Larasati terkejut melihat kucing hitam yang baru saja muncul dari samping rumahnya. Sontak dia urung membuka pintu rumah. Larasati segera berlari menuju arah samping. Perempuan berhijab itu langsung memeriksa kolam buatan yang berbentuk lingkaran dengan diameter sekitar setengah meter.
"Ups, hampir saja!" gumam Larasati.
Dia menarik napas lega, ketika melihat kolam ikan buatan yang terletak di samping rumahnya, masih rapi tertutup kawat ram. Itu artinya, sudah bisa dipastikan jika ikan nila peliharaannya, baik-baik saja.
"Kalian belum pada makan, ya."
Larasati bermonolog seraya berjalan mendekati bangku panjang. Dia meraih kaleng bekas biskuit dari kolong bangku dan membukanya. Tak lama kemudian, Larasati menyendok pakan ikan dan menaburkannya ke dalam kolam buatan.
"Makan yang banyak, ya. Biar cepat gendut. Nanti, kalian harus ridho ya, kalau Laras goreng buat lauk nasi." Monolog Larasati sembari terus menebarkan pakan ke dalam kolam.
Puas memberi makan ikan peliharaannya yang masih berukuran sebesar jari kelingking, Larasati lantas menyimpan kembali kaleng bekas biskuit yang digunakan sebagai wadah pakan ikan. Dia pun membasuh kedua tangannya.
Larasati mengayunkan langkah hendak kembali ke depan. Namun, keningnya mengernyit tatkala dia mendengar suara mendesis dari balik jendela kamarnya.
"Apa ada ular di dalam kamar?" gumam Larasati yang lantas mendekati jendela kamar.
Semakin dekat, desisan itu semakin terdengar jelas. Bahkan ditimpali oleh rintih bariton yang terdengar bergairah. Lenguhan manja suara perempuan, menggaung jelas menerpa indera pendengaran Larasati. Sontak perempuan itu menghentikan langkah dan mematung dekat jendela kamarnya.
Larasati menajamkan indera pendengarannya.
"Mas, iish ... aah, lebih cepat lagi, Mas. Sudah mau keluar. Aahh ...."
Racauan suara perempuan terdengar sangat jelas dari balik jendela kamarnya. Jantung Larasati berdegup kencang. Sesaat, dia menutup mata dan telinga. Berharap jika semua ini hanya ilusinya saja.
Namun, lengkingan keras nan panjang suara perempuan, diiringi erangan suara laki-laki yang menggema dari arah kamar, sontak membuat Larasati membuka kelopak mata.
I-itu suara mas Agam, ta-tapi siapa perempuan yang sedang bersamanya di dalam kamar?
Larasati sangat mengenali suara bariton itu. Bergegas dia mengayunkan langkah menuju pintu belakang. Larasati yakin, pintu depan pasti terkunci rapi. Terlebih lagi, suaminya sedang melakukan perbuatan tak senonoh bersama perempuan lain. Namun, bagaimana bisa? Sejak kapan? Dan kenapa? Ah, entahlah ... ada banyak pertanyaan yang tidak bisa Larasati pikirkan jawabannya untuk saat ini.
Larasati mengambil kunci cadangan pintu dapur. Berharap suaminya tidak mengunci pintu dengan menggunakan kunci slot dalam. Ya, bagaimana mungkin Agam mengunci pintu dapur. Toh berjalan melewati dapur pun, dia enggan. Kotor dan menjijikkan, hanya kata itu yang selalu dia dengar dari bibir suaminya jika Larasati meminta Agam mengambil sesuatu dari dapur.
Trek!
Syukurlah, mas Agam tidak mengunci pintunya, batin Larasati.
Perlahan, Larasati mendorong daun pintu yang telah terbuka kuncinya. Jantungnya berdegup kencang tatkala dia mengayunkan langkah memasuki dapur. Sebenarnya, kedua kaki Larasati terasa lemas setelah mendengar suara-suara aneh dari balik jendela kamarnya. Namun, dia harus bisa memastikan suara itu memang milik suaminya dan seorang perempuan.
Semakin mendekati kamar, Larasati semakin mempercepat langkahnya. Hatinya sudah bersiap untuk melihat kemungkinan terburuk yang sedang terjadi di dalam kamar. Perlahan, Larasati menekan handle pintu, meskipun harapan untuk pintu terbuka, sangatlah tipis.
Klek!
Keberuntungan ternyata masih berpihak kepada Larasati. Entah karena sembrono atau tak mampu menahan hasrat, laki-laki brengsek itu ternyata tidak sempat mengunci pintu kamarnya.
