Guru Cantikku
"Apa-apaan ini, Rafa?!" pekik Adinata, menggema di ruang keluarga. Suara baritonnya, menggelegar bak petir di siang bolong.
Rafael yang sedang membolak-balikkan majalah otomotif, lantas mendongak. Tampak sang ayah sedang memegang sepucuk surat yang entah dari mana didapatkannya.
"Jawab, Papa! Apa yang telah kamu lakukan sehingga kamu mendapatkan surat keputusan skorsing selama satu bulan penuh?" teriak Adinata, masih setia mengacung-acungkan secarik kertas yang rupanya surat skorsing dari sekolah putranya.
Rafael hanya tersenyum kecut. "Sudah keluar toh, suratnya," ucapnya santai.
Sontak perkataan Rafael membuat kadar emosi Adinata meningkat drastis. Tangan kanannya pun melayang di udara. Namun, saat hendak mendarat di pipi mulus anaknya, sepasang tangan perempuan menahannya.
Perempuan itu bernama Rahayu, istri dari Adinata yang tak lain ibu kandungnya Rafael. Melihat suaminya hendak melayangkan sebuah pukulan kepada sang buah hati, dengan sigap kedua tangan Rahayu menangkap tangan suaminya.
"Jangan lakukan itu, Mas!" pekik Rahayu.
"Lepaskan tanganku, Ayu! Biar aku beri pelajaran anak tidak tahu diri itu. Apa kamu tahu apa yang telah dilakukannya, Ayu? Anak itu telah mencoreng nama baik kita. Nama baik keluarga besar kita!" teriak Adinata, geram.
"Ayu tahu, Mas. Apa yang Rafael lakukan memang telah membuat kita malu, tapi tolong jangan main kasar seperti ini, Mas. Kita bisa bicarakan hal ini dengan baik-baik. Kita bisa berikan nasihat kepadanya," ucap Rahayu.
"Baik-baik katamu, Ayu? Cih! Anak itu sudah tidak bisa diajak bicara baik-baik. Dia sudah keterlaluan. Bisanya hanya bikin malu keluarga saja!" dengus Adinata begitu kesal.
Adinata lantas menghempaskan tangannya cukup kuat, hingga tubuh Rahayu pun ikut terdorong ke depan dan terjerembab di atas kursi.
Menyaksikan hal tersebut, Rafael hanya bisa diam. Sedikit pun, dia tidak bersimpati kepada wanita yang usianya hampir mendekati kepala lima itu. Bagi Rafael, ibu ataupun ayahnya ... sama saja. Ego mereka hanya akan terluka jika menyangkut harga diri mereka. Akan tetapi, mereka tidak pernah peduli apa yang menjadi alasan Rafael melakukan semua tingkah buruknya di sekolah.
"Semua ini gara-gara kamu, Ayu! Kamu terlalu memanjakan dia hingga dia bertingkah seenaknya. Selalu saja menyalahi aturan dan mempermalukan keluarga. Begini, 'kan jadinya? Hanya bikin aib saja!" oceh Adinata yang mulai menyalahkan pola asuh sang istri.
Rahayu sontak berdiri. Sambil berkacak pinggang, dia menatap suaminya dengan tajam.
"Apa maksud kamu kalau semua ini salah aku? Ya mana aku tahu si Rafael akan berulah di sekolah seperti itu. Toh selama di rumah, aku tidak pernah melihat gelagat buruk anak itu," sanggah Rahayu.
Di rumah? Hei, hallo ...! Apa di rumah kita pernah saling bertemu? gerundel Rafael di dalam hatinya.
"Kamu tidak tahu karena kamu tidak pernah memperhatikan urusan sekolah Rafael. Rumah dan sekolah itu berbeda, Ayu!" teriak Adinata. "Kamu sama sekali tidak pernah mengikuti perkembangan sekolah anak kamu. Karena apa, hah? Karena kamu terlalu sibuk dengan urusan bisnis kamu, garmen kamu, dan butik-butik kamu yang enggak pernah jelas pemasukannya!"
Adinata semakin lantang menyalahkan sang istri. Menurutnya, tugas istri itu cukup berdiam diri di rumah saja. Mengurus anak, suami dan juga rumahnya. Namun, tugas istri itu tampaknya tidak menarik di mata istrinya. Karena itu, setelah melahirkan, Rahayu malah meminta kedua orang tuanya untuk memberikan modal membuat garmen.
"Sudahlah, Mas. Tidak perlu mengungkit masa lalu. Toh waktu itu juga kamu setuju aku mendirikan garmen. Satu hal yang harus kamu garis bawahi ... aku mendirikan usahaku dengan bantuan modal papa, bukan kamu!" tegas Rahayu.
"Aku tahu itu bukan uangku, tak perlu kamu ingatkan lagi. Tapi setidaknya, kamu luangkan sedikit waktu kamu untuk memperhatikan anak itu. Paham kamu!" balas Adinata tak kalah tegasnya.
Rahayu tidak terima suaminya terus memojokkan peran dia sebagai ibu. Dengan geram, dia pun membeberkan sikap Adinata yang menurutnya juga salah. Sebagai seorang ayah, seharusnya Adinata bisa menjadi contoh untuk putranya.
"Cukup, Mas!" seru Rahayu begitu keras. "Kamu tidak bisa sepenuhnya menyalahkan pola asuh aku. Apa kamu tidak sadar kalau sebagai seorang ayah, kamu juga memiliki peran yang penting dalam mendidik anak. Aku tanya sama kamu, pernahkah kamu mengajarkan cara berjalan pada anakmu sendiri? Pernahkah kamu menemani dia bermain di sela-sela waktu istirahat kamu? Pernahkah kamu melerai dia saat dia bertengkar dengan anak tetangga? Pernahkah kamu menasihati dia, saat dia berbuat salah?" cecar Rahayu penuh emosi. "Enggak, Mas! Kamu sama sekali tidak pernah melakukan hal itu. Bahkan, di setiap malam saat dia ingin bercerita, kamu tidak pernah ada untuk mendengarkannya. Jadi enggak usah sok menasihati aku bagaimana cara menjadi ibu yang baik, kalau kamu sendiri pun, tidak pernah bisa menjadi ayah yang baik!"
Sepertinya, emosi Rahayu semakin membuncah. Dia seolah mendapatkan kesempatan untuk membalikkan fakta yang dia ketahui tentang pola didik seorang ayah yang sama sekali tidak pernah diberikan suaminya kepada putra semata wayang mereka.
Huft!
Rafael membuang napas dengan sangat kasar. Selalu saja seperti ini drama yang terjadi di keluarganya. Orang tua yang pada akhirnya saling menyalahkan atas apa yang dia perbuat. Padahal, bukan ini yang Rafael inginkan.
Jengah melihat pertengkaran kedua orang tuanya, Rafael lantas pergi. Panggilan sang ayah pun tidak dia hiraukan. Rafael hanya mengibaskan tangan kirinya tatkala sang ibu memanggi, sehingga tiba di pintu utama, percekcokan ayah ibunya pun masih terdengar jelas.
Rafael menyalakan mesin motornya. Sedetik kemudian, dia tancap gas dan keluar dari halaman rumah megah milik Adinata. Pengusaha properti terbesar di kota Tasikmalaya.
Kedua mata Rafael mulai berembun. Dadanya terasa sesak. Dia pun menambah kecepatan laju motor sportnya, menuju sebuah tempat yang bisa membuat hatinya sedikit tenang.
Ciiiit!
Di sebuah jalanan yang cukup sepi, tanpa sengaja Rafael melihat perkelahian sekelompok orang. Dia pun menghentikan kendaraannya.
Awalnya, Rafael berpikir jika perkelahian itu mungkin hanya sekadar tawuran antar dua geng motor yang lagi marak di kotanya. Namun, setelah diamati secara seksama. Rafael melihat kejanggalan dalam perkelahian itu.
"Sial!" ucapnya setelah melihat pengeroyokan beberapa pemuda terhadap seorang pemuda yang sudah kewalahan.
Merasa perkelahian itu tidak seimbang, Rafael men-standarkan motornya dan segera berlari menuju sekelompok orang-orang yang tengah mengeroyok seorang pemuda.
"Woy, berhenti kalian! Dasar para banci, beraninya main keroyokan saja! Maju sini kalau berani!" teriak Rafael, menantang tujuh orang pemuda yang sedang memukuli pemuda berusia sekitar 23 tahunan.
Mendengar teriakan seseorang, ketujuh pemuda itu pun sontak menoleh. Seorang di antaranya, mendecih tatkala melihat Rafael.
"Wah-wah-wah ... rupanya ada yang mau jadi pahlawan kesiangan, nih. Cih, menyebalkan!" ejeknya kepada Rafael.
"Halah, banyak bacot, lu! Maju kalau berani!" Tantang Rafael seraya memasang kuda-kuda.
"Seraaaaang!" teriak pemuda tadi yang sepertinya pimpinan gerombolan tersebut.
Tak ayal lagi, perkelahian pun tidak terelakkan. Tujuh lawan dua. Tidak sebanding memang. Namun, kemampuan bela diri Rafael yang bukan kaleng-kaleng, sanggup membuat ketujuh pemuda itu kewalahan. Bahkan empat di antaranya sudah jatuh terkapar, termasuk sang pemimpin.
Merasa tidak ada gunanya terus melawan, akhirnya ketiga pemuda yang masih memiliki sisa tenaga, lari pontang-panting karena tidak ingin mengalami nasib tragis seperti teman-temannya.
"Are you oke?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
Selviana
ini seperti kisah nyata seorang suami yang sering bertengkar dengan istrinya hanya karena persoalan anak.Aku mampir nih kak .
2024-03-22
0
Fenti
makanya perlu adanya kerja sama antara pasutri dalam mengasuh anak
2023-11-16
0
Fenti
aku mampir, lanjut dan semangat 💪
jika berkenan mampir di novelku judul karena Amin Yang Sama 🙏
2023-11-16
0