"Ra-rafa," panggil lirih Yohanes.
"Enggak, Yo. Jangan banyak bicara, diamlah!" pinta Rafael.
"Rafa benar, Yo. Tenanglah, lu pasti baik-baik saja," timpal Bimbim.
"Gu-gue ti-tip a-nak-anak. Ja-jaga me-reka se-semua u-untuk gu-gue," lanjut Yohanes terbata-bata.
"Shut up!" bentak Rafael yang mulai menitikkan air mata. Entah kenapa, perkataan Yohanes seolah-olah ingin membebani dia dengan tanggung jawab yang begitu berat.
"I-ini wa-siat gu-e, Fa. Gu-gue wa-riskan D-dark Eagle sama lu. Ja-jaga me-reka!"
Tak lama kemudian, sirine ambulans mulai terdengar semakin mendekat. Rafael lantas mengangkat tubuh Yohanes yang sudah terkulai tak berdaya. Darah segar masih terus merembes membasahi pakaian yang dikenakan Yohanes.
Tatkala mobil ambulans berhenti, Bimbim berlari untuk membuka pintu belakang. Sejurus kemudian, Rafael naik dan membaringkan Yohanes di brankar. Hingga beberapa detik kemudian, mobil ambulans pun kembali melaju dengan bunyi sirine yang semakin menjerit-jerit.
Tim medis sudah memasang oksigen di kedua lubang hidung Yohanes. Berharap, dengan pertolongan pertama yang mereka lakukan, Yohanes akan tetap bertahan. Setidaknya hingga dia sampai di rumah sakit.
Namun, gerakan kepala Yohanes seakan memberikan isyarat agar selang oksigennya dicabut. Sepertinya, ada sesuatu yang hendak dia katakan.
"Tolong buka selang oksigennya, Kak," pinta Rafael secara baik-baik.
"Astaga, kondisi teman Anda sudah semakin sekarat. Bisa-bisanya Anda memiliki pikiran jahat untuk membuka selang oksigen yang membantunya bernapas?" geram salah satu tim medis kepada Rafael.
"Saya tahu, tapi sepertinya kakak saya tidak terlalu nyaman dengan benda tersebut. Lagi pula, saya melihat jika kakak saya ingin mengatakan sesuatu," tukas Rafael tak kalah sewotnya.
"Ya, adik saya benar. Cepat buka, atau aku buat kamu tidak bisa lagi bekerja si rumah sakit!" ancam Bimbim.
Melihat wajah beringas seorang pria berambut gondrong, perawat itu pun melepaskan selang oksigen dari kedua lubang hidung Yohanes.
"Ra-fa, ingat-lah pe-pesan-ku i-ni. Ja-jaga ba-ik-baik anak-anak. A-ku per-caya pa-padamu. Uurgh ...."
Yohanes kembali berpesan meskipun napasnya sudah tersengal. Entah apa yang menjadi alasan Yohanes mewariskan kepemimpinannya kepada Rafael. Namun, Yohanes yakin jika Rafael mampu memberikan harapan bagi para anak jalanan dan juga geng motornya.
Sebenarnya, Rafael sendiri merasa bingung. Sama sekali tidak terlintas dalam pikirannya, untuk memimpin sebuah geng. Apalagi geng motor, yang predikatnya identik dengan keburukan. Namun, demi menenangkan hati sahabatnya. Dia pun mengangguk, dan menerima wasiat yang dititipkan Yohanes.
Pria yang sudah pucat pasi itu tersenyum bahagia. Sedetik kemudian, kedua mata Yohanes menutup sempurna.
Rafael tergamam begitu juga dengan Bimbim. Baru setelah mereka mendengar teriakan salah satu perawat untuk melajukan ambulans lebih kencang lagi, Rafael dan Bimbim sadar jika kondisi Yohanes tidak sedang baik-baik saja.
🔥🔥🔥
Hari Minggu ini, Asyifa hendak bertandang ke rumah keluarga Rafael. Sudah beberapa hari, pikiran Asyifa sangat kacau. Dia merasa gelisah. Apalagi setelah pertemuan tak sengajanya dengan Rafael, gadis itu pun semakin cemas memikirkan keadaan kekasih hatinya.
Asyifa memang tidak pernah mengunjungi rumah Rafael. Sejak menjadi kekasih Rafael setengah tahun ke belakang, Asyifa sama sekali belum pernah menginjakkan kakinya di rumah Rafael. Memang benar, Rafael seperti enggan membawa Asyifa ke rumahnya dan memperkenalkannya kepada kedua orang tuanya. Asyifa sendiri tidak tahu alasannya.
Asyifa hanya pernah bertemu dengan ibu asuh Rafael. Itu pun hanya satu kali. Namun, meskipun demikian, Asyifa selalu berhubungan baik dengan wanita paruh baya itu, bahkan sampai detik ini.
Asyifa merogoh ponsel di dalam tas selempangnya. Dia mencari nama Mbak Atun untuk menghubunginya.
"Hmm, akan aku tanyakan sama mbak Atun, apakah Rafael sudah pulang atau belum?" gumam Asyifa.
Tak memerlukan waktu lama, telepon pun tersambung.
"Assalamu'alaikum, Mbak!" sapa Asyifa.
"Wa'alaikumsalam, Neng. Ada yang bisa Atun bantu?" tanya Mbak Atun di ujung telepon.
"Gini, Mbak. Syifa mau nanya, apa Rafa sudah pulang?" Asyifa kembali bertanya.
"Belum, Neng. Den Rafael sama sekali belum pulang. Mbak sendiri enggak tahu harus nyari den Rafa ke mana lagi," jawab Mbak Atun terdengar sendu.
"Beberapa hari yang lalu, Syifa sempat ketemu sama Rafa, Mbak. Syifa pikir, Rafa sudah pulang," lanjut Asyifa.
"Benarkah?" seru Mbak Atun terdengar sumringah. "Di mana, Neng?" imbuhnya.
"Di taman kota, Mbak. Ngomong-ngomong, apa orang tua Rafa ada di rumah, Mbak? Syifa ingin bertemu dengan orang tua Rafa. Syifa ingin menyampaikan kabar ini. Siapa tahu orang tua Rafa bisa menemukan Rafael dan membujuknya untuk pulang," tutur Asyifa.
"Ah, iya Neng. Kebetulan mereka ada di rumah hari ini. Sepertinya, mereka sedang mengemasi pakaian. Mbak dengar, besok tuan dan nyonya Adinata akan melakukan perjalanan bisnis," beber Mbak Atun.
"Ya sudah, Mbak. Sekarang juga Syifa pergi ke sana. Syifa tutup teleponnya, ya. Assalamu'alaikum!" pungkas Asyifa.
"Wa'alaikumsalam," jawab Mbak Atun di ujung telepon.
🔥🔥🔥
Setibanya di rumah sakit, Yohanes dibawa memasuki ruang ICU. Rafael mendampingi Yohanes sampai depan pintu ruangan tersebut. Sementara itu, Bimbim pergi ke tempat pendaftaran untuk mendaftar.
Di ruang ICU. Tim dokter berupaya memberikan pertolongan. Namun, rupanya Yohanes telah meregang nyawa di saat perjalanan menuju rumah sakit. Upaya para dokter pun sia-sia. Dengan wajah menyesal, Dokter Kimmy, selaku ketua tim dokter, keluar untuk menemui keluarga pasien.
Rafael beranjak dari atas kursi tunggu. Dia berlari ke arah pintu ruang ICU yang kini terbuka lebar. Raut wajah seorang dokter muda yang tengah berdiri di ambang pintu, sesaat membuat kedua lutut Rafael gemetar. Rasanya, apa yang sedang ditakuti saat ini, akan terucap dari bibir mungil berlipstik tipis.
"Ba-bagaimana keadaan kakak saya, Dok?" tanya Rafael.
"Saya minta maaf yang sebesar-besarnya, Mas. Kakak Mas tidak bisa kami tolong. Sepertinya, beliau sudah tiada saat sedang dalam perjalanan kemari," tutur dokter wanita berambut panjang itu.
Rafael limbung. Kedua kakinya tak mampu menopang tubuhnya lagi. Saat dia hendak terjatuh, dengan sigap Bimbim yang baru saja datang, menangkap tubuh Rafael sehingga tidak jadi menyentuh lantai.
"Kenapa, Fa? Apa yang terjadi dengan Yo?" tanya Bimbim.
Rafael tidak menjawab, dia hanya memeluk Bimbim dengan erat. Kedua bahunya bergerak naik turun. Menandakan jika dia sedang menangis.
"Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un," gumam Bimbim, berusaha untuk tegar.
Dokter Kimmy mematung. Dia memberikan waktu kepada kedua orang itu, untuk saling menguatkan satu sama lain. Hingga tak lama berselang, seorang perawat muncul di hadapan mereka.
"Permisi, Dok. Apa jenazah hendak dipindahkan ke kamar jenazah untuk pemulasaraan?" tanya perawat tersebut.
"Oh, kita tanyakan saja kepada keluarganya, Sus," sahut Dokter Kimmy.
Mendengar percakapan tim medis, Rafael dan Bimbim saling melepaskan pelukan. Mereka kembali berhadapan dengan dokter yang menangani Yohanes.
"Bagaimana, Mas. Apa perlu kami memulasara jenazah di sini?" tanya Dokter Kimmy.
"Tidak perlu, Dok. Kami akan langsung membawa kakak kami pulang untuk dimakamkan," sahut Rafael, tegas.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
Elisabeth Ratna Susanti
like 👍
2023-10-16
0