Larasati sudah tidak mampu membendung semua rasa. Penasaran, emosi, marah, dan sakit, membuat dia langsung menekan kuat handle pintu dan membukanya begitu kasar.
Pyarrr!
Cermin hatinya langsung pecah tatkala melihat dua insan sedang bergumul tanpa sehelai benang yang membalut tubuh mereka.
"Laras!" ujar Agam sesaat setelah menoleh ke arah pintu.
Larasati mematung. Suaranya seakan tercekat di tenggorokan saat dia melihat perempuan yang sedang menarik selimut untuk menutupi tubuh polosnya.
"La-laras ... a-aku ... a–"
Beraninya kau! Beraninya kalian mengkhianati aku! Dasar manusia-manusia bejat! pekik Larasati di dalam hatinya.
"Ka-kalian ... kenapa ka–"
Brugh!
Larasati mulai kalap tatkala menangkap basah perselingkuhan suami dengan sahabatnya sendiri. Namun, di saat emosinya membuncah, tiba-tiba penglihatannya kabur. Sepersekian detik kemudian, kepalanya terasa berputar hebat. Dunianya pun gelap seketika.
Di detik selanjutnya, perempuan yang masih mengenakan seragam dinasnya itu, ambruk di atas lantai.
Melihat istrinya jatuh pingsan, Agam panik. Dia segera melompat dari atas ranjang, dan meraih pakaiannya yang teronggok di lantai. Lepas itu, Agam meraih Larasati, menggendongnya dan membaringkan wanita itu di atas ranjang bekas pergumulan dia bersama selingkuhannya.
"Apa dia pingsan, Mas?" tanya Adhea.
"Aku tidak tahu," jawab Agam. "Cepat kamu pakai bajumu!" perintahnya.
Adhea yang sudah beringsut dan menepi di atas kasur, akhirnya beranjak. Dia pun memungut pakaiannya yang sudah berceceran di lantai. Dengan cekatan, Adhea memakai pakaiannya dan kembali mendekati Agam.
"Ba-bagaimana ini, Mas?" tanya Adhea. "Laras pasti akan sangat membenci aku setelah memergoki perselingkuhan kita," imbuhnya.
"Jujur saja, untuk saat ini, Mas tidak bisa berpikir apa-apa. Sekarang kamu pulanglah, biar Mas urus Laras dulu," jawab Agam.
"Tapi, Mas. Masa Dhea pulang sendiri?" protesnya.
"Dhea, please!" tegas Agam seraya mengatupkan kedua telapak tangannya. "Keadaan sedang genting, tolong mengertilah!" sambungnya.
"Iya-iya ...."
Adhea mengencangkan ikat pinggangnya. Sembari mengerucutkan bibir karena merasa kesal atas sikap Agam, Adhea pun berlalu pergi keluar kamar.
Sepeninggal Adhea, Agam lantas mengambil ponsel dari atas meja rias. Melihat wajah Larasati yang pucat pasi, Agam mulai khawatir. Dia sadar, Larasati pasti sangat shock dengan apa yang baru dilihatnya. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Agam sudah tidak bisa berkelit lagi jika Larasati bertanya.
Akan tetapi, dia yakin jika dia bisa meluluhkan wanita itu dengan satu permohonan maaf. Yang terpenting saat ini, dia harus menghubungi dokter untuk memastikan kondisi Larasati.
"Assalamu'alaikum. Selamat siang, di sini dengan Dokter Hafiz, ada yang bisa saya bantu?" sapa Dokter Hafiz, dokter muda yang bertugas di desa Larasati.
"Selamat siang, Dok. Ini Agam, dari kampung Saluyun. Apa Dokter bisa datang ke rumah? Istri saya pingsan, Dok," tutur Agam.
"Baiklah, Pak Agam. Kebetulan saya sedang memeriksa pasien di kampung Anda. Mohon tunggu sebentar, sepuluh menit lagi saya datang ke rumah Anda," sahut Dokter Hafiz.
"Baik, Dok. Terima kasih, assalamu'alaikum!"
"Wa'alaikumsalam."
Setelah mendapatkan jawaban salam dari dokter yang dihubunginya, Agam lantas meletakkan ponsel di atas bantal. Dia berjongkok seraya meraih tangan Larasati yang mulai terasa dingin.
Agam mengecupnya seraya berkata. "Maafkan aku, Sayang. Bangunlah!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
Rezza M Andrea
ya elah ... bilang sayang setelah uenak-uenak ma cewe laen. dasar curuttt
2023-11-09
0