"Kak Ari, temani aku buat pergi ke butik dong. Aku nggak enak kalo harus pergi sendiri. Aku nggak bawa gaun ke sini soalnya."
"Maaf, Nona. Saya sibuk."
"Yah, kak. Nggak lama kok. Cuma pergi bentar doang. Enggak enak jalan sendirian soalnya."
"Ajak yang lain saja. Saya tidak bisa."
"Yah ... kak Ari kok tega banget, kak. Orang nggak lama juga. Mau ajak nenek, nenek nggak mau. Takut capek katanya karena sudah tua. Mau ajak ... ya, kalau gitu aku ajak kak Bia saja. Karena kak Ari nya nggak mau. Jadi, aku ajak kak Bia biar .... "
"Tidak, nona. Saya saja. Tapi, izin dulu pada tuan Viar."
Akhirnya Feby tersenyum lebar. Niatnya untuk mengajak Fahri jalan-jalan akhirnya tercapai juga. Ia pun sangat amat bahagia.
"Baiklah. Aku izin sama kak Bia saja."
"Jangan. Langsung sama tuan Viar saja."
"Aku nggak mau ganggu kak Viar, Kak Ari."
"Mm ... bagaimana kalau kita pergi saja tanpa izin. Nggak akan lama juga kok."
"Tapi .... "
"Aku izin nenek saja yah. Kan sama saja, kak Ari."
Akhirnya, Fahri mengiyakan juga apa yang Feby katakan. Mereka pun pergi meninggalkan Viar vila setelah Feby siap-siap.
Sementara itu, Bia tersenyum kecil melihat tingkah Feby yang begitu antusias saat Fahri bersedia ia ajak pergi. Dari mata Feby yang begitu bahagia, juga dari sikap Feby yang sangat amat senang dan terus berusaha mendekati Fahri, Bia tahu, kalau Feby memang sedang menaruh hati pada pria batu itu. Pria dingin yang sangat tidak mudah untuk ditaklukan.
"Apa yang sudah membuat kamu merasa geli hati, Nak?"
Sontak, satu pertanyaan dari si nenek mampu membuat Bia jadi terkejut. Bagaimana tidak? Karena terlalu sibuk memperhatikan Feby yang bahagia, sampai kedatangan nenek pun dia tidak menyadarinya.
"Ah! Ya ampun. Nenek." Bia berucap dengan wajah tidak enak. Tak lupa, senyum nyengir kuda juga ia perlihatkan sambil menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal.
Nenek Viar tersenyum kecil melihat tingkah istri dari cucunya yang agak menggelikan hati. "Sibuk memperhatikan Feby sampai gak sadar akan keberadaan nenek, Bi. Nenek jadi mikir, kalau kamu sedang memperhatikan Viar itu gimana lagi ceritanya yah? Apa nenek langsung nggak kelihatan sama sekali? Meskipun nenek ada di depan kamu saat ini."
Bia semakin merasa tidak enak hati saja.
"N-- nenek ngomongnya kok gitu sih? Aku nggak akan lupain nenek kok, Nek."
Si nenek pun langsung terkekeh.
"Nenek hanya bercanda aja kok, Bi. Gak usah ditanggapi dengan wajah yang sangat serius seperti itu juga lah."
"Oh iya, temani nenek ngobrol di taman yuk! Kamu nggak ada kerjaan, kan Bia?"
"Gak, Nek. Hayuk!"
Keduanya pun langsung beranjak menuju taman. Tiba di sana, nenek kembali membuka obrolan dengan pembahasan yang sebelumnya sempat tertunda.
"Kamu tadi pasti sedang memperhatikan ekspresi Feby, kan Bi?"
"Iy-- iya, Nek." Bia berusaha menjawab dengan jujur. Meskipun ia masih sangat bingung sebenarnya dengan apa yang nenek Viar katakan.
Tanpa Bia minta, nenek langsung menceritakan prihal Feby yang ternyata memang suka Fahri sejak lama. Tepatnya, sejak dia melihat Fahri untuk yang pertama kali.
Saat itu, usia mereka memang masih anak-anak. Tapi Feby, sudah suka akan semua yang Fahri punya. Tak menyangka, rasa suka itu tetap terbawa hingga Feby tumbuh dewasa. Sayangnya, cinta itu tidak terbalaskan. Ditambah hubungan Feby dan Viar yang rusak. Semakin rumit pulalah kisah cinta Feby untuk Fahri.
"Itu ... mungkin Fahri merasa tidak cocok akan Feby, Nek. Karena itu ia menolak Feby secara halus. Apalagi kan, Fahri orangnya ... yah, kata mas Viar, dia patung, Nek. Nggak punya ekspresi untuk ditunjukkan sama sekali."
Nenek melepas napas secara kasar.
"Jika untuk status, harusnya Fahri tahu, Bia. Keluarga Adimartha tidak pernah mempermasalahkan latar belakang dari calon pasangan yang anggota keluarga kami pilih. Janji orangnya baik, maka kami selaku anggota keluarga tidak akan mempermasalahkan latar belakangnya dari mana."
Salbia terdiam. Benaknya lalu memikirkan prihal yang baru saja si nenek ucap. 'Pantas saja nenek tidak pernah bertanya seperti apa keluargaku sebelumnya. Ternyata, ini alasan kenapa ia tidak bertanya.' Bia berkata dalam hati.
Sebelumnya, Bia memang sempat curiga akan nenek dari suaminya ini yang tidak pernah menyingung dari mana ia berasal. Dalam benak Bia terpikirkan dua alasan untuk menjawab hal itu. Yang pertama, soal Viar yang sudah menceritakan duluan. Yang kedua, yah ... karena dia mirip Meisya. Perempuan yang sampai detik ini, Bia hanya tau namanya saja. Tapi masih tidak ia ketahui siapa Meisya yang sebenarnya bagi Viar.
*
Hari H pesta ulang tahun perusahaan Viar akhirnya tiba. Bia yang mengenakan gaun yang Viar pesan sangat amat cantik. Dandanan natural melengkapi indahnya paras perempuan itu. Pancaran pesona terlihat dengan sangat jelas. Sungguh, Viar sama sekali tidak bisa mengalihkan pandangan dari istri yang saat ini ada di depan matanya.
"Cantik."
"Apa, Mas?"
"Kamu cantik, Bia. Sangat amat cantik." Kagum Viar tanpa berkedip.
Bia hanya tersipu malu saja saat mendapatkan pujian itu. Sementara nenek dan yang lainnya, tak pula ingin ketinggalan memuji penampilan Salbia. Bia memang sangat amat cantik malam ini. Wajar jika menerima semua pujian dari hampir seluruh penghuni Viar vila.
Hampir? Ya, seperti biasanya, hanya Fahri yang tidak berucap. Tapi pada dasarnya, dia juga mengangumi istri dari majikannya itu. Karena dapat dilihat dengan sangat jelas dari tatapan Fahri ketika Bia turun dari lantai atas. Fahri terkesima selama beberapa saat. Bibirnya terdiam. Tapi tatapan tak bisa dibohongi. Dia juga kagum akan penampilan Salbia.
Tak hanya Fahri saja, ketika Bia dan Viar tiba di ruangan pesta, semua mata tertuju pada mereka berdua. Ketika keduanya berjalan di atas karpet merah tepuk tangan dan tatapan kekaguman terlihat dengan sangat amat jelas. Bahkan, Siska dan juga kedua orang tuanya saja tidak bisa untuk berkata apa-apa ketika melihat Salbia yang luar biasa.
Perlahan, rasa minder tumbuh dalam hati Siska. Untuk yang pertama kalinya, ia merasa kalah akan adik tiri yang tak diakuinya itu.
'Tidak. Bagaimana mungkin dia bisa secantik ini? Ini tidak benar. Ini sangat amat tidak adil namanya.' Siska berucap sambil menggenggam erat tangannya.
'Dan, ya Tuhan ... kenapa Tuan Viar bisa jadi semenawan ini sih? Ini sangat amat jauh dari yang orang lain bicarakan. Tidak adil. Ini benar-benar tidak adil.'
Tidak bisa Siska pungkiri, kalau ia juga mengangumi tuan Viar yang tampan. Bukan hanya Siska, sebagai perempuan juga merasakan hal yang sama. Bahkan ada yang bilang kalau dia menyesal tidak mendekati tuan Viar kemarin saat dia menduda.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Eric ardy Yahya
nah kan , Siska tidak dianggap oleh Tuan Muda Viar , sekarang BERHARAP mau merebut Viar dari Salbia ? gak usah PD deh Siska , nanti kamu menyesal karena Viar bisa membunuh kamu tuh
2024-01-27
0
Elena Sirregar
Siska yg suka iri dan dengki. biar bagaimana pun Bia itu adik kandung mu biar pun lain ibu
2023-10-17
2