Lain dengan kedua majikannya, lain pula dengan Atun. Sikap Atun yang selalu mengkhawatirkan Rafael, berbanding terbalik dengan sikap kedua orang tua kandung Rafael. Meskipun Atun tidak pernah memiliki hubungan darah, tapi dia sangat menyayangi Rafael.
"Ish, Man ... masa hukuman den Rafa sudah berakhir, tapi kenapa dia belum pulang juga?" keluh Atun.
"Entahlah Tun, aku juga tidak tahu," jawab Diman.
"Aku cemas, Man. Aku takut den Rafa kenapa-napa. Apalagi ...."
Atun menjeda kalimatnya, membuat Diman mengernyitkan kening karena merasa heran.
"Apalagi kenapa, Tun? Apa kamu tahu sesuatu tentang den Rafa?" tanya Diman.
"Hhh ..." Atun menghela napas sebelum akhirnya menceritakan pembicaraan dia dengan Asyifa beberapa hari yang lalu.
Diman terkejut mendengar cerita Atun. "Apa kamu yakin, neng Syifa gak salah lihat, Tun?"
"Aku tidak tahu Man, tapi aku benar-benar cemas memikirkan semua kemungkinan itu," jawab Atun.
Kini, Diman yang menghela napasnya. "Semoga itu hanya dugaan neng Syifa saja, Tun. Den Rafa anak yang baik, aku yakin dia tidak mungkin melakukan hal-hal yang akan merugikan dirinya sendiri," tutur Diman.
"Iya, Man. Aku juga yakin kalau den Rafa tidak mungkin berbuat sesuatu yang melanggar aturan," timpal Atun.
"Ya sudah, sekarang kamu masuk, Tun. Udara malam tidak baik untuk kesehatan kita yang sudah berkepala empat," saran Diman.
"Sebentar lagi, Man. Aku masih ingin menunggu den Rafa. Siapa tahu malam ini dia pulang," sahut Atun.
"Tun, bukannya aku tidak paham akan perasaan kamu. Namun, semakin hari, aku lihat kamu semakin kurusan saja. Aku takut kamu jatuh sakit karena harus menunggu kepulangan den Rafa setiap malam. Masuklah, jika den Rafa pulang, aku pasti kabari kamu," ujar Diman.
Atun menarik napas cukup panjang. Setelah mengembuskannya dengan perlahan, dia pun mengangguk, menyetujui saran Diman.
Dengan berat hati, Atun beranjak dari kursi di teras depan. Dia lantas mengayunkan langkah memasuki rumah, sedangkan Diman, pria berusia 48 tahun itu pun kembali ke pos keamanan tempat dia berjaga.
🔥🔥🔥
"Sekarang kerjakan soal nomor 4. Silakan Asyifa, maju ke depan!" perintah Bu Ida.
Asyifa yang sedang melamun, sama sekali tidak mendengar perintah gurunya. Dia malah asyik menopang dagu dengan kedua tangan, seraya menatap kosong papan tulis di depan.
"Silakan maju Asyifa!" Kembali Bu Ida memberikan perintah. Namun, Asyifa masih belum juga menyadari perintah tersebut.
"Asyifa Maharani!" teriak Bu Ida yang mulai kesal dengan sikap murid kesayangannya.
Asyifa terlonjak kaget. "Eh, saya Bu!" serunya.
"Astaga, sejak tadi saya menyuruh kamu maju ke depan. Apa kamu tidak mendengarnya, hah?" geram Bu Ida.
"Ma-maaf, Bu. Sa-saya sedang tidak fokus," jawab Asyifa, gugup.
Bu Ida berjalan mendekati Asyifa. Jujur saja, dia sangat menyayangkan sikap Asyifa kali ini. Padahal, Asyifa termasuk anak yang pandai di kelasnya.
"Apa kamu sedang ada masalah, Syifa?" Selidik Bu Ida, sambil mengernyitkan dahinya.
"Ti-tidak, Bu. Sa-saya baik-baik sa-ja," sahut Asyifa, semakin gugup.
"Apa kamu sakit?" Sepertinya Bu Ida tidak begitu puas mendengar jawaban Asyifa. Dia kembali mencecar Asyifa dengan pertanyaan.
Asyifa menggelengkan kepalanya, lemah. Dia hanya bisa menundukkan wajah karena menyadari kesalahannya yang tidak fokus memperhatikan pelajaran.
"Iya, Bu. Asyifa sakit, tapi sakit hati. Hahaha,..." timpal salah satu teman sekelasnya.
Asyifa mendelik. Sementara itu, Bu Ida semakin mengernyitkan keningnya.
"Sakit hati?" ulang Bu Ida. "Apa itu benar, Syifa?" tanyanya seraya menelisik raut wajah Asyifa yang sudah merah padam.
"Ti-tidak, Bu. Fadil hanya becanda saja," sahut Asyifa, geram.
"Benar, Bu. Asyifa gak fokus karena memikirkan pangerannya yang belum kembali dari berkelana. Hahaha,...." celetuk Raisa, salah satu siswi yang selalu menjadi saingan Asyifa dalam prestasi.
Bola mata Asyifa sontak membulat. Wajahnya semakin terlihat seperti kepiting rebus saja. Sungguh, dia merasa sangat malu saat semua teman-teman sekelas, mentertawakan dirinya.
"Sabar ya, Syif," bisik Salsabila seraya mengusap-usap lengan Asyifa.
"Sudah-sudah, jangan bikin kegaduhan di jam pelajaran saya, atau kalau tidak ... kalian akan mendapatkan nilai E untuk mata pelajaran saya. Sekarang, semuanya kembali fokus pada materi! Dan kamu Asyifa, pergilah ke belakang! Basuh wajahmu biar bisa fokus memperhatikan materi!"
Asyifa mengangguk. Beruntung, saat dia hendak beranjak dari tempat duduknya, bel istirahat berbunyi. Semua siswa tampak riuh menyambut jam istirahat.
Tidak seperti biasanya, sudah beberapa hari Asyifa terlihat tidak bersemangat menyambut bel istirahat sekolah. Salsabila yang mengetahui alasan hilangnya semangat Asyifa, hanya bisa menghela napas.
"Ayo Syif, kita ke kantin!" ajak Salsabila.
"Gue gak mood, Bil. Lu aja," sahut Asyifa, pelan.
Salsabila yang sudah berdiri, kini duduk kembali. Dia lantas menggenggam erat kedua tangan sahabatnya.
"Tolong jangan seperti ini, Syif. Gue yakin kalau si Rafa baik-baik saja," ucap Salsabila.
"Entahlah, Bil. Sudah seminggu dari waktu hukuman Rafa selesai, tapi dia masih belum juga sekolah," balas Asyifa.
Salsabila menghela napas. "Gue tahu, tapi kita bisa apa, Syif? Semua usaha sudah kita lakukan untuk mencari keberadaan Rafa. Bahkan, pamflet pun sudah kita sebar. Namun, sampai detik ini belum juga ada kabar dari Rafa. Apa mungkin, dia ...."
Salsabila menghentikan ucapannya.
"Mungkin dia apa, Bil? Dia kenapa?" desak Asyifa yang mulai kalut menduga pemikiran sahabatnya.
"Apa mungkin dia tidak ingin kembali lagi ke sekolah? Atau bahkan ke keluarganya?" duga Salsabila.
"Enggak-enggak ... i-itu tidak mungkin, Bil. Tidak mungkin." Lirih Asyifa. Suaranya mulai serak karena menahan sesak di dadanya.
"Tenanglah Syifa, itu hanya dugaan gue saja. Lu tenanglah dulu," kata Salsabila.
"Ish, Bil ... bagaimana gue bisa tenang. Memikirkan kemungkinan itu, membuat kepala gue rasanya mau pecah saja. Terlebih lagi jika benar Rafa bergabung dengan geng motor, hidupnya pasti dalam bahaya, Bil. Lu tahu sendiri, 'kan, gimana masyarakat kita menilai komunitas tersebut. Gue takut, Bil. Gue takut Rafa salah jalan, dan hanya bisa menjadi sampah masyarakat," ungkap Asyifa.
"Ish, jangan terlalu berpikiran buruk seperti itu, Syif!" tukas Salsabila.
"Tapi itu mungkin, 'kan, Bil?" lanjut Asyifa.
"Ya sudah, gimana kalau lu minta bantuan bokap lu aja buat nyari si Rafa?" usul Salsabila.
"Maksud lu?" Asyifa balik bertanya seraya mengerutkan keningnya.
"Bokap lu, 'kan pengacara Syif, pasti punya banyak kenalan detektif-detektif gitu, 'kan? Kenapa lu gak minta dia buat sewa detektif dan mencari keberadaan si Rafa?" lanjut Salsabila.
Asyifa tersenyum setelah berhasil mencerna perkataan sahabatnya. Di detik selanjutnya, Asyifa mengeluarkan ponsel dari dalam saku baju. Dia lantas menelepon sang ayah untuk meminta bantuan mencari Rafael.
"Halo, assalamu'alaikum Yah!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments