Setelah mengembalikan posisi Rafael ke tempat semula, Atun segera berlari menuruni anak tangga. Tiba di luar, dia menghampiri Diman yang sedang terkantuk-kantuk di pos penjagaan.
Tok-tok-tok!
Atun mengetuk kaca jendela, membuat Diman langsung mengerjapkan kedua matanya. Sesaat, dia menatap bengong kepada Atun yang sedang berdiri di balik kaca jendela pos penjagaan. Setelah melihat kecemasan pada raut wajah Atun, Diman lantas membuka pintu pos penjagaan.
"Aeh, ngapain malam-malam begini kamu keluar rumah, Tun?" tanya Diman, heran.
"Den Rafa pulang, Man," jawab Atun, dengan suara bergetar.
Diman mengucek kedua bola matanya. Dia pun mengedarkan pandangan untuk mencari keberadaan Rafael.
"Serius? Mana den Rafa-nya, Tun? Kok aku gak lihat siapa pun di sini selain kita." Diman kembali bertanya.
"Den Rafa sudah ada di rumah, Man. Sepertinya dia masuk lewat pintu belakang, tapi sekarang dia pingsan di depan pintu kamarnya. Tolong bantu aku untuk mengangkatnya ke atas ranjang," tutur Atun.
"Pingsan? Kok bisa sih, Tun?" tukas Diman seraya mengayunkan langkahnya untuk memasuki rumah.
"Entahlah, Man. Tapi kecium bau alkohol dari mulutnya," balas Atun, mengekori Diman.
"Astagfirullah! Den Rafa mabuk, Tun? Ayo!"
Diman mempercepat langkahnya. Begitu juga dengan Atun yang harus berlari-lari kecil untuk menyeimbangkan langkahnya dengan langkah lebar Diman.
Tiba di rumah, Diman segera berlari menaiki anak tangga. Dia sangat terkejut melihat anak majikannya tergeletak tak sadarkan diri tepat di depan pintu masuk kamarnya.
"Astaghfirullahaladzim! Kenapa bisa seperti ini atuh, Den?" gumam Diman seraya berjongkok.
Dengan sigap, Diman mengangkat tubuh lemah Rafael dan membawanya memasuki kamar. Setelah itu, Diman membaringkan Rafael di atas ranjang.
"Tolong kamu jaga dia sebentar, Man. Aku bawa waslap dan air hangat dulu," pinta Atun.
Diman mengangguk. Atun lantas pergi ke dapur untuk mengambil peralatan yang dimaksud. Tidak lama kemudian, Atun kembali ke kamar Rafael.
Diman beranjak dari tepi kasur. Setelah itu, giliran Atun yang duduk di sana. Dengan telaten, Atun menyeka wajah Rafael yang terlihat kusam.
Atun menatap nanar penampilan Rafael.
Sungguh, penampilan Rafael saat ini, sudah sangat jauh berubah. Gaya pakaian yang punk, rambut diwarnai, hidung ditindik, telinga memakai anting, celana jeans yang sobek, dan jaket kulit bertuliskan Dark Eagle, semakin membuat Rafael terlihat seperti seorang badboy. Atun hanya bisa menghela napas melihat penampilan baru anak asuhnya itu.
"Kenapa bisa seperti ini, Den?" ratap Atun seraya mengelap lengan Rafael yang sudah berubah warna menjadi hitam legam.
"Yang sabar, Tun," timpal Diman, menyentuh pelan pundak sahabatnya.
🔥🔥🔥
Di sebuah perkampungan yang cukup terpencil dan jauh dari pusat kota, tampak seorang wanita berambut panjang sedang menata meja makan. Meskipun hidangan yang tersaji hanya sekadar nasi, ikan asin dan sambal terasi, tapi wanita tersebut terlihat riang menatanya.
Beberapa menit kemudian, muncullah pria berpakaian rapi dan necis, menghampiri wanita tersebut. Pria itu membuang napasnya dengan kasar saat melihat makanan yang tersaji di meja makan.
"Ikan asin lagi?" katanya.
"Iya, Mas. Hanya ini saja yang bisa Laras beli. Syukuri saja, di luaran sana masih ada orang-orang yang tidak bisa menikmati sarapan setiap hari," ucap wanita tersebut.
"Huh, aku ngomong sejengkal, kamu nyahut sedepa," dengus pria itu semakin kesal.
