannya sendiri, sebelum memekik histeris pada detik berikutnya.

"Yak! Kau benar-benar gila, Sel. Kalian bahkan belum resmi menjalin hubungan tapi kenapa sudah berciuman? Arghh!" teriaknya kesal seraya menendang-nendang ke arah ruang hampa.

Hanya saja, tiga hari setelah peristiwa itu. Gisel belum lagi melihat sosok Jean. Pria mesum berkacamata itu seolah-olah lenyap dari peradaban.

Dilain sisi, karena perusahaan sebentar lagi akan mengadakan sebuah event perayaan besar-besaran. Membuat Gisel mulai melupakan Jean, dikarenakan kesibukannya saat ini.

Meskipun hanya sebatas sekretaris Pak Ferdi, tapi kali ini Gisel berperan cukup penting. Terutama dalam urusan untuk mengatur pertemuan serta jadwal seseorang yang akan menjadi bintang tamu untuk event besar itu. Terdengar konyol memang, namun begitulah tugasnya. Terlebih lagi, orang yang harus Gisel urus bukanlah sembarang orang. Jadi dia harus berhati-hati untuk misi ini.

Seperti sekarang halnya, Gisel sudah menunggu cukup lama di lorong dekat ruang lobi. Untuk menjemput kedatangan tamu penting itu. Hanya saja sampai detik ini belum juga ada tanda-tanda kemunculannya yang menyebabkan waktu Gisel menunggunya semakin lama terbuang sia-sia.

Hingga tak lama kemudian, terlihat sebuah mobil Ferarri berwarna merah terang berhenti tepat di depan teras lobi. Yang pada detik berikutnya, membuat beberapa orang bertubuh besar, yang mengawal mobil itu turun dan membetuk sebuah barisan. Yang terlihat familiar dimata Gisel.

"Masa sih, pria itu?" cicit Gisel pelan, tanpa melepaskan pandangan matanya dari mobil Ferarri itu, serta orang-orang bertubuh besar yang tampak seperti seorang bodyguard.

Mereka membentuk sebuah barisan yang terlihat sulit sekali ditembus saat seseorang keluar dari dalam mobil dengan penutup kepala dan hoddie hitam kebesaran, yang hampir menutupi seluruh bagian tubuhnya tanpa terkecuali.

"Itu tamu penting apa orang-orangan sawah?" celetuk Maya julid, yang tiba-tiba sudah berdiri disebelah Gisel dengan salah satu tangan menyesap kopi luwak santai.

"Loh, May. Sejak kapan lo di sini?" tanya Gisel spontan, karena kaget dengan kemunculan Maya ini.

Menatap sejenak ke arah mata Gisel, Maya lantas menjawab, "Semenjak lo ngeliatin tuh mobil tanpa ngedip. Ati-ati loh, Sel. Kesambet. Apalagi jodoh lo masih tahap distribusi. Rawan banget kena pelet Kakek-kakek tuwir."

"Ih, omongan lo kok jelek banget. Masih pagi juga!" balas Gisel ngeggas. Yang dibalas dengan gerakan mengangkat bahu dari Maya, seolah tak perduli.

"Bodo amat, yang penting gue happy!" kata Maya penuh percaya diri.

Tampak janda dua anak itu berjalan pergi kembali ke tempatnya berkerja dan meninggalkan Gisel seorang diri. Yang terlihat begitu jelas menahan rasa gugup serta cemas yang mulai mendatanginya.

Tak berselang lama setelah kepergian Maya, rombongan dari tamu penting itu mulai berjalan memasuki lobi kantor yang besar. Hingga membuat semua perhatian tertuju ke arah mereka.

Gisel yang ditugaskan untuk hal ini, sesegera mungkin memasang senyum lebar, untuk menyambut kedatangan rombongan itu dengan ramah-tamah serta mengarahkan rombongan itu ke tempat yang memang sudah disediakan oleh pihak perusahaan.

...****************...

Dilain sisi, tepatnya kediaman besar keluarga Nugroho. Jean yang baru saja memasuki pintu rumahnya harus melihat pemandangan yang membuatnya begitu muak, hanya untuk tetap tinggal di rumahnya sendiri.

Yakni, sebuah pemandangan yang membuat tangan kanannya langsung terkepal erat hingga membuat buku-buku jarinya memutih. Tapi bukan Jean namanya, jika tak bisa mengontrol emosinya sendiri. Jadi dengan cukup tenang, pria itu langsung meminta salah satu sepatu pantofel yang Dexter pakai untuk dilemparkan ke arah sofa, tempat sang ayah dan wanita ular itu bercumbu tanpa tahu malu.

Brakk!

Seketika, suara itu membuat dua orang yang hampir di atas puncak kenikmatannya, menatap ke arah Jean kesal. Namun hanya pria itu balas dengan reaksi santai tanpa rasa bersalah.

"Ups! Kukira suara kucing. Ternyata kalian berdua," ujar Jean sengaja menekankan kata kucing pada kalimatnya itu.

Dia mengangkat kedua tangannya ke atas dan sejajar dengan kepalanya, seolah-olah tindakannya barusan hanyalah lelucon biasa.

"Sejak kapan kau di sana?" tanya seorang pria setengah baya yang bisa dipastikan jika itu ayah Jean.

"Entahlah," balasnya cuek seraya melihat ke arah jendela luar.

"Jean!!!"

Tiba-tiba pria tua itu berteriak keras, dan berjalan menghampiri Jean dengan stik golf ditangan. Kebiasaan yang sebenarnya tak banyak yang tahu, jika selama Jean kecil dia selalu dipukul hingga babak belur dengan benda itu. Sebuah benda yang paling pria itu benci juga karena telah merenggut semua miliknya yang paling berharga.

"Kau masih melawan dan ingin ku-"

"Hajar, maksudmu?" potong Jean cepat seraya terkekeh ringan.

"Kau!" tunjuk pria tua itu dengan stik golf yang mengarah tepat ke arah wajah Jean. Tampak urat-urat dari syaraf dibagian pelipisnya menonjol akibat menahan amarah pada Jean yang lagi-lagi membuatnya kesal.

Namun, alih-alih merasa ketakutan atau bersalah. Jean justru menarik stik golf yang ditujukan ke arah wajahnya tadi. Lantas mematahkan benda itu menjadi dua bagian dengan mudahnya.

"Sayangnya aku bukan lagi anak kecil lemah, yang bisa kau singkirkan hanya dengan jentikan jari seperti dulu. Jadi dengar Pak tua, aku diam bukan berarti sungkan. Hanya saja, aku sedang menahan diri untuk tidak menghabisi dirimu dan wanita ular itu." Jean mengungkapkan isi hatinya yang langsung dibalas sang ayah dengan sedikit berteriak.

"Siapa yang kau sebut wanita ular? Dia Ibumu!"

"Ck, Dia bukan ibuku! Jadi jangan pernah sekalipun memintaku untuk memanggilnya ibu. Karena ibuku sudah bahagia Di atas tanpa harus menjadi bonekamu lagi!" bantah Jean tak kalah kesalnya.

Dilemparkannya lagi sebuah vas bunga di dekatnya ke arah wanita ular itu, hingga membuatnya memekik histeris. Saat salah satu serpihan dari vas bunga itu mengenai kakinya.

"Dan untuk kau, seharusnya kau malu pada hidupmu juga putri yang kau campakkan itu. Tapi melihat kalian berdua yang terlihat serasi, menurutku kalian benar-benar pasangan yang sangat cocok. Hingga membuatku ingin muntah sekarang," sindir Jean yang hampir mendapatkan sebuah tamparan keras kali ini. Namun segera dirinya tangkas dengan refleknya yang bagus.

"Aku tidak main-main, jadi jika kau ingin tetap hidup dalam ketenangan. Berhentilah untuk mengatur serta mencampuri urusanku. Karena sekalinya kau berusaha untuk mencari informasi saja, aku akan membuat rumah ini rata dengan tanah," ancam Jean pada sang Ayah yang kali ini hanya bisa terdiam.

Terpopuler

Comments

Loisa Marbun

Loisa Marbun

jean syeremmmm

2023-10-25

3

💞 NYAK ZEE 💞

💞 NYAK ZEE 💞

nah kalau udah seperti ini siapa yg mau disalahin orang tua tidak di hargai sama anaknya.... rugi bener hidup u pak tua .... bisa dipastikan tuanya bakal merana kalau seperti itu....

2023-10-25

1

💞 NYAK ZEE 💞

💞 NYAK ZEE 💞

Allah Gusti......itu ayah apa preman pasar...... anak digebukin pakai stik golf.......ngak takut kena azab nantinya..... kalau udah tuir di kepret anaknya ......

2023-10-25

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!