'Jika jawabanmu diluar kemauan dan harapanku, maka aku akan membuat kamu membayar mahal hari ini juga. Tapi jika sebaliknya, kamu bisa bikin hati ini merasa kalau kamu benar-benar spesial dan berbeda dari yang lainnya. Maka aku akan pertahankan kamu di sisiku sekarang.' Tuan Viar berkata dalam hati sambil membalas tatapan tajam yang Bia lontarkan.
"Aku di sini karena bakti ku pada orang tuaku. Bukan karena uang atau fisik, tuan. Jadi, hadirku di sini, tak lebih karena aku ingin memenuhi bakti ku pada orang tuaku saja."
Ucapan yang langsung membuat Tuan Viar terdiam seketika. Ia yang awalnya banyak omong, sekarang terpaku. Sementara Fahri yang juga ikut menyaksikan hal itu, kini hanya bisa berganti pandang dari Bia ke tuan Viar, begitu pun sebaliknya.
"Baiklah. Aku terima jawaban itu untuk saat ini."
"Fahri! Panggil bi Nunung ke sini sekarang juga! Aku ingin bibi mengantarkan perempuan ini ke tempat di mana seharusnya dia berada."
"Baik, tuan Viar. Akan saya laksanakan."
"Permisi."
Setelah Fahri beranjak, Tuan Viar kembali sibuk dengan perhatiannya pada Bia. Dia kembali memperhatikan Bia yang sangat amat terlihat dengan jelas sedang merasa tidak nyaman dengan apa yang ia pakai.
"Kamu bisa menggantikan pakaian itu setelah tiba di kamarmu nanti. Tapi untuk saat ini, bisakah perhatianmu terfokus pada apa yang ingin aku katakan?"
"Mulai hari ini, kamu adalah milikku. Karena kamu sudah papamu tukar dengan hutang besar yang keluarga kalian miliki."
Bia hanya terdiam. Sebenarnya, dia sedang menahan rasa sakit yang teramat perih. Bagaimana tidak? Dirinya dijadikan sebagai alat pelunas hutang keluarga oleh sang papa. Sungguh sangat amat menyakitkan.
"Aku tidak suka diabaikan, Salbia. Jika kamu tidak ingin aku pulangkan ke rumah orang tuamu kembali, jadi, jangan abaikan aku."
"A-- aku minta maaf, tuan Viar. Aku tidak akan mengabaikan anda lagi lain kali."
"Aku ingat apa yang kamu katakan. Oh ya, kamu pasti sudah tahu apa yang aku inginkan dari kamu, bukan?"
Bia tidak bisa menjawab. Rasa takut mendadak memenuhi hatinya. Satu pertanyaan yang membuat batinnya begitu meronta ingin menghilang secepatnya dari pandangan pria yang saat ini ada di hadapannya. Tapi sayang, dia tidak bisa melakukan hal itu.
"Saya .... "
"Aku ingin menjadikan dirimu sebagai istriku. Karena yang aku kurang sekarang hanyalah seorang istri."
"Pernikahan akan aku laksanakan dua hari lagi dari sekarang. Jadi, sebelum menikah, apa yang kamu inginkan dariku, Salbia."
Salbia lagi-lagi diserang perasaan yang namanya bingung. Dia sangat amat tidak mengerti apa yang harus ia lakukan. Mana pikirannya melayang-layang entah ke mana lagi. Lah sekarang, dia ditanya apa yang ia inginkan. Mana bisa ia pikir dengan baik apa yang sedang ia mau.
"Salbia! Kamu benar-benar sedang menguji kesabaran ku yang hanya setipis tisu ternyata. Kamu tidak tahu, aku itu tidak punya kesabaran untuk kamu uji."
"Maaf, tuan Viar. Aku tidak sedang menguji anda. Aku .... "
Ucapan Bia tertahan seketika saat tuan Viar mengangkat tangannya. Kemudian, bangun dari duduk manis yang sebelumnya terlihat sangat amat nyaman.
"Kau akan aku nikahi. Jadi tolong, jangan panggil aku dengan panggilan yang terlalu formal. Meskipun kamu hanya perempuan pelunas hutang, tapi pada akhirnya, kau akan bergelar istri meski hanya di atas kertas saja. Jadi, panggil aku dengan panggilan, Mas."
"Ap-- apa? Mas?"
"Ya. Itu panggilan yang cocok untuk pasangan. Setidaknya, di depan keluargaku nanti."
"Baiklah. Aku ... akan mencobanya."
Sejujurnya, Bia masih merasa sangat amat tidak mengerti dengan pria yang saat ini berada satu ruangan dengannya. Begitu banyak hal yang membuat Bia merasa bingung. Tapi, Bia tidak mungkin mengurainya sekarang. Karena ini bukan waktu yang tepat. Lagipula, mereka juga baru bertemu. Jadi, hal ini adalah hal yang wajar juga.
*
Bia kini sudah merasa tenang karena sudah di tinggal sendirian di kamar yang sangat luas menurutnya. Kamar ini jauh berkali-kali lipat bagusnya dari kamar yang Bia miliki di rumah papanya.
"Ini tidak buruk." Bia berucap sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar. "Ini jauh lebih bagus dari apa yang aku jalani sebelumnya."
"Ya Tuhan. Apa mungkin ini jalan terbaik untuk aku sekarang? Bebas dari rumah yang tidak layak aku sebut rumah karena semua penghuninya begitu membenci diriku."
Namun, tak seberapa lama, Bia langsung menepuk pelan wajahnya dengan kedua tangan. "Ya Allah, Bia. Sadarlah! Di sini juga sama saja. Orang kamu hanya datang sebagai penebus hutang. Kamu akan sama menderitanya dengan di rumah."
Sore harinya, pintu kamar Bia di ketuk oleh bi Nunung. Setelah hampir setengah hari ia diberikan waktu sendiri, sekarang, tiba waktunya untuk menghadapi kenyataan kembali.
"Tuan Viar meminta non Bia ke taman belakang sekarang juga."
"Iy-- iya, Bi. Saya akan ke sana. Tunggu sebentar," ucap Bia dengan ramah.
Senyuman Bia di balas dengan senyuman pula oleh bi Nunung. Saat inilah, Bia merasa punya teman. Karena selama ini, dia bak Cinderella yang tersingkirkan. Tidak punya teman barang satupun.
Dia anggota keluarga di rumah papanya. Tapi sayang, pelayan di sana saja tidak menganggap dirinya ada. Jangankan untuk di sanjung. Dihargai saja ia tidak pernah sekalipun. Malahan, yang ada ia di injak-injak oleh pelayan di sana atas arahan dari kakak tirinya yang begitu tega.
"Bibi, panggil saya Bia saja. Tidak perlu memanggil dengan embel-embel non segala. Nggak pantas rasanya," ucap Salbia ketika Bi Nunung dan dirinya sedang berjalan menuju taman belakang.
"Maaf, non. Bibi tidak bisa. Bagaimanapun, non tak lama lagi akan menjadi nyonya di Viar villa. Mana mungkin saya bisa memanggil majikan dengan sebutan nama."
"Tapi kan ... saya .... "
"Kami patuh pada majikan kami, nona Bia. Jadi, tolong mengerti ya."
Salbia hanya bisa memberikan anggukan pelan saja. 'Benar apa yang bi Nunung katakan. Di sini, yang paling berkuasa tentunya tuan Viar. Apa yang tuan Viar katakan, hanya itu yang mereka lakukan. Siapa aku yang berani memerintah mereka? Ya walaupun, itu aku anggap permintaan yang merendahkan diriku.' Bia berkata dalam hati sambil terus melangkahkan kaki menuju taman belakang.
Dari kejauhan, Bia sudah bisa melihat tuan Viar yang duduk tegap di salah satu kursi taman. Pria itu makin dilihat makin terlihat berkharisma. Makin terlihat pula aura menakutkan darinya. Walau begitu, tampannya tidak berkurang sedikitpun. Tapi tetap saja, setiap berhadapan, akan timbul rasa canggung dan gugup yang teramat sangat.
"Tuan Viar. Nona Salbia sudah tiba."
"Ya. Kamu bisa pergi." Tuan Viar berucap tanpa mengalihkan pandangan sedikitpun dari apa yang sedang ia perhatikan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
ciru
cakeepp
2023-11-24
0
Cahaya_nur
akhirnya update juga/Kiss//Kiss/
2023-10-10
1
Elena Sirregar
ya namanya pelunas hutang jadi Bia merasa rendah diri
2023-10-09
1