Wanita yang bernama Larasati, hanya tersenyum tipis. Dia lantas meraih tangan suaminya dan memintanya untuk duduk.
"Maaf Mas Agam, Laras tidak bermaksud menyahut dan menyinggung perasaan Mas Agam. Laras hanya ingin mengingatkan Mas Agam saja, supaya kita harus banyak bersyukur, sekecil apa pun rezeki yang kita dapatkan hari ini. Laras ha–"
"Mulai dah, ceramah lagi. Udah deh, Ras. Aku tuh bukan anak didik kamu yang kudu kamu ceramahi tiap hari. Bosan aku dengar tausiah itu-itu mulu," potong Agam.
Larasati kembali menarik napas panjang. Dia tidak ingin memperpanjang masalah lagi dengan sang suami.
"Maaf, Mas. Laras belum gajian, jadi hanya ini yang bisa Laras sajikan. Kalau Mas suka, silakan Mas makan. Kalau tidak suka, tinggalkan saja!" ucap Larasati. Ada nada kecewa dalam perkataannya yang cukup tegas.
"Huh, selalu saja gaji yang menjadi alasan," gerutu Agam.
Larasati menghela napas berat tatkala sang suami mencibirnya. Sedetik kemudian, dia menarik kursi dan duduk di samping suaminya. Larasati lantas menggenggam tangan suaminya.
"Tolong bersabarlah, Mas. Ini baru pertengahan bulan, belum waktunya gajian juga," tukas Larasati, mencoba memberikan alasan sehalus mungkin.
"Halah, alasan!" dengus Agam, semakin terlihat kesal.
"Maaf, Mas. Tugas mencari nafkah, itu tugasnya suami. Posisi Laras hanya sekadar membantu saja. Jika Mas ingin makan enak, ya Mas cari kerja dong! Jangan cuma ngandelin Laras doang!"
Larasati mulai sedikit emosi. Sudah satu tahun lebih mereka menikah, tapi suaminya masih enggan mencari pekerjaan, sehingga harus Larasati yang menjadi tulang punggung dalam rumah tangganya. Dia bekerja sebagai tenaga guru honorer di sebuah Mts swasta.
"Sudah aku bilang jika aku tidak mengerti dengan iklim pekerjaan di kampung kamu. Aku ini orang kota, Ras. Mana bisa bercocok tanam seperti kebanyakan orang di kampung kamu," kelit Agam.
"Tapi, 'kan enggak harus jadi petani juga, Mas. Menjadi pedagang kek, buruh bangunan kek, pekerjaan apa pun, selama itu halal, aku tidak akan pernah mengeluhkan berapa gajinya, yang penting Mas bekerja dan bertanggung jawab sebagai seorang kepala keluarga," balas Larasati.
"Aku enggak ada bakat dagang, dan aku enggak sudi jadi buruh bangunan. Enak aja, orang gak sekolah pun bisa jadi kuli bangunan, lah terus, mau dikemanain gelar sarjana aku kalau cuma jadi buruh bangunan saja. Ck, menyebalkan!" Agam berdecak kesal. Kedua matanya memerah karena merasa terhina oleh ucapan istrinya.
"Mas selalu punya banyak alasan untuk tidak mencari kerja. Ya sudah, gak usah banyak protes kalau begitu. Nikmati saja yang ada, sudah syukur istri kamu yang cuma lulusan D3 ini masih bisa berpenghasilan," geram Larasati seraya beranjak dari kursi. Selera makan Larasati langsung menghilang melihat keegoisan suaminya.
Selalu saja seperti ini. Wanita itu harus selalu mengalah pada sifat suaminya yang benar-benar keras kepala. Setiap kali dia meminta suaminya untuk bekerja, alasannya selalu sama. Iklim pekerjaan di desa tempat mereka tinggal, sama sekali tidak cocok dengan Agam yang terlahir dan besar di ibu kota.
Ish, Mas ... harus butuh berapa tahun kamu beradaptasi dengan lingkungan desa ini?
Kesal karena tidak bisa melampiaskan semua kekecewaan terhadap suaminya, Larasati lantas mengguyur tubuhnya dengan air dingin pegunungan. Berharap, air dingin yang meresap ke dalam pori-pori kepala, bisa menjaga tingkat kewarasannya akibat ulah sang suami.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
Rezza M Andrea
mo jadi benalu keknya si agam
2023-11-09
0
ejakkk YT
dasar pria nggak tahu diri
2023-10-25
0