...Hal yang paling sakit adalah di saat kita sudah berusaha se maksimal mungkin untuk mendapatkan hasil yang sempurna, tapi pada kenyataannya usaha itu seakan mengkhianati. itu sangat menyakitkan....
...•...
...•...
...•...
...•...
"Kamu beneran nggak bisa, Ga?" suara lembut Nasya mengalun indah pada seseorang di sebrang sana.
"Lo tuli!? Gue bilang nggak jadi, 'ya nggak jadi! Ayu, hari ini lagi badmood jadi gue mau nemenin dia." suara Lingga tidak pernah lembut saat bersama Nasya. selalu saja nada membentak yang terlontar dari bibirnya.
Bukannya Nasya sudah biasa tentu saja bukan. Jauh di lubuk hatinya yang paling dalam Nasya terluka. percayalah mana akan ada orang yang tahan jika di bentak dan di hina secara berkala.
Padahal nada bicara Nasya sudah dia rubah 100% menjadi selembut mungkin. Dia bahkan rela melakukan semua itu hanya agar Lingga menghargainya. Hanya agar Lingga menganggap nya sebagai tunangan bukan benalu. Nasya sudah mencoba berbagai hal agar Lingga menghargainya atau sekedar memperlakukan Nasya selayaknya tapi seakan usahanya mengkhianatinya.
"Ouh gitu, 'ya." Nasya menengadahkan kepalanya ke arah langit-langit kamar. Nasya mencoba menahan rintik bening yang hendak menerobos keluar dari pelupuknya.
'andai lo tau kelakuan cewek lo kayak mana, gue pastiin lo nangis kejer.' batin Nasya berteriak kencang.
Ingin rasanya dia menguak bagaimana kelakuan pacar Lingga yang begitu dia puja-pujanya. tetapi itu tidak ada gunanya, karena Lingga tidak mungkin percaya atau malah menuduh Nasya mengatakan itu atas dasar iri pada pacarnya.
"Kenapa, Lo nggak terima? terus lo mau ngadu ke bokap gue, kalo gue selingkuh dari lo? iya!?!"
Tangan Nasya berpegang erat pada tali tasnya. Semuanya terasa sia-sia padahal Nasya sudah bangun pagi untuk bisa pergi bersama Lingga. Tapi Lingga dengan teganya membatalkan janji semudah itu. Perasaan Nasya campur aduk ada rasa marah, kecewa, benci dan sakit hati semuanya seakan di aduk rata di relung hati.
"nggak apa-apa aduin aja palingan hidup lo yang gue buat sengsara," ujar Lingga di selingi tawanya.
Lingga sengaja melakukan semua ini. Pria itu sudah sangat bosan bertahan di dalam hubungan yang tidak dia inginkan. Maka dari itu dia bersikap dingin bahkan tidak menghargai Nasya. semua itu semata dia lakukan agar gadis itu sendiri yang memutuskan pertunangan konyol ini. Walakin sampai sekarang Nasya bahkan rela bertahan selama dua tahun lamanya.
"Nggak kok aku nggak mungkin aduin ke bokap kamu," sahut Nasya dengan mata memburam.
"Nggak usah lo lembut-lembutin nada bicara lo berasa ngomong sama jalang gue," cetus Lingga.
Satu tetes tirta bening jatuh membasahi sisi wajah Nasya. Sakit hati itu seakan langsung menjalar ke matanya. Manik biru laut semakin gencar mengeluarkan cairan asinnya.
"Aku nggak serendah itu, Ga," ujar Nasya dengan nada bergetar. Isak tangisnya kian keluar hingga terdengar di sebrang sana.
"Lemah! Harusnya jalang kayak lo nggak boleh nangis." Bukannya mendiamkan malah semakin membuat Nasya menangis dengan untaian kata yang menyakitkan.
Jiwa rapuh Nasya keluar. Ingin Nasya menghilangkan sifatnya yang mudah menangis ini, Tapi seakan di ejek dia malah semakin gencar mengeluarkan kristal bening dari pelupuk mata birunya.
"Gue nggak jalang!!" Seru Nasya sudah bosan terus di hina yang tidak-tidak padahal dia tidak serendah itu.
"Hehh! Cewek jelek kayak elo mana akan ada orang yang ngerebutin kalo nggak udah lo kasih." Lingga menyindirnya seakan dia tau kejadian di ruang BK kemarin lusa.
Nasya tersentak kaget saat Lingga mengetahui kejadian itu padahal jelas-jelas mereka tidak satu sekolah. Apa di kasih tau Ayu? Secara dia, 'kan benci sama gue. Batin Nasya berpikir.
"Setiap malam berapa ronde? Atau main tiga? Wah, wah gila! Harus di kasih apresiasi, nih." Lingga tertawa kencang di sebrang sana.
Nasya menggulum bibirnya ke dalam. Menahan Isak tangis yang semakin deras. Lingga memfitnahnya begitu kejam padahal semua itu tidak akan dia lakukan meskipun Nasya tidak memiliki uang. Apa lagi hanya untuk di perebutkan oleh lelaki itu tidak pernah terlintas di benaknya.
"Kok, diam? Atau sekarang lagi main? Sorry banget deh kalo gitu, karena udah ganggu waktu lo."
"Stop! Gue nggak pernah ngelakuin hal se menjijikkan itu sekalipun gue nggak punya uang!" Akhirnya nada membentak itu keluar dari bibir pink Nasya. Untuk kali ini Lingga sudah melampaui batas kesabarannya.
"Lo bisa nggak sekali aja nggak usah memfitnah gue sekejam ini, Itu menyakitkan! Gue juga punya hati gue juga punya perasaan!" bentak Nasya mengeluarkan isi hatinya yang menjerit.
"Ouh, udah pinter bentak-bentak gue, 'ya lo," balas Lingga menahan menggeramnya. Andai saja mereka bertatap muka, maka sudah di pastikan tamparan maut menyapa berkali-kali pipi chubby Nasya.
"Memangnya kenapa kalo gue ngebentak elo!? lo pikir cuma lo doang yang bisa bentak-bentak!? Gue juga bisa!" Nasya menantang seolah melupakan statusnya.
Tawa nyaring menggema. "Oke, siap-siap aja kerja sama kontraknya di batalin."
Deg!
Jantung Nasya seolah berhenti berpacu, badannya seakan tersengat listrik. Dia melupakan tentang itu seharusnya Nasya menjaga nada bicaranya tadi. Bagaimana jika Lingga benar-benar membatalkan kontraknya. Bisa rotan yang menjadi sambutan ayahnya pulang.
"Ga, aku mohon jangan kontraknya kalo kamu marah lampiaskan aja ke aku, tapi jangan batalin kontraknya. Aku mohon, Ga." Nasya memohon dengan nada lembut. Dadanya bergemuruh hebat takut-takut akan jika Lingga benar-benar membatalkan kontraknya. meskipun dia tidak yakin jika Lingga akan meng-iya kan ucapannya.
"Heh! Jalang sialan lo pikir, setelah apa yang lo perbuat ke gue bakal gue maafkan semudah itu!? Tentu aja nggak!"
penuturan Lingga seakan menjelaskan bahwa dialah yang paling tersakiti di sini.
Nasya menengang. Benaknya tidak bisa memikirkan bagaimana jika Lingga sampai membatalkan kontraknya.
"Ga, gue moh....."
Tut! Tut!
Sambungan telepon di matikan secara sepihak. Pria itu seakan menolak apa pun bujukan dari Nasya. Benak Nasya tidak bisa berhenti memikirkan apa yang akan ayahnya lakukan setelah ini.
"Akh! Bodoh! Bodoh!" Tangannya dengan lihai memukuli kepalanya sendiri. Ingin rasanya memutar ulang waktu agar tidak mengatakan hal se kasar tadi.
"Harusnya gue nggak bentak Lingga, harusnya gue tetap bersikap seolah baik-baik aja," teriak Nasya frustasi bukan main. Ayahnya jelas akan memukulinya bahkan kadang mengurungkan berhari-hari di gudang atau mencekiknya sampai mati. itu kenyataan.
***************
"NASYA!!" teriakan menggelegar dari lantai bawah berhasil membuat bulu kuduk Nasya merinding. Nasya mencekam kuat pena di genggamannya.
"Kemana, anak sialan itu?!" Aren menggeret langkahnya menuju kamar Nasya. Api amarah kian membara di dadanya.
Bunyi ketukan sepatu menghentak kasar undakan anak tangga terdengar di telinga Nasya. Suara itu bagaikan nada horor di pendengarannya. Nasya menutup kedua matanya. Dia belum siap untuk di hukum.
"Jangan, jangan masuk," lirih Nasya berharap pada hal yang tidak mungkin.
Brak!
Terlihat seorang pria berdiri di ambang pintu dengan tilikan setajam silet. Nasya yang masih mengerjakan tugas kian mengangkat kedua bahunya kaget. Jantungnya berdegup kencang dengan langkah kaki yang kian mendekat.
"Memang sialan!!" Aren langsung menjambak rambut Nasya yang terikat lalu menariknya paksa dari tempat duduknya. Telapak tangan Nasya berhasil menyapa kasar lantai keramik.
Gadis itu di perlakukan layaknya kambing peliharaan yang di paksa masuk ke kandangnya. Bulu kepala hitam legam Nasya di tarik paksa agar berdiri.
"Sudah berapa kali aku bilang! Jangan pernah kau berbicara pada Lingga, dengan nada tinggi!" Aren menghantam kuat kepala Nasya.
Brugh!
Kening Nasya berhasil menyentuh dinginnya tembok kamar. Kepalanya berdenyut nyeri dengan darah segar telah mengucur dari dahinya. Aren kembali menarik surainya dengan penuh kegeraman.
"Kau! Karena kau aku tidak mendapatkan kontraknya!" Aren menarik kuat rambutnya. Pria tua itu seakan ingin menarik rambutnya dari kepalanya.
"Aakh!" Teriakan kesakitan Nasya menjadi arti jika gadis itu merasakan rasa sakit yang luar biasa. Aren menjambak rambutnya dan menghantam kuat kepalanya ke tembok.
Bugh!
Bugh!
Nasya merasakan rasa sakit yang sangat amat di keningnya. Belum lagi kepalanya yang pening karena mendapatkan hantaman kuat di sana. Rasa sakit terlempar bola kemarin lusa saja masih terasa dan malangnya kini Nasya mendapatkan hantaman yang jauh lebih sakit.
"Pembawa sial!! Anak nggak berguna!!"
Bugh!
Bugh!
"PAPAH!" Teriakan Tasya di ambang pintu berhasil menghentikan aksi gila Aren.
Pria itu menghempas kuat tubuh Nasya ke lantai. Nasya memegangi keningnya yang mengeluarkan cairan merah. "Aws."
Liquid bening turun dari manik biru indah Nasya. Rasa sakit yang sudah tidak bisa di lontarkan dengan kata-kata dan hanya dapat di ekspresikan dengan menangis.
"Papah, mau bunuh kembaran, Tasya!?!" Tasya segera menghampiri Nasya yanh terduduk lemah di lantai. Jika saja Tasya tidak datang maka Nasya akan mati detik itu juga.
Tasya memeluk tubuh lemah Nasya dan mengusapnya lembut Seolah memberi tenaganya agar Nasya kuat.
"Karena dia kontraknya kerja samanya batal, Tasya! Dia itu pembawa sial!" Aren berteriak menggelegar.
Aren jika sudah marah, maka sudah bukan dia lagi yang menguasai dirinya. Pria itu seperti di kendali 'kan oleh orang lain.
"Itu bukan salah, Nasya! Harusnya papa revisi dulu baru kirim kontraknya bukan malah nyalahin, Nasya!!" Tasya seakan tidak takut pada Aren. Dia bahkan berbicara dengan nada tinggi dan berani menatap mata Aren.
"Nggak semuanya salahnya Nasya, dia udah cukup sabar sama semua perlakuan kasar papa."
Isak tangis terdengar di indra pendengaran Tasya. Hatinya seperti di renggut separuh. bagi Tasya, sedih Nasya maka sedih Tasya juga, karna sepasang saudara kembar akan merasa bersedih jika kembarannya sedih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments