"Umh ..."
Rafael bergumam. Perlahan, kedua kelopak matanya terbuka. Dia mengedarkan pandangan. Seulas senyum tipis terukir di bibirnya ketika melihat Atun terlelap di tepi ranjang. Tangan Rafael bergerak untuk mengusap punggung tangan ibu asuhnya.
"Rafa rindu Mbak," ucapnya pelan.
🔥🔥🔥
Di dalam kamarnya, Larasati mematut diri di depan cermin rias. Keningnya terlihat mengkerut, pertanda dia sedang memikirkan sesuatu.
Sepertinya aku harus mencari uang tambahan untuk memenuhi kebutuhan hidup, tapi apa yang harus aku lakukan? Pekerjaan seperti apa yang kiranya bisa aku lakukan sepulang sekolah? batin Larasati.
Bunyi alarm membuyarkan lamunan Larasati. Wanita cantik itu segera mengenakan jilbabnya. Tak lama kemudian, Larasati keluar dari kamar dan telah bersiap untuk berangkat bekerja.
"Hari ini, kamu naik ojek saja. Motor mau aku pakai," kata Agam, begitu melihat istrinya keluar kamar.
Larasati menautkan kedua alisnya ketika mendengar perkataan Agam. Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba pria itu hendak keluar rumah. Padahal, sejak memutuskan untuk pindah dari rumah kedua orang tuanya dan tinggal di tempat kontrakan, Larasati tidak pernah melihat suaminya keluar rumah. Hmm, tumben, pikir Larasati.
"Tapi Mas, Laras sangat membutuhkan motor itu. Hari ini, rencananya Laras mau nyari pekerjaan tambahan. Supaya bisa mencukupi kebutuhan kita," sahut Larasati.
"Sudah, gak usah ngebantah. Bukankah beberapa menit yang lalu kamu nyuruh aku nyari kerja. Ya sudah, motornya biar aku pake," sewot Agam.
"Serius? Mas mau nyari kerja?" tanya Larasati, tersenyum lebar.
"Hmm." Hanya dehaman yang keluar dari bibir sang suami.
"Ya sudah, Mas pake aja motornya. Biar Laras naik angkot saja, lebih irit," sahut Larasati, mengalah. Setelah mencium punggung tangan suaminya dan berpamitan, Larasati lantas pergi bekerja.
🔥🔥🔥
Di kediaman Adinata.
Atun membuka kelopak mata ketika merasakan sentuhan di punggung tangan. Dia menegakkan kepala, dan langsung meraih tangan Rafael saat melihat pemuda itu telah bangun. Tangis haru pun pecah. Atun menciumi tangan anak asuhnya untuk mengungkapkan kerinduan selama ini.
"Aden dari mana saja? Mbak sangat mencemaskan keadaan Aden. Kenapa tidak pernah memberikan kabar kepada Mbak?" cecar Atun.
Rafael bangun, kepalanya terasa berat. Namun, dia mencoba menahannya. Rafael duduk sembari bersandar pada sandaran ranjang.
"Maaf, Mbak," ucap Rafael.
"Apa Aden sudah melupakan Mbak?" tanya Atun, terlihat sedih.
"Ish, mana mungkin Rafa lupain Mbak Atun. Rafa hanya butuh waktu untuk menenangkan diri saja, Mbak," sangkal Rafael.
Atun tersenyum. "Ya sudah, biar Mbak Atun buatkan sarapan dulu. Aden tunggu sebentar, ya," pinta Atun.
Rafael mengangguk. Atun kemudian pergi meninggalkan Rafael sendirian di kamarnya.
Sepeninggal ibu asuhnya, Rafael menengadahkan wajah. Selintas, kebersamaan singkat bersama mendiang Yohanes, kembali berkelebat dalam memorinya.
"Sorry, Yo. Gue belum sanggup menjaga amanah lu. Bahkan, gara-gara gue juga bang Sakur tertangkap," gumam Rafael.
"Ingat pulang juga kamu!" tegur Adinata yang tiba-tiba sudah berdiri di ambang pintu kamar anaknya.
Bukannya menoleh, Rafael malah memalingkan wajah. Entah apa yang dia rasakan untuk ayahnya.
"Jawab Papa, Rafa! Apa benar selama ini kamu ikut-ikutan geng motor?" tanya Adinata penuh tekanan.
Rafael diam. Sedikit pun, dia enggan bercerita tentang kepergiannya selama sebulan terakhir ini.
"Belum puas juga kamu mempermalukan keluarga ini, Rafa! Mau jadi apa masa depan kamu jika masih terus bersikap kekanak-kanakan seperti ini? Papa heran sama kamu, Rafa. Sebenarnya, apa yang kamu inginkan dari kami? Semua kebutuhan kamu telah kami penuhi. Pendidikan, mobil, uang, semuanya kami sediakan untuk kamu. Kurang apalagi?!" teriak Adinata.
Rafael tidak menjawab. Dia malah beranjak dari atas tempat tidur dan berjalan ke kamar mandi. Sedikit pun, dia tidak berniat untuk menanggapi ucapan ayahnya.
"Astaga, benar-benar kepala batu anak ini!" dengus Adinata seraya berlalu.
🔥🔥🔥
Di Mts Al-Furqon.
"Memangnya Bu Laras serius, ingin mencari pekerjaan tambahan?" tanya Hanifah, rekan kerja sesama tenaga honorer di sekolah Mts Al-Furqon.
"Iya Bu Hani. Kebutuhan rumah semakin bertambah. Kalau saya tidak nyari tambahan, jatuhnya besar pasak daripada tiang," tutur Larasati. "Ngomong-ngomong, apa Bu Hani punya info lowongan kerja paruh waktu?" imbuhnya.
"Emh, sebenarnya saya gak punya informasi apa-apa terkait lowongan pekerjaan yang Bu Laras cari. Akan tetapi, beberapa hari yang lalu, tetangga saya sempat meminta bantuan saya untuk ngajarin anaknya les bahasa Inggris. Namun, karena pendidikan saya bukan dari Bahasa Inggris, saya pun menolak tawaran tersebut," papar Hanifah.
Larasati yang lulusan D3 Tadris Bahasa Inggris, terlihat senang mendengar kabar yang dibawa sahabatnya. Dalam hati dia berkata, mungkin ini jalan yang Tuhan berikan untuk pekerja tambahannya.
Larasati pun lantas bertanya. "Apa tawaran tersebut masih berlaku, Bu?"
"Jujur saja, saya tidak tahu, Bu. Tapi kalau Ibu mau, saya bisa berikan alamat rumahnya kepada Ibu." kata Hanifah.
"Ah iya, Bu. Tentu saja saya mau."
Hanifah lantas menuliskan alamat di secarik kertas. Setelah itu, dia memberikan alamat tersebut kepada Larasati.
"Ini, Bu. Namanya bapak Rusdi, pemilik pabrik tempe. Nanti kalau beliau bertanya, Ibu bilang saja kalau Ibu temennya saya," tutur Hanifah.
"Baik, Bu. Terima kasih atas bantuannya," sahut Larasati.
"Sama-sama. Semoga berhasil, Bu," balas Hanifah.
Perbincangan pun berlanjut pada rencana ulangan akhir semester yang akan diadakan tak kurang dari dua bulan lagi.
Waktu terus beranjak. Jam pelajaran telah berakhir. Setelah menunaikan salat dzuhur, Hanifah berpamitan pulang lebih awal karena ingin mencari alamat orang tua yang membutuhkan guru privat Bahasa Inggris.
Larasati membuka dompetnya. Dia menghitung sisa uang yang masih ada di dalam dompetnya. Larasati menghela napas setelah menghitung nominal keseluruhan alat pembayaran tersebut.
Jika aku naik ojek, ongkosnya tentu tiga kali lipat dari ongkos angkot. Namun, jika aku naik angkot, hmm ... mana ada angkot di jam segini. Monolog Larasati di dalam hatinya.
Larasati mengambil selembar uang sepuluh ribuan. Naik apa pun, yang penting aku sampai di alamat ini. Semoga saja pekerjaan ini adalah jodohku, batinnya.
Akan tetapi, nasib baik menghampiri Larasati. Setelah keluar dari lingkungan sekolah, Larasati melihat angkot yang tengah menghentikan penumpang tak jauh dari depan pintu gerbang sekolah.
"Hmm, rezeki anak solehah nih," gumam Larasati seraya berlari kecil mendekati angkot tersebut.
"Tunggu, Bang!" Larasati berteriak saat sang kondektur sudah menaiki lagi angkot tersebut. Dia lantas mempercepat langkahnya supaya tidak ditinggalkan.
"Hup! Alhamdulillah," ucap syukur Larasati setelah berhasil naik dan duduk di dalam angkot.
Tak lama berselang, kendaraan umum yang jarang melintas itu pun, melanjutkan rute perjalanan.
Setengah jam berlalu, Larasati tiba di alamat yang diberikan rekan kerjanya. Dia mulai berjalan untuk mencari nomor rumah yang tertera pada secarik kertas tersebut.
"Nomor 21. Ah sepertinya ini rumahnya pak Rusdi," guman Larasati begitu sampai di sebuah rumah megah berlantai dua.
Dia lantas menghampiri seorang penjaga keamanan yang sedang berdiri dekat pintu gerbang.
"Permisi, Pak!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments