Bia berkata dalam hati. Saat itu, ia ingat akan pria yang datang dari masa lalunya. Pria yang sangat ia kagumi akan ketulusan. Tapi sayang, harus kandas di tengah jalan karena terhalang restu orang tua.
Dia yang hanya seorang putri dari pernikahan siri, mana bisa diterima dengan baik oleh kebanyakan orang. Ia dianggap anak har- am karena pernikahan siri itu. Mamanya dianggap sebagai pelakor karena telah menerima pria yang sudah beristri.
Mamanya di salahkan secara sepihak karena telah menjadi istri siri seorang pria. Tapi, tidak ada yang tahu, kalau kesalahan itu bukan murni hanya kesalahan dari mamanya saja. Papanya lah yang bersalah. Kenapa bisa membohongi mamanya dengan kata-kata manis. Hingga sang mama yang polos, bisa percaya begitu saja akan kata-kata dan rayuan manis itu tanpa berpikir ulang. Sungguh miris.
Ingatan itu membuat Bia merasa sangat amat sedih. Sampai, air mata jatuh begitu saja melintasi kedua pipinya. Tak mampu ia tahan meskipun ia sangat tidak ingin menjatuhkan air mata tersebut.
"Bia! Kamu kenapa?" Tentu saja Viar langsung kelabakan karena air mata itu. Dia panik sekali sekarang. Karena dalam pikiran Viar, Bia menangis karena terluka oleh dirinya.
Dengan cepat Bia menyeka air mata itu.
"Mas, aku gak papa kok. Ini ... aku kelilipan doang."
"Bi, jangan bohong. Aku lihat air mata itu dengan jelas. Bia, aku minta maaf karena telah membuat kamu merasa sedih. Aku mohon jangan .... "
Dengan berani, Bia menyentuh bibi Viar dengan satu jarinya. "Sst. Aku gak papa, Mas Viar. Beneran gak papa. Cuma kelilipan aja. Kenapa harus merasa bersalah." Bia pun langsung memperlihatkan senyuman manisnya untuk Viar.
Manik mata yang saling bertatapan selama beberapa saat, hingga akhirnya, Bia sadar akan sikapnya yang terlalu berani. Ia tarik kembali tangan itu sambil tersenyum canggung karena kurang enak hati.
"Ee .... "
Tanpa menunggu Bia menyelesaikan ucapannya, Viar langsung menarik Bia ke dalam pelukan. "Jangan ucapkan kata maaf atas hal yang baru saja kamu lakukan. Karena jika kamu tetap melakukan itu, maka aku akan merasa sangat amat sedih."
"Ke-- kenapa?"
"Karena kamu adalah istriku. Kedekatan kita adalah hal yang paling aku harapkan, Bi. Aku harap, kamu bisa memahami perasaan ini. Keinginan hati yang tidak bisa aku ungkapkan secara langsung."
Bia tidak menjawab. Tapi entah kenapa, hatinya merasa begini nyaman akan kata-kata yang baru saja Viar ucap. Dia sendiri tidak mengerti kenapa ia bisa begitu bahagia dan tenang saat berada di sisi Viar. Padahal, belum juga lama ia kenal dengan pria tersebut.
Entah karena dia yang dulunya tidak pernah merasakan kasih sayang, tak pernah dianggap ada, bahkan selalu dianiaya. Mungkin karena itu, sekarang saat ada yang mencurahkan kasih sayang dan juga perhatian, hatinya langsung bisa menerima semua itu dengan baik.
'Semoga pria ini tidak pernah mengecewakan hatiku, Tuhan. Dan semoga, dia tidak pernah menyakiti hati yang penuh dengan harapan ini,' ucap Bia dalam hati.
*
Beberapa hari telah pun berlalu sejak kejadian itu. Feby yang semula tetap di kamar setelah pingsannya, kini sudah mulai menampakkan diri di luar ruangan. Bahkan, makan pun sudah bersama di meja makan.
Bukan hanya itu saja, Feby juga sudah bisa ngobrol dengan Bia. Yah, seperti saat ini, Bia ingin bercerita dengan Feby sebagai teman. Jadi, mereka sama-sama ke taman samping untuk ngobrol bersama setelah makan siang.
"Bia, apa kak Viar nggak akan marah jika ia tahu kita ngobrol berdua seperti ini?"
"Mm ... mungkin nggak, Feb."
"Ya, kenapa juga harus marah? Orang kita juga cuma ngobrol aja. Iya, kan? Nggak berantem kok malah marah."
"Iya ... kak Viar nggak sama dengan pria kebanyakan, Bi. Sekali ia marah, maka lama baru bisa dihilangkan amarahnya itu. Karena itu ... aku merasa sedikit nggak nyaman sekarang."
"Udah .... Gak perlu mikir soal kemarahan mas Viar lagi, Feby. Aku yang akan lindungi kamu nanti kalau dia marah. Oke."
Feby terdiam. Ingatan akan Meisya kembali muncul tanpa ia minta. "Feby, jangan takut. Aku yang akan lindungi kamu nanti yah." Kata-kata yang Bia ucapkan memang sedikit sama dengan yang Meisya katakan. Karena itu, tanpa sengaja, ingatan yang ingin ia kubur perlahan muncul dengan sendirinya.
"Feby." Bia memanggil dengan suara pelan saat melihat Feby melamun.
Tentu saja, yang dipanggil langsung terperanjat akibat kaget. "Ah! Iy-- iya. Ke-- kenapa?"
"Ya ampun, Feb. Kok malah kaget sih? Aku kan cuma panggil kamu dengan suara pelan. Makanya, jangan melamun yah."
"Iy-- iya. Maaf."
Meskipun sulit untuk menghilangkan rasa canggung yang telah tercipta. Tapi pada akhirnya, rasa canggung itu lenyap juga. Bia berhasil menghilangkan rasa canggung antara mereka dengan banyak bercerita.
Bia menceritakan jalan hidupnya yang sulit. Hal itu mampu membuat Feby terhanyut ke dalamnya. Dia merasa perihatin akan perjalanan hidup itu.
"Hidup itu sangat sulit, Feb. Tapi, kesabaran tidak akan mengkhianati kita. Percaya deh sama apa yang aku katakan. Karena selagi kita sabar, kita pasti akan menikmati hasil dari buah kesabaran itu. Ya tapi, memang nggak mudah sih buat nunggu kesabaran itu berbuah."
"Iya, Bi. Kamu bener banget." Feby tersenyum.
Dari senyuman itu, Bia bisa melihat, kalau saat ini, Feby sudah punya semangat untuk tetap bertahan menghadapi sikap keras sang kakak.
"Oh iya, Bi. Sekarang, kamu sudah berusia berapa tahun?"
"Mm ... dua puluh satu. Kenapa?"
"Nggak. Umur kita sama deh kayaknya. Aku juga dua puluh satu tahun sekarang. Tapi, karena kamu udah nikah dengan kak Viar, aku terpaksa panggil kamu kakak. Meskipun nggak enak rasanya."
Bia dan Feby pun akhirnya sama-sama tertawa saat ada obrolan yang menggelikan hati. Viar yang melihat hal itu, langsung menahan langkah untuk menghampiri keduanya.
Ketika melihat Feby sedang bersama Bia, hati Viar langsung merasa tidak nyaman. Dengan wajah kesal, ia ingin memisahkan keduanya. Tapi, saat melihat Bia dan Feby tertawa bersama, niat itu menghilang. Hatinya yang kesal pun tiba-tiba terasa sangat sejuk.
"Apakah semua sudah berubah, Tuhan? Feby, bisa akur dengan Salbia. Dia bisa akur dengan istriku? Apa aku terlalu keras hati selama ini?"
"Tidak! Feby tetap tidak bisa aku percaya. Walau nenek bilang dia sudah berubah. Tapi tetap saja, aku harus waspada. Aku tidak boleh lengah lagi sekarang. Karena aku, tidak ingin kehilangan Salbia ku. Wanita yang aku cintai lagi untuk yang kedua kalinya."
Meskipun begitu, Viar tetap membiarkan Salbia dan Feby ngobrol. Namun, dia tetap memperhatikan keduanya dari jarak jauh. Karena dia akan tetap menaruh rasa curiga pada adik tirinya itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments